AL-JALIL Allah Yang Mahaagung
“Dan tetap kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulian. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS Ar-Rahmân, 55:27-28)
Di antara nama-nama Allah Azza wa Jalla yang terangkum dalam Asmâul Husna, asma’ Al-Jalil termasuk salah satu nama yang tidak disebutkan dalam Al-Quran. Namun demikian, para ulama tetap menganggapnya sebagai bagian dari Asmâ’ul Husna. Syaikh ‘Ali Ahmad Ath-Thahthawi misalnya, dalam Miftâh Al-Jannah: Syarh Aqidah Ahlul Qurân was-Sunnah, beliau menuturkan bahwa, “Di dalam Al-Quran tidak disebutkan nama dalam bentuk ini (Al-Jalil) akan tetapi disebutkan dalam bentuk Dzul-Jalal” –
Allah Al-Jalil, menurut Imam Al-Ghazali, adalah Dia yang menyandang sifat-sifat Jalâl (keagungan), yaitu Mahakaya sehingga tidak membutuhkan, Mahasuci, Maha Mengetahui, Mahakuasa, dan sifaf-sifat yang menunjukkan kesempurnaan lainnya. Dari sini, makna Al-Jalîl dapat dibedakan dengan asma’ Al-Kabîr dan Al-‘Azhîm. Al-Kabîr menunjuk kebesaran Zat-Nya. Al-Jalîl menunjuk kebesaran sifat-Nya, sedangkan Al-‘Azhîm merupakan kombinasi dari kebesaran Zat dan sifat yang dinisbatkan kepada jangkauan mata hati.
Adapun menurut Ar-Razi, kata Jalal mengandung isyarat menafikan, seperti bahwa Allah bukan fisik, tidak membutuhkan, tidak tidur atau mengantuk, tidak lemah, tidak beranak dan diperanakkan, tidak lalai, dan sebagainya. Dengan demikian, Allah Al-Jalil adalah Dia Yang Mahaagung dari segala sesuatu yang tidak wajar untuk disandang oleh-Nya. (Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi)
Dari pengertian-pengertian ini, nyatalah bahwa Allah adalah Zat Yang Mahaagung sifat-Nya, tindakan-Nya, dan segala yang diputuskan-Nya. Dia, tidak hanya menampilkan Diri-Nya sebagai Zat Yang Mahabesar, tetapi juga menyelaraskannya dengan sifat-sifat dan tindakan-Nya yang Mahaagung pula.
Spirit Al-Jalil: Membangun kredibilitas Diri
Bagaimana meneladani asma’ Allah Al-Jalil dalam kehidupan? Sebagaimana Allah yang memiliki keselarasan antara sifat dan perbuatan-Nya, antara kedudukan dan tindakan-Nya, kita pun sebagai manusia yang berusaha meneladani-Nya, dituntut untuk menampilkan diri secara lebih baik. Kita dituntut untuk menyelaraskan antara penampilan luar dengan penampilan dalam, sehingga apa yang terucap merupakan ungkapan suara hati yang suci bersih. Kita pun dituntut agar apa yang kita lakukan menjadi gambaran terbaik dari amanah-amanah yang kita emban.
Sejatinya, setiap orang memiliki kedudukan. Rasulullah menghang pun menegaskan bahwa setiap orang adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Agar bisa mempertanggungjawabkan kedudukan ini, tidak ada jalan lain bagi kita selain terus belajar dan beramal, sehingga bertambahnya usia bisa diimbangi dengan bertambahnya kualitas dan bobot diri. Pun, bertambahnya amanah yang diemban sebanding dengan bertambahnya kemampuan untuk menjalankan amanah tersebut.
Kemampuan memegang amanah, satunya kata dan perbuatan, pada akhirnya akan melahirkan kredilitas diri yang mumpuni. Kepada orangorang semacam inilah, Allah Al-Jalil akan menganugerahkan sepercik saja dari keagungan-Nya. Orang-orang akan segan kepadanya, menghormati, mempercayai, dan tidak akan meremehkannya, entah kawan ataupun lawan.
Lalu, hal-hal apa saja yang patut kita usahakan dalam membangun kredilitas diri, sebagai bentuk peneladanan kita terhadap asma’ Al-Jalil?
Pertama, kejujuran. Kejujuran adalah perilaku kunci yang sangat efektif untuk membangun kepercayaan. Begitu pula bila sebaliknya, ketidakjujuran dapat menghancurkan hidup seseorang. Maka, biasakanlah untuk selalu jujur, bahkan dari hal yang paling sederhana, meski terhadap anak kecil. Ketahuilah saudaraku, Allah Azza wa Jalla senantiasa menilai perilaku kita. Yakinlah ketidakjujuran hanya akan mendatangkan kerugian.
Maka ….
- Jangan sekali-kali berbohong atau terpancing untuk menambahnambah pembicaraan sehinga menjadi dusta walau hanya gurauan sekalipun.
- Jangan mudah berjanji, pastikan setiap janji yang diucapkan sudah diperhitungkan matang-matang, dan berusaha keraslah untuk memenuhinya.
- Tepat waktulah dalam segala hal. Jangan terlambat atau gemar menunda-nunda atau mengakhirkan. Biasakanlah memiliki data dan fakta, dan bersikaplah terbuka.
- Milikilah kemampuan dan kesungguhan untuk mengevaluasi diri. Kemudian segera perbaiki diri begitu ditemukan kesalahan serta bertanggungjawablah dengan sungguh-sungguh dan ikhlas.
- Dan, jangan patah semangat apabila didapati masa lalu kita pernah atau banyak ketidakjujuran. Yakinlah Allah sangat menyukai orang-orang yang serius memperbaiki diri. .
Kedua, cakap memuaskan. Selain kejujuran, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kecakapan kita dalam melaksanakan amanah atau tugas. Walaupun sangat dikenal dan teruji kejujurannya akan tetapi kalau dalam melaksanakan tugas sering lalai, hal ini pun akan merontokkan kepercayaan. Agar bisa cakap memuaskan, kita dituntut untuk terus belajar, melatih diri, mengembangkan kemampuan, wawasan serta keterampilan sehingga kita selalu memiliki kesiapan yang memadai untuk melaksanakan tugas.
Maka ….
- Biasakan membuat perencanaan yang baik dan persiapan yang matang. Gagal dalam merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan.
- Selalu check and recheck. Kita tidak boleh melakukan sesuatu tanpa cek ulang. Hal semacam ini akan membuka peluang untuk lahirnya banyak kesalahan. Kita hanya dapat menghindarkannya dengan sikap yang selalu mengadakan pengecekan ulang.
- Laksanakan segala sesuatu dengan kesungguhan, kehati-hatian dan kecermatan. Jangan anggap remeh kelalaian dan kecerobohan karena semua itu biang kesalahan dan kegagalan.
- Selalu sempatkan untuk evaluasi pada setiap tahap yang kita lakukan. Percayalah, merenung sejenak untuk mengevaluasi membuat karya kita akan semakin bermutu.
- Nikmatilah prosesnya dengan menyempurnakan apa yang bisa dilakukan. Jangan puas dengan setengah-setengah, jangan pula puas dengan 90 persen. Kalau kita bisa menyempurnakannya menjadi 100 persen, mengapa tidak?
Ketiga, inovatif. Perubahan itu keniscayaan saudaraku. Di dunia ini tidak ada sesuatu apapun yang tidak berubah. Satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Oleh karena itu, siapapun yang tidak menyiapkan diri untuk menghadapi perubahan, dia akan tergilas oleh perubahan tersebut.
Dengan demikian, jelaslah makna dari ungkapan bahwa orang yang hari ini sama dengan hari kemarin adalah orang yang rugi. Itu artinya, alih-alih mendapatkan kemajuan dalam hidupnya, dia justru tetinggal oleh perubahan. Adapun orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dia dianggap orang yang celaka. Bagaimana tidak, dia akan semakin jauh tertinggal dan sulit mengejar. Satu-satunya pilihan bagi orang yang beruntung adalah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Artinya harus ada peningkatan sesuatu yang bermanfaat. Inilah sikap perubahan yang diharapkan selalu terjadi pada seorang Muslim. Hanya dengan cara inilah, yaitu selalu antisipatif terhadap perubahan dan selalu siap menyikapi perubahan, kita tidak akan tertinggal dan tergilas roda zaman.
Maka kembangkanlah kemampuan kreatif dan kemampuan diri kita dengan:
- banyak membaca dan menulis.
- banyak berdiskusi dan bertanya.
- banyak melihat (mengadakan studi banding).
- banyak merenung (tafakur)
- banyak berbuat dan mencoba
- banyak beribadah dan berdoa.
Saudaraku, semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang gigih menjaga agar hidup menjadi orang bersih, lurus, jujur, terpercaya, dan memiliki kredibilitas diri yang mumpuni, sehingga kita layak menjadi hamba dari Allah Al-Jalil.
Spirit Al-Jalil: Menghiasi Wajah dengan Akhlak Mulia
Dalam meneladani asma’ Allah Al-Jalîl, kita dituntut untuk selalu menjaga keindahan dan kebersihan penampilan, baik lahir maupun batin. Lalu, kita berusaha menghiasinya dengan akhlak yang mulia. Sifat dan pribadi demikian, dengan izin Allah, akan mengandung dan mengundang simpati dan cinta, serta keseganan dan wibawa yang mengantar mata orang lain tidak mampu memandang wajahnya.
Layaknya Allah Al-Jalil, Zat Pemilik segala kagungan dan keindahan, yang dengan keagungan dan keindahan-Nya itu, menjadikan mata manusia, sekelas Nabi Musa as. sekalipun, tidak sanggup menatap-Nya. “Ketika Musa datang untuk bermunajat dengan kami, pada waktu itu telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah diri-Mu kepadaku agar dapat melihatmu? Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit ini, maka jika dia tetap ditempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihatku. Ketika Tuhannya menampakkan dirinya Kepada gunung itu, dijadikan-Nya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka, pada saat Musa telah tersadar, dia berkata, “Mahasuci Engkau. Aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama beriman” (QS Al-A’râf, 7:143)
Layaknya sikap para sahabat kepada Rasulullah Hotel Mereka begitu hormat, kagum, dan penuh kerendahan di hadapan kewibawaan dan keagungan beliau. Mereka tidak berani bertatap muka secara langsung dengan beliau, layaknya bertatap muka dengan orang-orang yang sederajat dengan mereka. Ketika Rasulullah tengah berbicara, mereka hening, diam dan mendengarkan dengan sepenuh perhatian, di kepala mereka bagaikan ada burung yang hinggap.
Saudaraku, untuk meraih keutamaan semacam ini, tiada cara terbaik yang bisa kita lakukan selain menghiasi diri kita dengan akhlak mulia: kejujuran, kesantunan, keramahan, kesabaran, kedermawanan, ketawadhuan, menjaga lisan, dan kemantapan iman kepada Allah. Buah dari akhlak mulia itu akan Allah Ta’ala tampakkan pada wajah kita.
Maka, sebagai tahap awal bagi siapa saja yang ingin meraih kemuliaan di hadapan Allah dan hamba-hamab-Nya, ketika pagi menyingsing, misalnya, tekadkan dalam diri, “Saya ingin tahu wajah yang paling menenteramkan hati itu seperti apa? Wajah yang paling menggelisahkan itu seperti bagaimana?” Sebab, pastilah hari ini kita akan banyak bertemu dengan aneka wajah. Dan, setiap wajah ternyata dampaknya berbedabeda kepada kita. Ada yang menenteramkan, ada yang menyejukkan, ada yang menggelikan, ada yang menggelisahkan, dan ada pula yang menakutkan. Lho, kok menakutkan? Mengapa? Apa yang menakutkan karena bentuk hidungnya? Tentu saja tidak! Sebab ada yang hidungnya mungil tapi menenteramkan. Ada yang sorot matanya tajam menghunjam, tapi menyejukkan. Ada yang kulitnya hitam, tapi penuh wibawa.
Pernah suatu ketika berjumpa dengan seorang ulama dari Afrika di Masjidil Haram, mâsyâ Allâh, walaupun kulitnya tidak putih, tidak kuning, tetapi ketika memandang wajahnya … sejuk sekali! Senyumnya begitu tulus meresap ke relung qalbu yang paling dalam. Sungguh bagai disiram air sejuk menyegarkan di pagi hari. Ada pula seorang ulama yang tubuhnya mungil, lan diberi karunia kelumpuhan sejak kecil. Namanya Asy hid Syeikh Ahmad Yassin, pemimpin spiritual gerakan Intifadah, Palestina. Beliau tidak punya dava, duduknya saja di atas kursi roda. Hanya kepalanya saja yang pengerak. Tapi, saat menatap wajabnya, terpancar kesejukan yang luar biasa. Padahal, beliau jauh dari ketampanan wajah sebagaimana yang dianggap rupawan dalam versi manusia. Tapi, ternyata dibalik kelumpuhannya itu beliau memendam ketenteraman batin yang begitu dahsyat, tergambar saat kita memandang sejuknya pancaran rona wajahnya.
Nah, saudaraku, kalau hari ini kita berhasil menemukan struktur wajah seseorang yang menenteramkan, cari tahulah kenapa dia sampai memiliki wajah yang menenteramkan seperti itu. Tentulah, benar-benar kita akan menaruh hormat. Betapa senyumannya yang tulus; pancaran wajahnya, tampak ingin sekali dia membahagiakan siapapun yang menatapnya. Dan sebaliknya, bagaimana kalau kita menatap wajah lain dengan sifat yang berlawanan; (maaf, bukan bermaksud meremehkan) ada pula yang wajahnya bengis, struktur katanya ketus, sorot matanya kejam, senyumannya sinis, dan sikapnya pun tidak ramah. Begitulah, wajah-wajah dari saudara-saudara kita yang lain, yang belum mendapat ilmu; bengis dan ketus. Dan ini pun perlu kita pelajari.
Ambillah kelebihan dari wajah yang menenteramkan, yang menyejukkan tadi menjadi bagian dari wajah kita, dan buang jauh-jauh raut wajah yang tidak ramah, tidak menenteramkan dan yang tidak menyejukkan.
Maka … tidak ada salahnya jika kita evalusi diri di depan cermin. Tanyalah, raut seperti apakah yang ada di wajah kita ini? Memang ada di antara hamba-hamba Allah yang bibirnya di desain agak berat ke bawah. Kadang-kadang menyangkanya dia kurang senyum, sinis, atau kurang ramah. Subhanallaah, bentuk seperti ini pun karunia Allah yang patut disyukuri dan bisa jadi ladang amal bagi siapapun yang memilikinya untuk berusaha senyum ramah lebih maksimal lagi.
Adapun bagi wajah yang untuk seulas senyum itu sudah ada, maka tinggal meningkatkan lagi kualitas senyum tersebut, yaitu untuk lebih ikhlas lagi. Karena senyum di wajah, bukan hanya persoalan menyangkut ujung bibir saja, tapi yang utama adalah, ingin tidak kita membahagiakan orang lain? Ingin tidak kita membuat di sekitar kita tercahayai? Rasulullah memberikan perhatian yang luar biasa kepada setiap orang yang bertemu dengan beliau sehingga orang itu merasa puas. Kenapa puas? Diriwayatkan bahwa Rasulullah itu apabila ada orang yang menyapanya, beliau menganggap orang tersebut adalah orang yang paling utama di hadapan beliau, sesuai kadar kemampuannya.
Walhasil, ketika Nabi Ke berbincang dengan siapapun, maka orang , yang diajak berbincang ini senantiasa menjadi curahan perhatian. Tidak heran apabila cara memandang, cara bersikap, ternyata menjadi atribut kemuliaan yang beliau contohkan. Hal ini ternyata berpengaruh besar terhadap sikap dan perasaan orang yang diajak bicara.
Adapun kemuramdurjaan, ketidakenakkan, kegelisahan itu muncul ternyata diantara akibta kita belum menganggap orang yang ada dihadapan kita orang yang paling utama. Makanya, terkadang kita melihat seseorang itu hanya separuh mata, berbicara hanya separuh perhatian. Misalnya, ketika ada seseorang yang datang menghampiri, kita sapa orang itu sambil baca koran. Padahal, kalau kita sudah tidak mengutamakan orang lain, maka curahan kata-kata, cara memandang, cara bersikap, itu tidak akan punya daya sentuh. Tidak punya daya pancar yang kuat.
