al-hakim

Al Hakim – Yayasan Bina Amal Semarang

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan     barangsiapa yang diberi hikmah, maka sungguh dia telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.” (QS Al-Baqarah, 2:269)

Al-Hakîm artinya Allah Yang Mahabijaksana. Di dalam Al-Quran, kata Al-Hakim terulang sebanyak 97 kali. Al-Hakim adalah yang memiliki hikmah, yaitu paling tahu di antara segala yang utama, baik dalam hal pengetahuan maupun dalam hal perbuatan. Arti lainnya adalah sesuatu yang digunakan untuk menghalangi kemudharatan yang lebih besar, sehingga seseorang tidak akan mengambil keputusan yang memiliki risiko lebih besar. Seorang hakim di mana pun seharusnya mampu mengambil keputusan yang dapat menghindarkan masyarakat dari kezaliman dan mampu mendatangkan manfaat yang besar.

Sebagai Zat yang memiliki sifat Al-Hakim, Allah Ta’ala tahu persis apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Adalah wajar apabila kita mencintai seseorang, tetapi ingat, yang kita cintai belum tentu yang terbaik bagi kita. Sebab, cinta tidak identik yang terbaik. Ada sebuah kisah tentang seorang pemuda yang hancur hatinya karena wanita yang sangat dicintainya menikah dengan orang lain. Dia sempat berburuk sangka kepada Allah. Dia stres berat. Awan gelap seakan menggelayut di atas kepalanya. Namun apa yang terjadi? Selang beberapa puluh tahun kemudian, ketika dia sudah menikah dan memiliki beberapa orang anak, dia bertemu lagi dengan wanita yang pernah mencuri hatinya. Saat pertemuan itu terbersit rasa syukur dalam hatinya karena mantan kekasihnya itu belum juga dikarunia anak. Dia divonis mandul.

Dipenjara oleh manusia pun belum tentu buruk, karena banyak orang menjadi mulia karena dipenjara. Lihatlah beberapa ulama besar, dengan dipenjara mereka bisa menulis karya-karya monumental. Buya Hamka bisa menulis Tafsir Al-Azhar di penjara, Sayyid Quthb bisa menyelesaikan puluhan jilid Fî Zhilalil Qur’ân di penjara. Bahkan, seorang Nelson Mandela pun bisa menjadi Bapak Afrika Selatan karena dua puluh lima tahun dipenjara Rezim Apartheid.

Demikian pula halnya dengan deraan penyakit. Sakit tidak identik buruk apabila kita bisa menyikapi dan mengambil kebaikan daripadanya. Ada banyak orang yang menjadi mulia karena sabar menghadapi penyakitnya. Dengan sakitnya, Allah Ta’ala menggugurkan dosa-dosanya dan mengangkat derajatnya ke tempat yang mulia, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Ayyub as.

Oleh karena itu, kemahabijaksanaan Allah Al-Hakîm tidak identik dengan sesuatu yang nyaman menurut pandangan kita. Boleh jadi, kemahabijaksanaan-Nya tampak sebagai sesuatu yang menyakitkan dan menyulitkan, akan tetapi di balik itu tersimpan kebaikan yang banyak. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia lebih baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal dia buruk bagimu.” demikian firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah, 2:216.

Maka, apabila kita yakin bahwa ketentuan Allah-lah yang terbaik, kita jangan berlebihan dalam memandang diri, semisal dengan merasa lebih tahu, lebih kuat, atau merasa paling benar. Kita banyak kecewa dalam hidup karena kita menganggap keinginan kitalah yang terbaik. Kita boleh bercita-cita dan berkeinginan, akan tetapi semuanya harus diserahkan kepada Allah Ta’ala. Dia Maha Mengetahui yang terbaik buat kita sehingga tidak layak bagi kita untuk berburuk sangka kepada-Nya. Yakinlah bahwa Allah tidak akan pernah berbuat zalim kepada hambahamba-Nya. Apapun yang Allah Ta’ala timpakan pasti yang terbaik.

Tugas kita adalah membulatkan tekad dan menyempurnakan ikhtiar, selebihnya diserahkan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya, Dia tidak akan pernah mengecewakan setiap persoalan yang diserahkan kepada-Nya. Sempurnakanlah ikhtiar kita secara maksimal.

Spirit Al-Hakim: Menjadi Pribadi Dewasa

Kebijaksanaan sangat erat dengan kedewasaan. Artinya, hanya orangorang bermental dewasalah yang akan mampu menjadikan kebijaksanaan sebagai bagian dari hidupnya. Namun tentu saja, tidak semua orang bisa menjadi dewasa dengan sendirinya. Untuk menjadi dewasa, seseorang perlu memiliki kesadaran, kemauan, dan proses untuk berkembang terus menerus. Berkembang di sini, bukan sekadar fisik, tetapi juga ilmu dan amal. Maka, benarlah apabila ada yang mengatakan bahwa, “Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan”.

Lalu, apa ciri manusia dewasa yang bijaksana itu?

