AL-KABIR Allah Yang Mahabesar
“Buktikan dengan sungguh-sungguh sifat-sifat kekuranganmu, niscaya Allah akan membantumu dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Akuilah kehinaanmu, niscaya Allah menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Akuilah kekuranganmu, niscaya Allah menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Akuilah kelemahanmu, niscaya Allah akan menolongmu dengan kekuatan-Nya.” (Ibnu Atha’ilah)
Allah adalah Al-Kabîr, Zat Yang Mahabesar. Dia yang kebesaran dan keagungan-Nya tidak dapat diumpamakan atau dihinggakan dengan akal pikiran. Dia yang hakikat-Nya tidak akan sanggup dijangkau akal. Dialah Allah, “Yang mengetahui semua yang gaib dan yang tampak; yang Mahabesar lagi Mahatinggi” (QS Ar-Rad, 13:9). Dialah Allah, “Yang Zahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Hadid, 57:3).
Allah adalah Al-Kabîr. Tanda-tanda kemahabesaran-Nya dapat kita saksikan di alam semesta. Lihatlah bagaimana jagat raya yang demikian luas sepenuhnya ada dalam genggaman Allah. Termasuk di dalamnya galaksi, matahari, planet, bumi, dan manusia benar-benar ada dalam genggaman Allah Ta’ala. Semua itu, termasuk manusia di dalamnya, tidak bernilai apa-apa dibandingkan kebesaran-Nya.
Lihatlah bumi yang kita tinggali; bumi yang menurut pandangan kita demikian besar, luas, dan amat kaya, sehingga hanya 0,0000x sekian persennya yang mampu kita jelajahi, ternyata tidak ada apa-apanya dalam bandingan alam semesta. Dia hanyalah satu dari delapan planet anggota tata surya yang berputar mengelilingi matahari. Matahari pun hanya satu dari sekitar 100 milyar bintang yang tergabung dalam galaksi Bima Sakti (Milky Way). Dari jumlah sebanyak itu, hanya sekitar 6.000 bintang saja yang dapat kita amati dengan mata telanjang. Sekitar 300 di antaranya berada di atas horizon dan separuhnya ada di bawahnya.
Padahal kita tahu, Bima Sakti bukan satu-satunya galaksi yang ada di alam semesta. Ada banyak sistem serupa yang mengisi setiap sudut langit sampai batas yang bisa dicapai oleh telekop terbesar yang dimiliki manusia. Jumlah keseluruhan galaksi yang dapat dipotret dengan teleskop berdiameter 500 cm di Mt. Palomar mungkin sampai satu milyar galaksi. Yang menarik, galaksi kita pun hanyalah satu dari seratus milyar galaksi lainnya yang tergabung dalam supercluster. Diperkirakan superclustersupercluster ini membentuk gugusan-gugusan lebih besar yang belum diketahui di mana tepinya.
Menurut para ilmuwan, diameter (garis tengah) alam semesta ini mencapai 30 milyar tahun cahaya. Artinya, jika cahaya ingin menyeberangi alam semesta dari tepi kiri ke kanan, atau sebaliknya, dibutuhkan waktu selama 30 milyar tahun. Padahal, dalam satu detik saja, kecepatan cahaya itu mencapai 300.000 km. Dengan kecepatan 300.000 km/detik, dalam waktu satu tahun cahaya akan menempuh jarak sekitar 9,5 juta juta kilometer. Coba hitung berapa km diameter alam semesta ini? Bandingkan dengan diameter Bumi kita yang luasnya hanya 510,1 juta km persegi! Bandingkan pula dengan keberadaan diri kita di alam semesta ini! Sungguh-sungguh tiada berarti. Padahal, alam semesta yang tak terkira besarnya ini hanya sedikit saja dari kekuasaan Allah yang tiada terbatas. Masih ada alam-alam lain ciptaan Allah Ta’ala yang jauh lebih hebat dan lebih besar lagi kapasitasnya. Allâhu Akbar!
