AL-‘ALIYY Allah Yang Mahatinggi
“Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan Dialah Yang Mahaagung, Mahabesar.”
(QS. Asy-Syura [42]: 4)
Rabi’ah bin Ka’ab Al-Ashlami ra. adalah salah seorang sahabat yang pernah menemani Rasulullah SAW. Suatu ketika dia berkesempatan untuk bermalam bersama beliau. Dia kemudian menyiapkan air wudhu dan segala hal yang menjadi keperluan Rasulullah . Sebagai bentuk rasa terima kasih, manusia termulia ini kemudian bersabda kepada Rabi’ah, “Mintalah sesuatu kepadaku.”
Apa yang diminta Rabiah Al-Ashlami? Ternyata, dia meminta sesuatu yang teramat istimewa, yaitu meminta agar dirinya bisa menemani Rasulullah di surga, “Saya meminta agar bisa bersamamu di surga,” demikian ujarnya kala itu.
Rasulullah pun menjawab, “Adakah permintaan selain itu?” ” Dia menjawab, “Hanya itu wahai Rasulullah.”
Beliau lalu bersabda, “Bantulah aku atas dirimu (untuk memohon kepada Allah agar memenuhi permintaanmu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR Muslim)
Sujud melambangkan penyerahan total dari seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan bersujud, seorang hamba memposisikan diri pada posisi yang serendah-rendahnya. Pada saat yang bersamaan, dia pun mengagungkan Allah setinggi-tingginya. Inilah dua posisi paling ekstrim, Pihak pertama ada di titik nadir, sedangkan pihak kedua ada di titik zenit; titik puncak. Sejatinya, inilah posisi paling ideal dalam interaksi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Bagaimana tidak, seorang hamba adalah sosok yang diciptakan (makhluq), sedangkan Allah adalah Zat yang menciptakan (khaliq). Sangat wajar apabila yang menciptakan melakukan apa saja yang diciptakannya karena dia adalah milik-Nya. Sebaliknya, teramat naif apabila yang diciptakan menolak memposisikan diri lebih rendah daripada yang menciptakan. Bahkan, teramat bodoh apabila yang diciptakan memposisikan lebih tinggi daripada yang menciptakan.
Dengan demikian, sujud adalah keniscayaan, sebuah pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali atas kehendak Allah. Inilah bentuk keadilan dan sikap “tahu diri” dari seorang hamba, di mana dia mampu memposisikan dirinya pada posisi yang tepat. Ketika sujud, tujuh anggota tubuh saorang hamba bersentuhan dengan bumi. Tujuh titik persentuhan tersebut adalah dahi-hidung (menyatu), tangan, kedua lutut dan kedua ujung kaki. Ada tujuh langit dan ada pula tujuh titik sentuh yang menghubungkan dia dengan Allah. Ketika itu lisannya mengucap, “Subhâna Rabbiyal A’la; Mahasuci Allah Yang Mahatinggi”. Pada saat tujuh titik bersatu dengan bumi, manusia pun berubah menjadi makhluk universal tanpa derajat apapun. Dalam posisi seperti ini sirna juga konsep “harga diri” yang ada tinggallah “harga Allah” yang diwujudkan oleh manusia sebagai ciptaan-Nya.
Ada hal yang menarik saudaraku, ketika seorang hamba bersujud dengan sebenar-benarnya sujud, merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah, pada saat yang bersamaan, Allah Azza wa Jalla akan mengangkat derajat sang hamba setinggi-tingginya; memuliakan dia semulia-mulianya. Dalam Al-Hikam, Ibnu Atha’ilah mengungkapkan, “Bersungguh-sungguhlah dengan kehinaanmu, niscaya Dia menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Bersungguh-sungguhlah dengan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia menolongmu dengan kekuasaan
Nya. Dan, bersungguh-sungguhlah dengan kelemahanmu, niscaya Dia menolongmu dengan kekuatan-Nya.”
Oleh karena itu, sangat pantas apabila Rasulullah menyuruh Rabi’ah Al-Aslami untuk memperbanyak sujud. Betapa tidak, dengan sujudlah, Allah Ta’ala akan mengangkat seorang hamba ke tempat tertinggi, menempatkannya bersama para nabi, dan mengantarkannya untuk bisa berjumpa dengan Allah Al-‘Aliyy, Allah Yang Mahatinggi.
Memaknai Asma’ Al-‘Aliyy
Saudaraku, tunduk bersujud erat kaitannya dengan pemuliaan salah satu asma’ Allah, yaitu Al-‘Aliyy. Nama ini dimaknai sebagai Allah Yang Mahatinggi. Dalam Al-Quran, kata Al-‘Aliyy terulang sebanyak sebelas kali, sembilan di antaranya dinisbatkan kepada sifat Allah, dan dirangkaikan dengan sifat Al-Kabîr (Mahabesar), sifat Al-Azhîm (Mahamulia), dan sifat Al-Hakim (Mahabijaksana). Sedangkan dua sisanya disandangkan kepada manusia untuk menunjukkan adanya anugerah kenaikan status atau derajat dari-Nya, yaitu kepada Nabi Idris as. dan Nabi Ibrahim as. beserta anaknya.
Menurut Imam Abu Hamid Al-Ghazali, ketinggian Allah Azza wa Jalla tidak bersifat material atau pada satu tempat. Memang, pada mulanya manusia memahami makna ketinggian dari segi tempat, karena mereka mengaitkannya dengan mata kepala. Akan tetapi, mereka kemudian menyadari bahwa ada pula pandangan bashirah (mata akal dan batin) yang berbeda dengan pandangan yang bersifat indrawi.
Sementara ulama merinci bahwa kemahatinggian Allah Azza wa Jalla ada dalam ketinggian Zat-Nya dan ketinggian kedudukan-Nya. Tingginya kedudukan Allah adalah kesempurnaan yang diniscayakan oleh adanya sifat-sifat terbaik (Asma’ul Husnâ). Hal ini disebabkan karena Dia tidak terjangkau kecuali oleh diri-Nya sendiri, karena Dia mencakup seluruh tempat, dan Dia mewujud sebelum penciptaan semua yang ada. (Quraish Shihab, Membuka Tabir Ilahi, 1998:187)
Spirit Al-‘Aliyy: Berani Mimpi dan Berani Mewujudkannya
Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan bahwa “ketinggian himmah (ambisi positif, tekad yang membara untuk menggapai kemuliaan) adalah manifestasi keimanan”. Ungkapan ini menyiratkan bahwa seseorang yang telah meniatkan dirinya untuk meneladani Allah Al-Aliyy akan berusaha menghiasi dirinya dengan himmah guna meraih derajat yang tinggi di sisi Allah. Proses peneladanan ini mencakup pula upaya menjauhi hal-hal yang akan menjauhkannya diri dari cita-cita tersebut, dan melakukan upaya penguatan yang akan mendekatkan diri pada cita-cita yang dimaksud.
Sejatinya, himmah yang dilandasi ilmu dan amal yang optimallah yang akan membuahkan kesuksesan, baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah mengajarkan bahwa seseorang tidak cukup mengatakan apa yang diinginkan. dia pun harus berusaha keras untuk mendapatkannya. Rasulullah tidak bisa menjamin seseorang masuk surga tanpa dia sendiri mau mengusahakannya.
Di sinilah masalahnya saudaraku. Sebagian orang hanya sampai pada tahap ingin atau tahap rencana tanpa mau bersungguh-sungguh untuk menapaki tahapan kehidupan selanjutnya. Keinginan, cita-cita, atau obsesi adalah tangga pertama untuk meraih kesuksesan. Tangga selanjutnya adalah mengetahui “bagaimana” cara mencapai keinginan tersebut. Seseorang tidak akan pernah sampai ke tempat tujuan jika dia tidak tahu cara untuk sampai ke sana. Pengetahuan itu ibarat peta yang akan memandu seseorang mencapai tujuan. Tahap selanjutnya adalah mau bergerak, berusaha dan berkorban. Cita-cita akan kehilangan makna. Peta pun tidak akan berguna apabila seseorang tidak mau beraksi, bergerak, bertindak. Jadi, bergerak sesuai peta, untuk meraih keinginan, menjadi sebuah keharusan bagi siapa saja yang ingin meneladani asma’ Allah Al-Aliyy.