Ciri pertama adalah diam aktif, yaitu kemampuan untuk menahan diri dalam berkomentar. Orang yang memiliki kedewasaan dapat dilihat dari sikap dan kemampuannya dalam mengendalikan lisannya. Orang tua yang kurang dewasa mulutnya sangat sering berbunyi. Semua hal dikomentari. Ketika melihat sesuatu, dia langsung mengomentarinya. Misal saat nonton televisi. Komentarnya akan mengalahkan suara televisi yang dia tonton. Penonton televisi yang dewasa senantiasa mentafakuri tayangan yang dilihatnya-tentunya acara yang bermanfaat. Dia pun akan mohon kepada Allah agar dibukakan pintu hikmah.

Ciri kedua adalah empati. Anak-anak biasanya belum dapat meraba perasaan orang lain. Dengan demikian, orang yang bertambah umurnya tetapi tidak dapat meraba perasaan orang lain berarti dia belum bisa disebut dewasa. Kedewasan seseorang terlihat dari keberanian melihat dan meraba perasaan orang lain. Seorang ibu yang dewasa dan bijaksana dapat dilihat dari sikapnya terhadap pembantu dengan tidak semena-mena dalam menyuruh dan memberi gaji. Semakin mampu kita meraba perasaan orang lain, insya Allah kita akan semakin bijak. Percayalah tidak an bijaksana orang yang hidupnya hanya memikirkan perasaannya sendiri.

Ciri ketiga adalah hati-hati (wara’) dalam bertindak. Orang yang dewasa akan berhitung tentang segala sesuatu tidak hanya dari benda, tetapi dari waktu; setiap detik, setiap tutur kata. Dia tidak mau jika harus menanggung risiko karena salah dalam mengambil sikap. Anak-anak atau remaja biasanya sangat tidak hati-hati dalam bercakap dan mengambil keputusan. Orang yang bersikap atau memiliki kepribadian dewasa (wara’) dapat dilihat dalam kehati-hatian memilih kata, mengambil keputusan, mengambil sikap, karena orang yang tidak dewasa cenderung untuk bersikap ceroboh.

Ciri keempat adalah kesabaran (sabar). Kita ambil contoh, di dalam rumah seorang ibu mempunyai tiga orang anak, yang satu menangis, kemudian yang lainnya pun ikut menangis sehingga lama-kelamaan menjadi empat orang yang menangis. Kenapa? karena ternyata ibunya menangis pula. Ciri orang yang dewasa adalah sabar. Dengan kesabaran, dalam situasi sesulit apapun, insya Allah kita akan lebih tenang, mantap dan stabil.

Ciri kelima adalah amanah. Artinya, orang yang dewasa akan memiliki sikap amanah, memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab. Kedewasaan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya untuk bertanggung jawab dalam mencari nafkah yang halal dan mendidik anak istrinya. Tanggung jawab terbesar bukan dalam masalah dunia. Masalah terbesar seorang ayah adalah bagaimana dia mempertanggungjawabkan anak dan istrinya ketika kelak pulang ke akhirat. Oleh karena itu, orangtua harus bekerja keras untuk menjadi jalan kesuksesan anak-anaknya di dunia dan akhirat.

Pernah ada seorang teman menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri, ketika ditanya tentang shalatnya? Ternyata tidak berjalan dengan baik, karena di sana orang-orangnya tidak ada yang shalat. Lalu i mengapa disekolahkan ke luar negeri? Alasannya, sebentar lagi globalisasi dan era perdagangan bebas sehingga anak harus disiapkan sebaik mungkin. Tapi bagaimana jika sebelum perdagangan bebas anaknya meninggal dunia? Sudah disiapkan belum pulang ke akhirat? Orang yang dewasa akan berpikir keras bagaimana anak-anaknya bisa selamat? Jangan sampai di dunia berprestasi tapi di akhirat celaka.

Saudaraku, tidak cukup merasa bangga dengan menjadi tua, mempunyai kedudukan, jabatan, karena semua itu sebenarnya hanyalah topeng, bukan tanda prestasi. Prestasi itu adalah ketika kita semakin matang dan semakin dewasa. Kesuksesan kita adalah bagaimana kita bisa memompa diri kita dan menyukseskan orang-orang di sekitar kita. Kalau ingin tahu kesuksesan kita coba lihat perkembangan keluarga kita, istri dan anak-anak kita, lebih maju ataukah tidak? Lihat pula sanak saudara kita. Jangan sampai kita sendirian yang maju, tapi sanak saudara kita hidup dalam kesulitan, ekonominya seret, pendidikan seret, sedang kita tidak ada kepedulian. Itu adalah sebuah kegagalan. Sekali lagi, kedewasaan seseorang itu dilihat dari bagaimana kemampuan memegang amanah.

Maka, seorang Muslim yang menjadikan Al-Hakim sebagai sumber inspirasinya, dia dituntut untuk menjadi pribadi dewasa yang mampu diam aktif, empati, wara, sabar, dan amanah. Dari sinilah akan lahir sikap bijak dalam menghadapi aneka masalah.