Apabila bumi saja demikian kecil, bagai sebutir pasir di samudera nan luas, bagaimana lagi diri kita? Sungguh, di alam ini kita tidak ada apa-apanya, terlebih lagi di hadapan Allah Al-Kabîr, Zat Yang Mahabesar, Mahaagung, lagi Mahasempurna kuasa-Nya, Zat yang menciptakan semesta beserta segala isinya. Maka, teramat bodohnya apabila kita yang hina dina ini berani menyombongkan diri di hadapan-Nya, berani membantah perintah Nya, menyepelekan titah dan larangan-Nya, atau merendahkan apa yang dimuliakan-Nya.
Spirit Al-Kabir: Merendahkan Diri di Hadapan-Nya
Saudaraku, tiada yang layak untuk sombong selain Dia, Allah Al-Kabir, Zat Pencipta dan Penguasa alam semesta. Adapun selain Dia tidak layak sama sekali untuk menyombongkan diri. Maka, tiada cara terbaik kala dihadapkan pada kemahabesaran-Nya selain bersikap tawadhu dan merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Dia. Sebab, dengan cara itulah Allah akan memuliakan dan mengangkat derajat kita, serta memenuhi aneka macam hajat kita. Rasulullah bersabda, “Dan tiadalah seseorang merendahkan diri (tawadhu) karena Allah, melainkan akan mengangkat derajatnya” (HR Muslim)
Di sinilah kita bisa belajar pada pipa U. Semakin kita mengangkat diri, akan semakin jatuh pula kita dibuatnya. Sebaliknya, semakin kita menekan diri ke bawah (rendah hati), akan naik pula harga diri kita.
Ada sebuah tamsil dari Nabi Isa as. yang menjelaskan hal ini, “Sesungguhnya, tanaman itu hanya akan tumbuh di tanah dan tidak akan tumbuh di atas batu. Demikian juga hikmah, dia hanya akan menghuni hati orang yang tawadhu dan tidak akan tinggal dalam hati orang takabur. Tahukah engkau bahwa orang yang meninggikan kepalanya ke langitlangit, tentu kepala itu akan membenturnya. Namun, bagi orang yang merendahkannya, langit-langit itu akan meneduhi dan menutupinya” (Harits Al-Muhasibi, Memelihara Hak-Hak Allah, hlm. 408).
Seorang santri pernah bertanya kepada seorang guru, “Bagaimana caranya agar doa kita cepat dikabul oleh Allah?” Beliau menjawab, “Ketika kau berdoa, saat kau munajat, atau saat kau sujud, kecilkanlah dirimu sekecil-kecilnya di hadapan Allah, lalu besarkan Allah sebesar-besarnya semampu kau membesarkan-Nya. Niscaya rahmat dan pertolongan Allah akan mengalir kepadamu.”
Kita pun pasti ingat dengan kisahnya sahabat Abdullah bin Abbass ra. Beliau pernah bercerita. “Suatu hari aku berjalan di belakang Rasulullah Saat itu beliau bersabda, Nak, kuajarkan kepadamu beberapa kata; Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya Dia akan senantiasa bersamamu. Apabila kau minta, mintalah kepada Allah. Apabila kau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, jika semua manusia bersatu untuk memberikan sebuah kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis untukmu. Jika semua manusia bersatu untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan atasmu. Pena telah diangkat dan tinta telah kering”
Hadis riwayat At-Tirmidzi ini diungkapkan pula dalam redaksi berbeda. “Jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah diwaktu lapang, niscaya Dia akan mengenalmu di waktu susah. Ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu, dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan seiring dengan kesabaran, jalan keluar seiring dengan cobaan dan kemudahan seiring dengan kesulitan.”