Inilah yang dilakukan Rabi’ah bin Ka’ab Al-Ashlami, yang mencitaitakan untuk menemani Rasulullah di surga. Setelah diberi nasihat untuk banyak bersujud, dia benar-benar menjadi seorang ahli sujud. Tidak saja sujud dalam arti sempit, sebagaimana yang dia lakukan dalam
shalat, akan tetapi sujud dalam arti yang lebih luas, yaitu senantiasa taat dan patuh kepada Allah Yang Mahatinggi di mana pun dia berada.
Maka, terkait permintaan Rabi’ah bin Ka’ab Al-Ashlami kepada Rasulullah satu ini, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarij As-Sâlikin berpesan, “Apabila kamu ingin mengetahui tingkatan semangat, lihatlah kepada semangatnya Rabiah bin Ka’ab Al-Aslami ra. Ketika Rasulullah bersabda kepadanya, ‘Mintalah sesuatu kepadaku, dia pun berkata, “Saya meminta agar bisa menemanimu di surga sementara orang selainnya meminta sesuatu yang memenuhi perutnya atau menutupi kulitnya?
Saudaraku, kita pun dapat berkaca pada sosok Haritsah, sahabat Rasulullah dari kalangan Anshar. dia rela melakukan apapun untuk menggapai cita-cita hidupnya yang tertinggi, yaitu syahid di jalan Allah.
Dikisahkan, suatu hari Rasulullah bertemu dengannya, lalu beliau bertanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini wahai Haritsah?
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, aku menjadi seorang Mukmin yang bersungguh-sungguh.” >
“Haritsah, segala sesuatu ada buktinya, dan mana bukti dari hakikat keimananmu?” ujar Nabi
“Ya Rasulullah, jiwaku ini sangat bosan melihat keadaan dunia ini, lalu bangun tengah malam dan berpuasa siang hari. Saat ini seakan-akan aku berhadapan dengan ‘Arasy Allah, dan melihat ahli surga yang sedang bersilaturahmi. Terbayang pula olehku bagaimana ahli neraka itu disiksa dan merintih kesakitan.”
“Engkau telah melihat itu semua, maka hendaklah tetap pendirianmu. Engkau telah menjadi hamba yang dianugerahi cahaya keimanan dalam hatimu.”
Haritsah lalu memohon kepada Nabi agar didoakan untuk mendapati mati syahid. Lalu, beliau pun berdoa untuk sahabatnya itu.
Ketika pada suatu masa datang panggilan untuk berjihad fî sabilillâh, Haritsah-lah yang pertama mendaftarkan dirinya. Dia pun syahid dalam suatu pertempuran melawan kaum kafir Quraisy.
Ketika ibunya mendengar berita syahidnya Haritsah, dia segera menjumpai Rasulullah me. Ibu itu bertanya, “Ya Rasul, benarkah berita tentang kematian Haritsah? Jika dia di surga aku tidak akan menyesal dan tidak akan menangis selama hidupku di dunia.”
Nabi pun menjawab, “Haritsah telah masuk surga, bukan hanya satu surga akan tetapi surga dalam surga-surga. dia telah mencapai surga Firdaus yang sangat tinggi.”
Ibu Haritsah kembali dengan tersenyum puas. “Sangatlah beruntung engkau wahai anakku,” ujarnya.
Spirit Al-‘Aliyy: Ujian untuk Meninggikan Derajat
Ada banyak jalan bagi siapa saja yang ingin meraih derajat kemuliaan di sisi Allah. Salah satunya adalah bersabar menghadapi aneka ujian dan cobaan. Gerbang untuk menggapai hal ini terbuka lebar di hadapan kita. Bagaimana tidak saudaraku, hidup di dunia ini adalah rangkaian permasalahan, rangkaian ujian. Setiap hari selalu saja kita temui persoalan yang boleh jadi membuat kita pusing, stres, galau, resah, gelisah, dan putus asa. Dan, itulah karakter dunia yang tidak akan pernah berubah sampai datangnya Hari Kiamat.
Maka, permasalahnnya bukan pada sedikit atau banyaknya ujian, cobaan, dan aneka ketidaknyamanan. Permasalahannya ada pada sejauh mana kesanggupan kita dalam menghadapi dan menyikapi semua itu dengan cara terbaik. Apabila tidak mengetahui ilmunya, kita akan berhenti pada keadaan galau, resah dan gelisah tadi. Padahal, Allah ile telah berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” (QS Al-Ankabût, 29:2-3)
Jelas sekali bahwa ujian adalah konsekuensi dari pernyataan keimanan kita. Allah Ta’ala pasti akan menguji kesungguhan hamba-Nya yang menyatakan iman, yakin, percaya kepada-Nya. Boleh jadi, ada orang yangberkata, “Ah kalau begitu saya tidak akan beriman supaya tidak dapat ujian.” Nah, orang seperti ini malah lebih tragis lagi. Bukankah Allah menghadirkan ujian kepada kita tiada lain adalah untuk menaikkan derajat kita? Jika sebelumnya hanya manusia yang biasa-biasa saja, dengan ujian dia bisa menjadi manusia yang saleh dan ahli ibadah, kemudian naik lagi menjadi hamba yang muhsin, yang senantiasa merasakan kehadiran Allah di mana saja dan kapan saja. Kemudian, dia naik lagi menjadi hamba yang mencintai Allah dan dicintai oleh-Nya, dan seterusnya. Mâsyâ Allâh.
Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang Muslim ditimpa kelelahan, sakit, sedih, duka, gangguan, gundah gulana (kerisauan), bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan hapuskan dengannya (musibah itu) kesalahan-kesalahannya.” (HR Al-Bukhari)
Kita dapat berkaca kepada seorang anak yang belajar di Sekolah Dasar (SD), saat dia ingin naik levelnya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP), maka pasti ada ujiannya. Seorang anak di level SMP yang ingin naik ke Sekolah Menengah Atas (SMA), tentu saja ada ujiannya, demikian seterusnya. Begitulah gambaran hidup ini. Ujian dari Allah dilection datang untuk menguji keimanan kita agar keimanan kita semakin bertambah tinggi levelnya, semakin indah derajatnya.
Mengapa Hajar harus berlari-lari dahulu untuk mencari air di antara bukit Shafa dan Marwah? Padahal, sangat mudah untuk Allah untuk memberikan air kepadanya. Mengapa tidak langsung saja oleh Allah air itu dihadirkan? Tujuannya tiada lain adalah agar menjadi amal ibadah bagi Hajar. Mengapa kita harus hiruk pikuk bekerja? Padahal bagi Allah begitu sangat mudah jika mau memberikan rezeki-Nya kepada kita. Tujuannya tiada lain adalah agar hirup pikuk itu menjadi amal saleh bagi kita. Tidakkah kita ingat bahwa hidup kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah ileti
Saudaraku, lihatlah betapa Rasulullah yang derajatnya sangat mulia di hadapan Allah ile mendapatkan ujian yang begitu berat. Beliau dicaci, dihina, dibenci, disakiti, diboikot, diperangi. Jika mau jujur, ujian yang menimpa kita saat ini belumlah seberapa. Memang begitulah hidup ini. Semakin kita sungguh-sungguh beriman kepada Allah, semakin ujianitu akan datang. Namun, aneka ujian itu tidaklah berbahaya karena yang berbahaya adalah cara kita mensikapi ujian tersebut.
Semoga kita tergolong hamba-hamba Allah dengan yang senantiasa mensikapi berbagai bentuk ujian dengan sikap ridha, sabar dan tawakal sembari menyempurnakan ikhtiar. Sehingga sepahit apapun ujian itu, tetap menjadi ladang amal saleh bagi kita, dan menjadi sarana menaikkan derajat kita di hadapan Allah Al-Aliyy.
Spirit Al-‘Aliyy: Berani Bermimpi
Para tokoh besar, khususnya dari kalangan orang-orang saleh, sesungguhnya adalah bintang-bintang peradaban yang telah berhasil menjadikan asma ’ Allah Al-‘Aliyy sebagai spirit dalam hidupnya. Dengan segala kesulitannya, mereka mampu meraih ketinggian derajat dalam kapasitasnya sebagai seorang hamba dari Zat Yang Mahatinggi, Zat Yang Mahakuasa untuk meninggikan derajat hamba-hamba yang dikehendakinya. Salah seorang tokoh besar yang kehidupannya telah menginspirasi manusia dari zaman ke zaman, dari satu generasi ke genarasi, yang dapat kita contoh adalah “Khulafaur Rasyidin Kelima”, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Berikut sepenggal kisah hidupnya yang dapat menyemangati kita untuk meraih ketinggian derajat di sisi-Nya.
Raja’ bin Hayat (seorang menteri Umar bin Abdul Aziz yang ikhlas) bercerita, “Saya pernah bersama Umar bin Abdul Aziz ketika beliau menjadi penguasa Madinah. Beliau mengutus saya untuk membelikan pakaian untuknya. Lantas saya membelikan pakaian untuknya seharga lima ratus dirham, sebuah harga yang sangat mahal. Ketika beliau melihatnya, lantas beliau berkomentar, ‘Ini bagus, tapi sayang harganya murah?
Ketika beliau telah menjadi khalifah, beliau pernah mengutusku untuk membelikan pakaian untuknya. Lalu saya membelikan pakaian untuknya seharga lima dirham. Ketika beliau melihat pakaian tersebut, beliau berkomentar. Ini bagus, hanya saja mahal harganya?
Raja’ melanjutkan kisahnya, “Ketika mendengar perkataan tersebut, saya pun langsung menangis.
Lantas Umar bertanya, Apa yang membuatmu menangis, hai Raja?’
Saya menjawab, “Saya teringat pakaianmu beberapa tahun yang lalu dan komentarmu mengenai pakaian tersebut?
Kemudian Khalifah mengungkap rahasia hal tersebut kepada Raja’ bin Hayat. Beliau berkata, “Wahai Raja, sungguh diriku mempunyai jiwa ambisius. Jika telah berhasil merealisasikan sesuatu pastilah aku ingin sesuatu yang di atasnya lagi. Aku mempunyai hasrat untuk menikahi putri pamanku, Fathimah binti Abdul Malik. Aku pun berhasil menikahinya. Kemudian diriku ingin memegang kepemimpinan, aku pun berhasil memegang kekuasaan. Kemudian diriku ingin memegang khilafah, aku pun berhasil menjadi khalifah. Dan sekarang wahai Raja”, aku ingin mendapat surga, maka aku sangat berharap termasuk salah seorang ahli surga.”
Pada kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz mendengar kabar bahwa salah seorang putranya membuat cincin dan memasang batu mata cincin seharga seribu dirham. Lantas dia menulis surat kepada putranya tersebut, “Aku dengar bahwa engkau membeli batu cincin untuk cincinmu seharga seribu dirham. Maka, juallah lalu uangnya gunakan untuk membuat kenyang seribu orang yang kelaparan. Buatlah cincin dari besi serta tuliskan di atasnya, ‘Semoga Allah merahmati orang yang menyadari posisi dirinya sendiri?” (Dikutip dari Hiburan Orang-orang Saleh, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah)
Tips Meneladani Al-Aliyy
Rajin dan tekun beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya, siapa yang dekat dengan-Nya, Allah akan meninggikan derajatnya. Yakinlah bahwa Allah adalah Zat Yang Mahatinggi sehingga hati kita tunduk di hadapan-Nya dan tidak sombong.
Selalu merendahkan hati di hadapan-Nya karena kita memang rendah di hadapan Allah. .
Bersemangat dalam mengerjakan pekerjaan mulia, dan menjauhi hal-hal yang remeh temeh lagi tidak berpahala.
Doa
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tiada daya upaya dan kekuatan selain milik Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung?
Keterangan:
Dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa Rasulullah bersabda, “Wahai Ali, maukah aku ajarkan kepadamu beberapa kalimat yang apabila engkau tertimpa musibah dapat engkau ucapkan?” Aku menjawab, ”Mau, wahai Rasulullah” Beliau bersabda, “Apabila engkau tertimpa musibah, maka ucapkanlah: Bismillâhir-rahmânir-rahîm, wa là haula walâ quwwata illâ billâhil-‘aliyyil-‘azhîm.” (HR Ibnu Sunni)
Percikan Hikmah
“Wilayah bumi manapun tidak akan mensucikan dan meninggikan kualitas seorang manusia. Ketahuilah, yang mensucikan dan meninggikan kualitas hidup adalah amal saleh (yang dilakukannya karena Allah Ta’ala)?” (Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, Al-Munthalaq)
“Maka, tinggikan dan muliakan perintah Allah di mana pun, niscaya Allah Ta’ala akan memuliakanmu di mana saja kamu berada.” (Hasan Al-Bashri, Az-Zuhud) Yayasan Bina Amal Semarang