Orang karena itu, marilah kita berlatih diri meneliti wajah, tentu saja bukan maksud untuk meremehkan. Tapi, mengambil tauladan wajah yang baik, menghindari yang tidak baiknya, dan cari kuncinya kenapa sampai seperti itu? Lalu praktikkan dalam perilaku kita sehari-hari. Selain itu belajarlah untuk mengutamakan orang lain!
Spirit Al-Jalîl: Menjaga Diri dari Perbuatan Tercela
Menghiasi diri dengan akhlak mulia tidak akan ada artinya kalau kita tidak menjaga diri dari aneka perbuatan tercela. Bagaimana mungkin kita memakan makanan enak di mangkuk yang penuh kotoran? Atau, bagaimana mungkin kita membersihkan dan menghiasi baju dengan aksesoris mahal tapi kemudian kita kotori dengan air got. Maka, peneladanan kita terhadap asma’ Allah Al-Jalil, menuntut kita untuk menjauhi aneka doa dan maksiat, baik lahir maupun batin. Sesungguhnya,setiap maksiat tidak akan pernah melahirkan keagungan dan kemuliaan, justru akan menjatuhkan kita pada kehinaan dan kerendahan.
Di antara maksiat yang sangat mudah menjatuhkan kredibilitas dan kemuliaan diri adalah ketidakterampilan kita dalam menjaga lisan. Kita melihat ada banyak orang yang senang berbicara tapi kurang terampil dalam menjaga kemuliaan dengan kata-katanya. Banyak orang gemar berkata-kata tanpa bisa menjaga diri, padahal kata-kata yang terucap harus selalu bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, boleh jadi kata-kata itulah yang akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sebelum berkata apapun, kita yang menawan kata-kata, tapi sesudah kata terucapkan, kitalah yang ditawan kata-kata. Rasulullah bersabda, “Siapa memperbanyak perkataan, niscaya akan jatuh dirinya. Dan siapa yang dirinya jatuh, niscaya akan banyak dosanya. Dan, siapa yang banyak dosanya, niscaya nerakalah tempatnya” (HR Abu Hatim)
Dalam hadis lain, Rasulullah pun bersabda, “Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus lisannya. Dan seseorang tidak akan masuk surga apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan lisannya” (HR Ahmad).
Secara kasat mata, lidah hanyalah bagian kecil dari organ tubuh manusia. Dia lentur, tidak bertulang. Namun, di balik sifat kelenturannya ini, tersimpan kedahsyatan yang bisa mengantarkan manusia ke pintu kebahagiaan, sekaligus bisa menjerumuskannya ke dalam kehinaan hidup di dunia dan akhirat. Abdullah ibn Mas’ud mengungkapkan, “Wahai lisan, ucapkanlah yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung! Diamlah dari mengucapkan yang buruk-buruk, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal!”
Bicara memang gampang, tapi sering kali kita tidak memikirkan efek dari lisan kita. Dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulûmuddîn, Imam Al-Ghazali menetapkan banyak bicara yang merupakan “buah perbuatan” lisan sebagai racun pertama hati, yang menyebabkan manusia jauh dari cahaya Ilahi.
Maka, berhati-hatilah dalam menggunakan lisan ini; menggerakkannya memang mudah, tidak perlu menghabiskan tenaga yang besar, tidak butuh biaya mahal, tapi bencana bisa datang kepada kita hanya karena kata yang terucap oleh lisan. Berbicara itu baik, tapi diam jauh lebih bermutu. Dan ada yang lebih hebat dari diam, yaitu berkata benar.
Suatu hari Luqman Al-Hakim diperintahkan majikannya untuk menyembelih seekor kambing dan mengambil dagingnya yang terbaik untuk jamuan tamu. Luqman pun membeli seekor kambing, kemudian menyembelihnya, lalu mengambil lidah dan hatinya untuk dimasak dan disajikan kepada majikan dan tamunya. Melihat hal itu, majikannya marah dan menegur, “Luqman, bukankah tadi aku perintahkan untuk mengambil daging terbaik untuk jamuan para tamuku?” Luqman pun menjawab, “Tidak ada daging terbaik kecuali lidah dan hati.”
Beberapa waktu kemudian sang majikan memerintahkannya untuk menyembelih kambing kembali dan menyuruhnya agar membuang daging yang terburuk. Luqman pun pergi ke pasar untuk membeli kambing dan menyembelihnya, kemudian dia buang lidah dan hatinya. Melihat ulah Luqman, sang majikan pun kesal lalu berkata, “Apa maksudmu, wahai Luqman? Kemarin aku perintahkan untuk menyembelih kambing dan menghidangkan daging terbaik, tetapi kamu hanya menyuguhkan hati dan lidah. Sekarang, ketika aku menyuruhmu untuk menyembelih kambing lagi dan memerintahkan kepadamu agar membuang daging terburuk, kamu pun membuang hati dan lidah. Apakah kamu bermaksud mempermainkan aku?”
“Maafkan hamba, Tuan, tetapi apa yang hamba lakukan itu memang sudah sepatutnya. Tidak ada daging terbaik kecuali lidah dan hati, apabila digunakan untuk kebaikan. Dan tidak ada daging terburuk kecuali lidah dan hati kalau digunakan untuk keburukan,” jawab Luqman dengan lugas.
Begitulah saudaraku …. lisanlah yang dapat menciptakan pola komunikasi manusia dengan manusia lainnya. Lisanlah yang memunculkan segala bahasa. Lisanlah yang memberi nada segala rasa. Lisanlah yang menimbulkan nyanyian dan irama. Lisan dapat membuat hati yang rindu menjadi mesra. Lisan yang penuh nasihat dapat menenteramkan amarah di dalam dada. Lisan dapat memutarbalikkan segala peristiwa. Dan lisanlah yang bisa membuat orang menangis menjadi tertawa.
Lisan yang dihiasi pancaran iman dan akal yang sempurna akan selalu berzikir, beristighfar, dan mengucapkan hal-hal terpuji. Adapun lisan yang tidak dihiasai pancaran iman hanya akan melakukan hal-hal yang biasa dikenal dengan istilah bahaya lisan. Paling tidak, ada lima bahaya lisan yang perlu kita waspadai, yaitu (1) dusta, (2) berburuk sangka atau sû’udzan, (3) menggunjing atau ghibah, (4) mengadu domba atau namîmah, dan (5) terlalu banyak bicara yang tidak penting. Pada saat kita terjatuh ke dalam lima hal tersebut, rusaklah amal-amal kita, jatuh pula kredibiltas kita.
Mutiara Kisah
Tiada generasi terbaik yang mampu mengenal, menghayati, dan meneladani asma’ Al-Jalîl selain generasi para sahabat, generasi yang dididik dan digembleng langsung oleh Rasulullah mengesan Pengenalan mereka terhadap asma’ Al-Jalîl terlihat dari kesungguhan mereka dalam menghiasi diri dengan akhlak mulia dan keseriusan mereka dalam menanggalkan aneka perbuatan hina.
Mereka pun sangat yakin dengan keagungan Allah, pertolongan-Nya, janji-Nya, dan semua kesempurnaan sifat dan perbuatan-Nya. Maka, seberat apapun penderitaan karena intimidasi, tekanan, dan siksaan dari kafir Quraisy, khususnya pada masa-masa awal penyebaran Islam di Mekkah, mereka tetap kuat karena ada Allah Al-Jalil. Mereka tidak silau dengan kekuasaan dan kesewenang-wenangan kaun Quraisy kepada mereka.
Kita lihat bagaimana sosok Zubair bin Awwam ra. yang masuk Islam pada usia 12 tahun. Beliau adalah sepupu Rasulullah . Ibunda Zubair, yaitu Shafiyah binti Abdul Muthalib, adalah bibi Nabi Musa . Ketika mengetahui Zubair masuk Islam, sang paman yang awalnya sangat menyayangi Zubair, menjadi murka alang kepalang. Dia kemudian menyiksa keponakannya itu dengan sangat kejam. Zubair diikat dengan api berkobar di sekelilingnya. Asapnya membuat Zubair sulit bernapas sehingga hampir membuatnya pingsan. Dalam keadaan seperti itu, sang paman memaksa Zubair untuk mengingkari Rasulullah mening dan kembali kepada agama jahiliyah.
“Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekufuran selamalamanya!” ujarnya dengan tegas walau fisiknya sudah sangat lemah.
Sang paman pun akhirnya menyerah. Dia melepaskan Zubair dan membiarkannya menjadi pengikut Rasulullah
Contoh lain, dipertunjukkan oleh Bilal bin Rabbah ra. yang selama disiksa oleh majikannya dalam bentuk dibaringkan di atas padang pasir di siang hari, sambil diletakkan sebuah batu besar di atas tubuhnya, dia hanya mengulang-ulangi ucapan, “Ahad! Ahad! Esa! Esa!”
Terkadang, Ummayah bin Khalaf, sang manjikan, mengikat leher Bilal dan menyerahkannya kepada anak-anak. Kemudian, anak-anak itu mengarak Bilal layaknya hewan di lembah-lembah Mekkah. Sementara, Bilal hanya berulang-ulang mengucap, “Ahad! Ahad! Esa! Esa!”
Lain pula dengan sahabat Khabab Al-Art. Saat mengetahui keislamannya, sang majikan menyiksa Khabab dengan menendang dan memukulinya. Dia dihajar dengan perkakas yang ada di rumah sampai pingsan dan berdarah-darah. Tidak cukup sampai di Khabab pun ditelanjangi lalu diganti dengan pakaian dari besi. Dia kemudian dibawa ke tengah padang pasir saat cuaca sangat terik. Khabab dibaringkan dan dibakar sampai tubuhnya terpanggang. sana,
“Katakan, siapa Muhammad?” desak mereka, berharap Khabab mau mendustakan Rasulullah
“Hamba dan utusan Allah,” jawab Khabab tegas.
Jawaban itu sangat tidak memuaskan. Khabab pun kembali dipukuli dan dijemur.
“Katakan siapa Latta dan Uzza?”
“Dia berhala bisu, tulis, dan tidak mampu berbuat apa-apa?”
Mereka kemudian meletakkan batu panas ke pundak Khabab dan membiarkannya sampai beberapa saat sampai pundaknya melepuh dan mengeluarkan cairan luka.
Jika sedang kalap, Ummu Anmar, sang majikan, menyiksanya dengan menempelkan besi panas ke tubuh Khabab sehingga membuatnya pingsan karena tidak kuat menahan sakit.
Suatu hari, kafir Quraisy membakar tumpukan kayu sampai menjadi bara. Mereka kemudian memaksa Khabab melepaskan baju lalu mendorong tubuhnya ke bara api itu sampai bara itu padam. (Dikutip dari Sahabat Muhammad mene. Kisah Cinta dan pergulatan Iman Generasi Mulim Awal, Dr. Nizar Abazhah)
Begitulah para sahabat Rasulullah memaknai asma’ Allah AlJalil dalam hidupnya. Meskipun orang-orang kafir tersebut memiliki kekuasaan di dunia, akan tetapi Zubair bin Awwam, Bilal bin Rabbah, Khabab Al-Art, dan sahabat lainnya tidak gentar sedikit pun. Mereka lebih takut kepada Allah Azza wa Jalla yang memiliki kekuasaan tidak terbatas, yang kekuatannya tidak bisa dilampaui oleh siapa pun, dan yang kebesarannya tidak tertandingi oleh suatu apapun. *
Tips Meneladani Al-Jalîl
- Berusahalah untuk tidak meminta-minta rezeki, kecuali kepada Allah Al-Jalîl.
- Berusahalah untuk mengutamakan seruan- n-Nya daripada seruan selain dari-Nya.
- Bangun “keagungan diri dengan kejujuran, sikap cakap memuaskan, dan sikap inovatif kreatif.
- Hiasilah diri dengan akhlak mulia. .
- Jauhi aneka perkara hina dan rendah.
- Janganlah takut kepada siapapun, selain hanya takut kepada Allah, takut tidak bisa taat kepada-Nya, takut menyelisihi perintah dan larangan-Nya, atau takut apabila menyakiti para kekasih-Nya. .
Doa