Saudaraku, redaksi hadis ini singkat dan padat, akan tetapi cakupan maknanya teramat dalam dan luas. Melalui hadis yang mulia ini, Rasulullah memberikan kunci-kunci bagaimana mendapatkan pertolongan Allah. Satu pesan utama hadis ini adalah “penghambaan” kepada Allah. Lâ haula walâ quwwata illâ billâh. Tiada daya maupun upaya selain atas kekuatan Allah. Saat kita menyadari kekerdilan diri di hadapan Allah, pertolongan Allah niscaya akan mendatangi kita. Bukankah kita makhluk lemah, sedangkan Allah Maha Menggenggam segalanya?
Jadi, kunci terpenting agar kita ditolong Allah adalah dengan sungguhsungguh menghamba kepada-Nya. Saat kita ingin dimuliakan Allah, akuilah kehinaan kita di hadapan Allah. Saat kita ingin dilebihkan, akui kekurangan kita di hadapan Allah. Saat kita ingin dikuatkan Allah, akui kelemahan kita selemah-lemahnya di hadapan Allah.
Ibnu Atha’ilah rahimahullâh menuliskan dalam Al-Hikam, “Buktikan dengan sungguh-sungguh sifat-sifat kekuranganmu, niscaya Allah akan membantumu dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Akuilah kehinaanmu, niscaya Allah menolongmu dengan kemuliaan-Nya. Akuilah kekuranganmu, niscaya Allah menolongmu dengan kekuasaan-Nya. Akuilah kelemahanmu, niscaya Allah akan menolongmu dengan kekuatan-Nya.”
Dari sini pahamlah kita bahwa kekuatan terbesar yang kita miliki bukanlah kekuatan fisik, intelektual, kekuasaan ataupun harta kekayaan, Kekuatan terbesar kita adalah pertolongan Allah. Adapun hadirnya pertolongan Allah ini sangat dipengaruhi oleh sebesar dan sekuat apa kualitas keyakinan kita kepada-Nya. Kualitas keyakinan biasanya akan melahirkan kekuatan ruhiyah. Kekuatan ruhiyah akan melahirkan akhlakul karimah, seperti kualitas sabar, syukur, ikhlas, tawadhu, iffah, zuhud, qana’ah, dan lainnya. Adapun kualitas ruhiyah sangat dipengaruhi oleh kesungguhan kita dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Oleh karena itu, mulailah ketaatan dari keseharian kita. Saat mendengar kumandang azan, kecilkanlah semua urusan duniawi kita. Bisnis, rapat, pekerjaan, atau uang semuanya jadikan kecil. Allah-lah Yang Mahabesar sehingga kita bersegera menuju panggilan tersebut. Orang yang mengenal Allah akan menjadikan kalimat lâ khaufun ‘alaihim walâhum yahzanún (tidak ada yang ditakuti kecuali Allah), sebagai prinsip hidup.
Mutiara Kisah
Shalat adalah momen terindah bagi seorang hamba yang ingin bersua dengan Allah Al-Kabîr. Pada saat itulah dia bisa membesarkan Allah dengan takbir dan aneka pujian, serta merendahkan diri serendahrendahnya di hadapan-Nya melalui rukuk dan sujud. Berikut sekelumit kisah Hatim Al-Asham, seorang zahid dan ulama besar generasi tabi’in, yang sangat mengagungkan Allah Al-Kabîr, sebagaimana terungkap dalam Hilyatul Auliya dan sejumlah sumber lainnya.
Suatu ketika ‘Isham bin Yusuf mendatangi majelis Hatim Al’Asham. Dia kemudian bertanya, “Wahai Hatim, bagaimanakah engkau melaksanakan shalat?
Hatim Al-‘Asham menoleh ke arah ‘Isham bin Yusuf lalu menjawab, “Apabila datang waktu shalat, aku segera berwudhu baik secara zahir maupun batin.”
“Apa yang engkau maksudkan dengan wudhu secara batin?” tanya ‘Isham bin Yusuf.
Jika wudhu secara zahir adalah membasuh anggota wudhu dengan air, wudhu secara batin adalah membasuh anggota wudhu dengan tujuh perkara, yaitu tobat, penyesalan, meninggalkan dunia, meninggalkan pujian makhluk, meninggalkan wibawa (kehormatan diri), meninggalkan kedengkian dan meninggalkan hasad,” jawab Hatim Al-‘Asham.
Dia melanjutkan, “Setelah itu aku pergi ke masjid dan mempersiapkan anggota tubuh dan menghadap ke arah kiblat. Pada saat itu, aku berdiri di antara rasa harap dan cemas. Aku merasa bahwa Allah melihatku. Aku merasakan seakan-akan surga ada di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, sedangkan Malaikat Maut ada di belakangku, dan aku merasa seakan-akan meletakkan kedua kakiku berada di atas shirat al-mustaqim, dan pada saat itu aku menganggap bahwa shalat yang kulaksanakan adalah shalat terakhir. Kemudian aku berniat dan takbir dengan sebenar-benarnya, membaca bacaan shalat dengan penuh perenungan, rukuk dengan penuh kerendahan, dan sujud dengan penuh perasaan hina di hadapan Allah, tasyahud dengan penuh harap serta salam dengan penuh keikhlasan. Seperti itulah shalat yang aku lakukan sejak tiga puluh tahun terakhir ini.”
‘Isham bin Yusuf tertegun dan menangis sambil berkata, yang demikian itu hanya engkau yang mampu melakukannya dalam masa saat ini, wahai Hatim. *
Tips Meneladani Al-Kabîr
Senantiasa mengarahkan diri kepada hal-hal yang tinggi lagi mulia, semisal mencari dan mengamalkan ilmu, beribadah sepenuh keikhlasan, berkhidmat kepada sesama, dan hal-hal agung lainnya. Menjauhkan diri dari perbuat rendah lagi hina di hadapan Allah dan orang-orang beriman, semisal perbuatan maksiat dan yang melalaikan.
Berusahalah meraih keagungan dan kemuliaan diri dengan terus mendekat kepada Allah Al-Kabîr, baik dengan amal hati maupun amal perbuatan.
Mohonlah kepada Allah agar kita dikuatkan untuk mengagungkan nama dan perintah-Nya di mana pun berada, dan dalam kondisi apapun.
Jangan berlaku sombong dengan segala kelebihan diri. Kesombongan sesungguhnya adalah bukti kebodohan dan ketertipuan diri di hadapan Allah Al-Kabîr.
Perbanyak shalat, rukuk dan sujud kepada-Nya, sebagai bukti pengagungan kepada-Nya. .
Jadikan Dia sebagai sumber solusi, pertolongan, dan harapan karena Dia adalah Zat Yang Mahabesar dalam segala aspeknya. Lalu, berhenti berharap kepada manusia karena dia hanyalah makhluk lemah yang tidak punya kuasa apapun tanpa seizin-Nya.
Doa
Subhânakal-lâhumma wa bihamdika wa tabârakas-muka wa ta’âlâ jadduka walâ ilâha ghairuka.
”Mahasuci Engkau ya Allah dan dengan memuji-Mu, Mahasucilah nama-Mu, Mahatinggilah kebesaran-Mu, dan tiada Tuhan melainkan Engkau” (HR At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah)
Percikan Hikmah
Allah Azza wa Jalla berfirman, ”Tidak semua orang yang shalat itu (dianggap) bershalat. Aku hanya menerima shalatnya orang yang (1) merendahkan diri pada keagungan-Ku, (2) menahan syahwatnya dari perbuatan yang Aku haramkan, (3) tidak terus (ngotot) bermaksiat kepadaKu, (4) memberi makan yang lapar dan memberi pakaian orang telanjang (orang yang tidak punya pakaian), (5) mengasihi orang yang terkena musibah, dan (6) menampung orang musafir. Semua itu dia lakukan karena mengharap ridha-Ku.” (Hadits Qudsi Riwayat Ad-Dailami) Yayasan Bina Amal Semarang