Mutiara Kisah

Seorang Syeikh berjalan-jalan santai bersama salah seorang di antara murid-muridnya di sebuah kebun. Ketika tengah asyik berbincang, keduanya melihat sepasang sepatu yang sudah usang lagi lusuh. Mereka berdua yakin kalau itu adalah sepatu milik pekerja kebun yang bertugas di sana, yang sebentar lagi akan segera menyelesaikan pekerjaannya.

Sang murid melihat kepada syekhnya sambil berujar, “Bagaimana kalau kita candai tukang kebun ini dengan menyembunyikan sepatunya, kemudian kita bersembunyi di belakang pohon-pohon? Nanti ketika dia datang untuk memakai sepatunya kembali, dia akan kehilangannya. Kita lihat bagaimana dia kaget dan cemas!”

Syeikh yang bijak itu menjawab, “Ananda, tidak pantas kita menghibur diri dengan mengorbankan orang miskin. Kamu kan seorang yang kaya, dan kamu bisa saja menambah kebahagiaan untuk dirinya. Sekarang kamu coba memasukkan beberapa lembar uang kertas ke dalam sepatunya, kemudian kamu saksikan bagaimana respon dari tukang kebun miskin itu”.

Sang murid sangat takjub dengan usulan gurunya. Dia langsung saja berjalan dan memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sepatu tukang kebun itu. Setelah itu dia bersembunyi di balik semak-semak bersama gurunya sambil mengintip apa yang akan terjadi dengan tukang kebun.

Tidak beberapa lama datanglah pekerja miskin itu sambil mengibasngibaskan kotoran dari pakaiannya. Dia menuju tempat sepatunya dia tinggalkan sebelum bekerja. Ketika dia mulai memasukkan kakinya ke dalam sepatu, dia menjadi terperanjat, karena ada sesuatu di dalamnya. Saat dia keluarkan ternyata … uang. Dia memeriksa sepatu yang satunya lagi, ternyata juga berisi uang. Dia memandangi uang itu berulang-ulang, seolah-olah dia tidak percaya dengan penglihatannya.

Setelah dia memutar pandangannya ke segala penjuru dia tidak melihat seorangpun. Selanjutnya dia memasukkan uang itu ke dalam sakunya, lalu dia berlutut sambil melihat ke langit dan menangis. Dia berteriak dengan suara tinggi, seolah-olah dia bicara kepada Allah ar rozzaq:

“Aku bersyukur kepada-Mu wahai Rabbku. Wahai Yang Maha Tahu bahwa istriku lagi sakit dan anak-anakku lagi kelaparan. Mereka belum mendapatkan makanan hari ini. Engkau telah menyelamatkanku, anakanak dan istriku dari celaka.”

Dia terus menangis dalam waktu cukup lama sambil memandangi langit sebagai ungkapan rasa syukurnya atas karunia dari Allah Yang Maha Pemurah. Sang murid sangat terharu dengan pemandangan yang dia lihat di balik persembunyiannya. Air matanya meleleh tanpa dapat dia bendung

Ketika itu Syeikh memasukkan pelajaran kepada muridnya, “Bukankah sekarang kamu merasakan kebahagiaan yang lebih dari pada kamu melakukan usulan pertama dengan menyembunyikan sepatu tukang kebun miskin itu?”

Sang murid menjawab, “Aku sudah mendapatkan pelajaran yang tidak akan mungkin aku lupakan seumur hidupku. Sekarang aku baru paham makna kalimat yang dulu belum aku pahami sepanjang hidupku “Ketika kamu memberi kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih banyak dari pada kamu mengambil.”

Sang guru melanjutkan pelajarannya, “Dan sekarang ketahuilah bahwa pemberian itu bermacam-macam: (1) memaafkan kesalahan orang di saat mampu melakukan balas dendam adalah suatu pemberian; (2) mendoakan saudaramu yang seiman di belakangnya (tanpa sepengetahuannya) itu adalah suatu pemberian; (3) berusaha berbaik sangka dan menghilangkan prasangka buruk darinya juga suatu pemberian; (4) menahan diri dari membicarakan aib saudaramu di belakangnya adalah pemberian lagi. Ini semua adalah pemberian, supaya kesempatan memberi tidak dimonopoli oleh orang-orang kaya saja. jadikanlah semua ini pelajaran.” (Dikutip dari Kajian Kisah dan Sejarah Islam via Status Nasihat) *

Tips Meneladani Al-Hakim

  • Dalami ilmu, luaskan wawasan, lebarkan pergaulan, dan perbanyak pengalaman, sesungguhnya sikap arif dan bijaksana hanya akan didapatkan oleh orang-orang yang berilmu.
  • Kearifan akan tampak ketika kita banyak berbuat baik. Maka, perbanyaklah amal saleh di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apapun.
  • Luangkan waktu untuk bermuhasabah atau introspeksi diri.
  • Berpikirlah sebelum bertindak dan berucap. Jadikan pikiran dan pertimbangan sebagai kendali atas segala sikap kita. Jadikan akal sehat” sebagai pengendali emosi.
  • Berpikirlah tentang kematian dan segala hal yang terjadi setelahnya. Hal ini akan membantu kita menjadi orang yang bijak dalam bersikap dan dalam memandang kehidupan dunia.


Mutiara Doa
Yayasan Bina Amal Semarang

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *