AL-HAQQ
Allah Yang Mahabenar
“Siapa pun yang sudah mengenal bahwa Dia pemilik al-haqq (kebenaran), ada keharusan baginya untuk lebih mengutamakan hak Allah Ta’ala daripada dirinya. Dan, imbalan atas pengutamaan hak Allah Ta’ala itu adalah, Dia akan menundukkan para makhluk kepadanya.” (Imam Al-Qusyairi)
“Allâhumma lakal hamdu annta nûrus-samâwâti wal ardhi wa mann fihinna, walakal hamdu annta qayyimus-samâwâti wal ardhi wa mann fihinna, wa lakal hamdu anntal haqqu wa waduka haqquw wa qauluka haqquw, wa liga-uka haqquw, wal jannatu haqquw, wan-nâru haqquw, was-sâatu haqquw, wan-nabiyyuna haqq, Muhammadun haqq. Allâhumma laka aslamtu wa ‘alaika tawakkaltu wabika âmanntu wa ilaika anabtu wabika khashamtu wa ilaika hâkamtu faghfirlî ma qaddamtu wa mâ akh-khartu wa mâ asrartu wa mâ ‘alanntu annta muqaddimu wa annta muakh-khiru lâ ilâha illa annta wa lâ ilâha illa ghairuka”
“Ya Allah, bagi-Mu segala puji. Engkaulah penegak langit dan bumi dan alam semesta beserta segala isinya. Bagi-Mu-lah segala puji. Engkau raja penguasa langit dan bumi. Bagi-Mu-lah segala puji. Engkaulah yang haqq (benar), dan janji-Mu adalah haqq, dan perjumpaan-Mu itu adalah haqq, dan firman-Mu adalah haqq, dan surga-Mu adalah haqq, dan neraka adalah haqq, dan nabi-nabi itu adalah haqq, dan Nabi Muhammad adalah haqq, dan hari Kiamat itu adalah haqq. Ya Allah, kepada-Mu-lah -kami berserah diri, kepada Engkau jualah kami kembali, dan kepada-Mulah kami merindu, dan kepada Engkaulah kami berhukum. Ampunilah kami atas kesalahan yang sudah kami lakukan dan yang sebelumnya, baik yang kami sembunyikan maupun yang kami nyatakan. Engkaulah Tuhan yang terdahulu dan Tuhan yang terakhir. Tiada Tuhan melainkan Engkau, Allah Rabbul Alamîn. Tiada daya dan kekuatan melainkan dengan Allah” (HR Al-Bukhari)
Saudaraku, doa ini selayaknya menjadi bagian dari keseharian kita. Tiada berlalu malam kecuali kita menyempatkan diri membaca doa yang mulia ini, khususnya pada sepertiga malam terakhir. Bagaimana tidak, Rasulullah senantiasa membaca doa ini di akhir shalat malamnya. Layaknya doa-doa lain yang dicontohkan Rasulullah mengetahuan doa ini pun sangat mulia, dalam maknanya, dan menggambarkan penyerahan diri secara total dari seorang hamba kepada Tuhannya. Nabi, sebagai manusia paling mulia, dalam doa ini, memposisikan diri sebagai hamba yang lemah, penuh dosa, lagi tidak punya daya dan kekuatan. Pada saat yang bersamaan, beliau pun mengagungkan Allah seagung-agungnya, mengakui kebenaran dan kemahasempurnaan-Nya.
Memaknai Asma’ Allah Al-Haqq
Ada asma’ Allah yang diulang-ulang oleh Rasulullah dalam doa Tahajud ini, yaitu Allah Al-Haqq; Allah Yang Mahabenar. Tidak hanya wujud dan sifat-Nya yang haqq (benar), tetapi juga semua perbuatan Allah haqq adanya, termasuk janji-janji-Nya yang tertuang dalam Al-Quran. Dengan demikian, mustahil bagi Allah untuk salah atau kebenarannya tercampur dengan kesalahan, walau hanya sedikit saja. Allah adalah AlHaqq karena semua kebenaran adalah milik-Nya. Bagaimana pun bentuk itu, semuanya akan kembali kepada-Nya. Sesungguhnya, segala sesuatu berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Sebagai nama dan sifat Allah, Al-Haqq menunjukkan bahwa Dia adalah Zat Yang tidak akan pernah mengalami perubahan. Dia wujud dan wujud-Nya bersifat wajib, serta tidak dapat digambarkan dalam benak manusia. Dia tidak tersentuh ketiadaan dan perubahan. Dialah sumber kebenaran, sehingga wajib bagi manusia untuk menyembah dan memuliakan-Nya. Al-Quran menegaskan, ”Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (QS Al-Qashash, 28:88)
Pemaknaan ini sesuai dengan asal kata Al-Haqq itu sendiri, yang terdiri dari huruf ha’ dan qaf yang artinya berkisar pada ”kemantapan sesuatu” dan “kebenarannya” Al-Haqq adalah lawan dari al-bâthil. Sesuatu yang mantap dan tidak berubah, dinamai pula haqq, demikian pula yang ”harus dilaksanakan” atau “yang wajib”. Nilai-nilai Islam pun dikatakan haqq karena dia senantiasa mantap dan tidak berubah, demikian pendapat sebagian ulama.
Menurut ulama lain, selain memaknai Al-Haqq sebagai pemilik kebenaran dan yang menampakkannya, mereka pun berpendapat bahwa Al-Haqq berarti al-muhiqq atau ash-shadiq (yang jujur) atau al-‘adl (yang adil). Al-Haqq pun menampakkan diri sebagai isim mutlak. Maknanya, Dia sebagai Yang Mahanyata, Mahakekal, dan Maha Pemberi Petunjuk. Adapun Al-Haqq pada selain-Nya, semisal pada makhluk, digunakan untuk menyebut perbuatan baik dan keyakinan yang lurus. Maka, kita pun seringkali mendengar ucapan, “Ini perbuatan, perkataan, atau keyakinan yang benar (haqq).”
Spirit Al-Haqq: Teguh Membela kebenaran
Makna Al-Haqq menunjukkan bahwa selain Allah Azza wa Jalla adalah batil atau setidaknya mengandung kebatilan. Tidak akan ada yang tidak pernah salah, tidak pernah kurang, atau yang murni semurni-murninya. Hanya Allah Azza wa Jalla yang memiliki semua kebenaran, kesempurnaan, kemurnian, dan ketidakberubahan. Dengan pemahaman ini, seseorang akan yakin bahwa Allah-lah Yang Mahabenar sehingga dia tidak ada lagi keraguan dalam berbuat ketaatan kepada-Nya.
Imam Al-Qusyairi mengungkapkan, ”Idealnya, siapa pun yang sudah mengenal bahwa Dia pemilik haqq (kebenaran), ada keharusan baginya untuk lebih mengutamakan hak Allah daripada nasib dirinya. Dan, imbalan atas pengutamaan hak Allah itu adalah, Dia akan menundukkan para makhluk kepadanya?
Apa yang diungkapkan Imam Al-Qusyairi seakan menegaskan salah satu hadis terkenal dari Rasulullah Beliau bersabda, “Sungguh, jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril, lalu berfirman, Aku sungguh mencintai si Fulan, cintailah dia! Maka, dia pun dicintai penghuni langit. Kemudian dia diterima di bumi. Sebaliknya, jika Allah membenci seorang hamba, maka Allah akan memanggil Jibril, lalu berfirman, “Aku sungguh membenci si Fulan, bencilah dia! Maka, Jibril pun membencinya dan berseru kepada penduduk langit, “Sungguh, Allah membenci si Fulan, maka bencilah dia’. Lalu dia pun dibenci penghuni langit. Kemudian dia mendapatkan kebencian di bumi” (HR Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi)
Pemahaman terhadap asma’ Allah Al-Haqq menuntut seseorang untuk menjadikan perintah Allah Ta’ala sebagai prioritas utamanya, di atas prioritas diri dan keluarganya; menjadikan kebenaran sebagai panduan di atas kehendak hawa nafsu. Tidak mudah memang! Kebenaran adalah jalan yang lurus. Untuk menempuhnya, seorang hamba harus berhadapan dengan aneka macam ujian dan penentangan, baik itu yang berasal dari dalam maupun dari luar diri.
Ada teladan menarik dari Imam Ahmad bin Hambal tentang bagaimana kita melaksanakan prinsip ini. Lima belas tahun lamanya beliau menjadi dimusuhi para penguasa. Lima belas tahun lamanya pula dia berada dalam tekanan, intimidasi, pengekangan, penyiksaan, sampai pengapnya ruangan penjara. Penulis kitab Al-Musnad ini, dalam jangka waktu itu berjuang mempertahankan keyakinan bahwa Al-Quran itu Kalamullâh bukan makhluk (ciptaan) Allah, sebagaimana dihembuskan orang-orang Mu’tazilah. Pada masa beliau hidup, aliran Mu’tazilah yang sangat mementingkan akal, teng mengalami masa-masa kej annya. Mereka mendapat dukungan penuh Khalifah Al-Makmun Ar-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Khalifah, dengan dukungan orang-orang Mu’tazilah, segera melaksanakan aksi memberangus pemikiran-pemikiran para ulama yang lurus dan memaksa mereka untuk mengakui dan mendukung mazhab resmi negara. Ada ulama yang gugur keyakinannya, akan tetapi ada pula yang bertahan, salah satunya Imam Ahmad bin Hambal.
Sebagai akibatnya beliau harus berhadapan dengan tangan besi kekuasaan. Tidak tanggung-tanggung ada tiga khalifah harus beliau hadapi. Pertama Khalifah Al-Ma’mun, kemudian penggantinya Khalifah Al-Mu’tasim. Inilah masa terberat bagi Imam. Karena bersikeras menolak mazhab resmi negara, Imam Ahmad bin Hambal dicambuk habis-habisan lalu dijebloskan ke penjara. Pada masa khalifah berikutnya, Al-Wasiq, beliau dilarang mengajar dan dipaksa menghentikan seluruh aktivitas intelektualnya. Namun semua tekanan ini gagal menyimpangkan beliau dari jalan yang lurus. Penderitaan ulama besar ini baru berakhir ketika Al-Mutawakkil menjadi khalifah. Negara kembali lagi pada kepercayaan awal dan membuang jauh paham Mu’tazilah.
Apa yang dilakukan Imam Ahmad bin Hambal membuat berkesan banyak orang, termasuk salah seorang guru besarnya, yaitu Imam AsySyafi’i. Beliau berkomentar, “Dia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan keberaniannya menanggung petaka akibat tekanan Khalifah Abbasiyah selama 15 tahun, karena menolak doktrin resmi Mu’tazilah, merupakan saksi hidup akan watak agung dan kegigihan yang mengabadikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa.”
Itulah ganjaran dari Allah Al-Haqq kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa istiqamah dalam menegakkan yang haq dan menolak yang batil. Allah memuliakannya di dunia dan di akhirat. Insya Allâh.
Spirit Al-Haqq: Istiqamah dalam ketaatan
Seorang hamba yang menjadikan Al-Haqq sebagai sumber inspirasi dan energi dalam hidupnya, dia akan sangat yakin dengan kebenaran Rabbnya, kebenaran agama yang diturunkan-Nya, kebenaran rasul yang diutus Nya, kebenaran perintah dan larangan-Nya. Dia tidak ragu dengan apa yang datang dari-Nya. Maka, dia pun akan istiqamah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah sesuai kapasitas dirinya sebagai seorang hamba.
Itulah mengapa, ketika seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku tentang agama Islam dengan satu ucapan sederhana yang bisa mencakup keseluruhan sehingga aku tidak perlu bertanya lagi kepada engkau sesudah ini.” Beliau pun menjawab, “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah, lalu beristiqamahlah!” (HR Muslim)
Saudaraku, keimanan dan keistiqamahan adalah dua kata kunci penting. Ketika seseorang telah menyatakan dirinya beriman kepada Allah Ta’ala, yakin kepada-Nya, kemudian dia beristiqamah di dalam keimanan, pendiriannya, amal salehnya, keikhlasannya, dia niscaya akan mendapatkan kebahagiaan yang dicari. Ketika seseorang telah mendapatkan dua kata kunci tersebut dalam dirinya, dia bisa mencapai derajat kekasih Allah dengan
Bagaimana tidak menjadi kekasih-Nya, sedangkan Allah Ta’ala teramat menyukai perbuatan baik yang dilakukan secara konsisten, terusmenerus, kontinu, meskipun amal kebaikan itu hanya kecil atau sedikit saja. Rasulullah meneng bersabda, “Beramallah dengan benar dan sungguhsungguh, ketahuilah bahwa sesungguhnya seorang dari kalian tidak akan masuk surga karena amalannya” Mereka bertanya, “Dan apakah engkau juga wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Ya) demikian juga aku, kecuali Allah memberikanku rahmat-Nya. Dan ketahuilah bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (berkesinambungan, istiqamah) walaupun itu sedikit” (HR Muslim)
Mengapa amal kebaikan yang sedikit tapi dilakukan secara berkesinambungan itu lebih disukai? Sebab, ketika satu amal kebaikan dilakukan secara kontinu, itu artinya si pelaku itu berzikir secara berkesinambungan pula. Itu artinya dia pun melakukan upaya pendekatan kepada Allah Ta’ala secara terus menerus pula.
Ambil contoh, ada seseorang yang membiasakan diri untuk membaca sepuluh ayat Al-Quran setiap kali dia selesai menunaikan shalat. Meskipun ayat-ayat Al-Quran yang dia baca itu tidak banyak, hal tersebut telah mengindikasikan betapa kuat usahanya untuk konsisten dalam mengingatNya. Demikian pula, seseorang yang keluar dari masjid kemudian bersedekah, meskipun dengan jumlah yang relatif kecil, apabila dia menjadikannya sebagai hal yang rutin, itu lebih baik daripada bersedekah besar tapi hanya sekali. Dengan melakukan hal tersebut, dia dianggap terus berzikir sejak di dalam masjid sampai keluar masjid.
Hal yang sama terjadi pula dengan orang yang membiasakan diri untuk berdoa setiap kali bangun tidur. Boleh jadi, sepanjang hari dia tidak bisa melakukan amal-amal yang besar, tidak bisa selalu bersedekah, shalat Dhuha, dan Tahajud, akan tetapi dia disukai oleh Allah Ta’ala karena dia istiqamah dalam berzikir setiap kali dia bangun dari tidurnya.
Maka, kita bisa paham mengapa orang yang beristiqamah senantiasa merasa tenang karena hatinya erat terus dengan Rabbnya. Sikap istiqamah adalah hal yang wajib dilakukan oleh manusia terhadap Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin pengabdian terhadap-Nya dilakukan secara sekalisekali saja. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiadalah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai selain apa yang Aku wajibkan atasnya, dan hamba-Ku senantiasa mendekati-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya, dan jika Aku mencintainya, maka Akulah pendengaran yang selalu dia pakai untuk mendengar, penglihatan yang selalu dia gunakan untuk melihat, tangan yang dia gunakan untuk menggerakan segala sesuatu, kaki yang dia pakai berjalan, dan apabila dia memohon kepada-Ku, Aku berikan. Dan apabila dia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku melindunginya.” (HR Al-Bukhari)
Jadi, berkahnya orang yang beristiqamah itu adalah dicintai oleh Allah ile ya Dia pun dijaga oleh malaikat. Ketika dia tidak bisa melakukan amal kebaikan yang sudah biasa dia lakukan secara konsisten, dia tetap mendapatkan pahala dari amal kebaikan yang biasa dia lakukan itu. Misalnya adalah ketika seseorang membiasakan diri untuk selalu shalat Subuh secara berjamaah di masjid. Suatu ketika dia jatuh sakit sehingga tidak bisa shalat Subuh berjamaah di masjid sebagaimana biasanya. Maka, sebenarnya dia tetap mendapatkan pahala. Contoh lain, seseorang terbiasa menunaikan shalat Tahajud setiap malam. Pada satu ketika, ternyata dia tertidur sangat pulas disebabkan kelelahan setelah bekerja. Maka, dia tetap mendapatkan pahalanya.
Kebaikan lain yang akan didapatkan oleh orang yang istiqamah adalah dia akan selalu ingat dengan amal kebaikan yang selalu dilakukannya. Meskipun di dalam benaknya berjejalan juga ingatan-ingatan terhadap urusan lainnya. Akan tetapi, amal kebaikan tersebut selalu ada dalam ingatannya, terselip di antara berbagai urusan lainnya. Contohnya adalah orang yang selalu membiasakan diri menunaikan shalat Tahajud. Pola yang ada di dalam benaknya adalah: ‘Tahajud, jaket, sepatu, peci, cucian, Tahajud, buku, sandal, kacamata, saputangan, Tahajud, utang, belanjaan, kunci rumah, Tahajud. Coba perhatikan pola tersebut, manakah hal yang lebih banyak ada di dalam ingatan? Demikianlah apabila seseorang beristiqamah dalam menunaikan suatu amalan ibadah tertentu. Persis seperti kala kita sering melewati suatu jalan atau gang, kita akan menelusurinya dengan sangat mudah tanpa harus fokus mengingat-ngingat rutenya. Meskipun di jalan atau gang itu terdapat banyak perubahan ornamen atau aksesori.
Maka, Al-Quran pun menginformasikan, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan Kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan (istiqamah) pendirian mereka, niscaya malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu?” (QS Fushshilat, 41:30)
Di dalam ayat tersebut di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia akan menurunkan para malaikat kepada orang-orang yang istiqamah dalam beriman kepada Allah ile Dia akan dianugerahi kekuatan hati sehingga terhindar dari rasa takut dan sedih. Hatinya akan diliputi dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Di dunia dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. Adapun di akhirat, dia akan dianugerahi surga dengan segala keutamaannya.
Seorang pedagang yang istiqamah misalnya, dia akan selalu berlaku jujur, baik itu dalam timbangannya ataupun juga dalam hal informasi kualitas barang yang didagangkannya. Dengan cara berdagang yang demikian, dia yakin akan mendapatkan keuntungan yang terus mengalir walau secara nominal mungkin tidak terlalu besar. Dia merasa tenang dan bahagia karena akan mendapat keuntungan yang jauh berlipat ganda, yaitu keuntungan yang dilatarbelakangi ridha Allah mengatas apa yang dilakukannya dalam perniagaan.
Orang yang berbelanja kepadanya pun, mereka akan tenang dalam berbelanja. Ketenangan mereka muncul karena rasa percaya atas kejujuran timbangannya. Dalam banyak kasus, kejujuran yang logikanya mendatangkan keuntungan yang kecil, justru memikat rasa simpati para pembeli untuk kemudian memberikan berbagai macam kebaikan kepadanya. Tanpa ada unsur pamrih, bagaimana pun juga kejujuran senantiasa berdampak kebaikan.
Demikian dengan profesi lainnya. Keistiqamahan dalam menetapi kebaikan akan membuatnya bersikap amanah dalam menunaikan setiap tugas yang diberikan kepadanya. Dia tidak akan melakukan kecurangan, manipulasi, atau korupsi. Seseorang yang beristiqamah terhadap Allah, dia tidak akan pernah kendur semangatnya untuk tetap bekerja secara lurus di dalam jalur kebenaran dan ketaatan terhadap-Nya.
Keistiqamahan akan membuat seseorang mempraktekkan nilai-nilai ibadah di dalam setiap akfititas dan rutinitasnya. Sekalipun dia berada di dalam lingkungan yang penuh dengan tipu muslihat dan jebakan maksiat, dia tidak akan terjebak. Dia akan bisa mawas diri untuk tidak sedikit pun mendekati apa yang syubhat apalagi yang diharamkan oleh Allah terhadap dirinya.
Saudaraku, aneka kebaikan ini adalah hasil dari peneladanan kita terhadap Allah Al-Haqq. Ketika kita yakin akan kebenarannya, kita pun akan istiqamah di jalan-Nya dengan sepenuh cinta. Lalu, beragam anugerah dari-Nya akan berhamburan ke pangkuan kita, di dunia dan di akhirat.
Mutiara Kisah
Istiqamah dalam ketaatan, yang berakar pada keyakinan terhadap kebenaran firman Allah dan rasul-Nya, akan melahirkan aneka kebaikan
dan keajaiban dalam hidup, disadari ataupun tidak. Kisah berikut termasuk salah satu contohnya.
Dikisahkan, ada seorang zahid yang memiliki utang 500 dirham. Dia sudah berdoa dan berusaha untuk melunasi utangnya akan tetapi utangnya belum juga terbayarkan. Sampai pada suatu malam, dia bermimpi bertemu dengan Rasulullah internet . Dalam mimpinya itu beliau berkata, “Temuilah Abul Hasan Al-Kisái–seorang sosok terkemuka di Naysapur yang sering memberikan santunan pakaian kepada 10.000 orang miskin setiap musim gugur. Katakan kepadanya bahwa Rasulullah menyampaikan salam dan memerintahkannya untuk bersedekah sebanyak 500 dirham. Tandanya kamu setiap malam selalu bershalawat kepada beliau sebanyak seratus kali dan pada malam ini kamu tidak bershalawat kepadanya?
Orang ini kemudian mendatangi Abul Hasan di Naysapur. Setelah bertemu, dia berkata kepadanya, “Rasulullah telah mengutusku agar aku menemuimu dengan tanda (dia menyebutkan apa yang terjadi dalam mimpinya).”
Saat mendengar kabar tersebut, lelaki kaya dari Naysapur ini segera menjatuhkan diri dari tempat duduknya, lalu menyungkur sujud kepada Allah. Dia kemudian berkata, “Ini adalah rahasia antara aku dan Tuhanku yang tidak diketahui oleh siapapun. Sungguh benar apa yang disampaikan Rasulullah
Abul Hasan lalu memberikan uang kepada tamunya itu sebanyak 2.500 dirham. Dia berkata, “Uang yang 1.000 dirham untuk kabar gembira yang kau bawa; 1.000 dirham lagi karena engkau telah mengingatkan kelalaianku bershalawat; dan yang 500 dirham sesuai dengan perintah Rasulullah (Syaikh Abdul Hamid Al-Anq?ri, Nasihat Langit untuk Maslahat di Bumi, hlm. 18)
Mâsyâ Allâh. Keistiqamahan bershalawat telah menyematkan keutamaan kepada pelakunya, sebagaimana halnya Abul Hasan AlKisâ’i. Bagaimana bahagianya perasaan dia mendapat salam dan nasihat langsung dari Rasulullah mene. Dapat dipastikan dia, dan juga lelaki zahid yang menjadi tamunya, adalah sosok yang meyakini kebenaran firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah tentang keutamaan bershalawat sehingga mereka menjadikannya sebagai bagian dari kesehariannya. *
Tips Meneladani Al-Haqq
- Berusahalah mensucikan perkataan dari dusta dan hawa nafsu.
- Meyakini bahwa semua yang datang dari Allah dan rasul-Nya adalah haqq dan jauh dari kebatilan.
- Berusahalah menjadi sosok yang haus akan kebenaran; yang gemar mencari kebenaran, lalu mengamalkan dan menyebarkannya kepada . orang lain.
- Istiqamahlah dalam menetapi amal-amal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan membawa maslahat bagi sesama.
- Senantiasa berlindung dari keburukan, baik yang ditimbulkan oleh diri sendiri maupun orang lain.
- Dawamkanlah shalat Tahajud beserta doa yang dicontohkan oleh Rasulullah .
Mutiara Doa
Allâhumma rabba jibra-il, wamîka-il, wa israfil fathiras-samâwâti wal’ard, välimal ghaibi wasy-syahâdati, annta tahkumu baina ‘ibâdika fima kán? fihi yakhtalifûn. Ihdinî limakh-tulifa fihi minAl-Haqq i bi-idznik, innaka tahdi man tasyâ-u ilâ shirâthim-mustaqim.
“Ya Allah, Tuhannya Jibril, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang Nasrani dan Yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dari-Mu. Sesungguhnya Engkau (Mahakuasa untuk) menunjukkan kepada jalan lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki.” (HR Muslim)
Percikan Hikmah
“Ketika engkau mengucapkan “subhânallâh”, hendaklah tertanam pensucian terhadap Allah dalam hatimu. Karena itulah, kalimat tasbih disyariatkan untuk dibaca kala ruku, sujud, dan selepas shalat. Ketika engkau melafalkan “alhamdulillâh”, yaitu pengakuan bahwa segenap nikmat datang dari Allah dan semua adalah milik-Nya, hendaklah tertanam rasa syukur di dalam hatimu. Ketika engkau menyuarakan ”Allâhu Akbar”, hendaklah terpancang pula makna pengangungan di dalam hatimu. Maka, setiap zikir menanamkan makna dan kebenaran akan ma’rifat (pengenalan) Ilahiyah dalam hati sesuai dengan kebutuhanmu.” (Ibnu Atha’illah) Yayasan Bina Amal Semarang