al-majid

Al Majid – Yayasan Bina Amal Semarang

AL-MAJID Allah Yang Mahamulia

“Allah Al-Majîd adalah Dia yang indah perbuatan-Nya, yang tinggi kedudukan-Nya, atau yang memiliki kemuliaan nan sempurna dan kerajaan yang mahaluas. Allah Al-Majid pun bermakna Dia yang tidak memiliki tandingan dalam seluruh sifat terpuji-Nya.”

(Ibnu Ajibah Al-Husaini)

Allah Al-Majid, Allah Yang Mahamulia. Imam Abu Hamid AlGhazali memaknai Al-Majid sebagai “yang mulia Zat-Nya, yang indah perbuatan-Nya, dan yang banyak anugerah-Nya” Sifat ini, tambah Al-Ghazali, menghimpun makna-makna yang terkandung dalam sifat Al-Jalil, Al-Wahhâb, dan Al-Karîm.

Adapun Imam Al-Qusyairi, beliau melihat Al-Majîd dari aspek kebahasaan, bermakna kemuliaan (asy-syaraf), di mana Allah dengan kemuliaan-Nya itu senantiasa berlaku ihsan kepada hamba-hamba-Nya. Dengan ihsan ini, ketika memberi, Dia akan memberikan yang terbaik, jauh melebihi semua yang diberikan makhluk kepada-Nya. Berangkat dari pengertian ini, Imam Al-Qusyairi, menambahkan bahwa ihsannya Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, yang bersifat samar dan tersembunyi adalah pemeliharaan dan penjagaan-Nya atas hati sanubari, dan terhadap kemurnian saat-saat yang telah dilalui oleh mereka. Inilah pemberian nikmat yang teramat besar dari Allah kepada seorang hamba.

Dengan demikian, ketika hati seorang hamba telah terjaga dan senantiasa kontak dengan Allah, karena dia merasa dipandang dan diperhatikan oleh-Nya (sebagaimana makna ibsan dari Rasulullah mene), segala tingkah lakunya akan terjaga. Dia akan menjadi manusia wara’, yang tegas dalam soal halal haram dan selalu menjauhi hal-hal syubhat (yang tidak jelas halal haramnya). Orientasi hidupnya bukan lagi dunia; harta kekayaan, kemasyhuran, banyaknya pengikut, atau pujian. Orientasi hidupnya adalah Allah, Zat Pemilik Segala Kemuliaan. Semua yang dia lakukan adalah karena dan untuk Allah. Inilah jalan yang ditempuh oleh para nabi, shiddiqqîn, syuhada’, dan shalihîn.

Spirit Al-Majîd: Menginstall Aneka Sifat Kemuliaan

Apabila Allah adalah Al-Majid, Zat Yang Mahamulia, seorang hamba yang berusaha meneladani-Nya dituntut untuk menjadi sosok yang berakhlak mulia. Dan, yang namanya akhlak mulia bukan sesuatu yang gratis atau diwariskan. Dia adalah sesuatu yang wajib diusahakan dengan landasan ilmu yang benar, riyadhah sungguh-sungguh, pengamalan yang optimal, dan doa yang terus menerus. Tanpa ini semua, keinginan untuk memiliki akhlak mulia, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah hanya dusta belaka.

Salah satu cara efektif untuk menginstall akhlak mulia adalah dengan shalat. Inilah ibadah paling utama yang Allah Ta’ala wajibkan bagi setiap hamba-Nya. Bagaimana tidak, shalat merangkum beragam nilai kebaikan yang akan mendekatkan seorang hamba dengan Rabbnya dan dengan sesamanya. Shalat akan mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, menyematkan kemuliaan akhlak, dan menjadikan pelakunya hidup dalam ketenangan, keberkahan, dan kebahagiaan.

Bagaimanakah cara meraih kemuliaan dengan shalat?

Saudaraku, saat-saat terindah bagi seorang pecinta adalah ketika dia bertemu, bercengkrama dengan orang yang dicintainya. Ketika itu, segala beban dan kesulitan hidup seolah sirna. Dan, bagi seorang saleh, pertemuan dengan Allah Ta’ala melalui shalat adalah saat-saat yang amat dinantikan dan selalu dirindukan. Pada waktu itulah dia bisa mencurahkan segala isi hatinya kepada Zat Yang Mahamulia, sebelum kemudian dia akan kembali pada kehidupannya sehari-hari dengan membawa apa yang dia peroleh dari shalatnya.

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS Al-Mu’minûn, 23:1-3)

Melalui ayat ini Allah Ta’ala berpesan bahwa orang-orang beruntung adalah mereka yang beriman. Adapun salah satu cirinya terlihat dari kekhusyukan shalatnya. Dengan demikian, siapapun yang ingin mendapatkan keberuntungan di dalam hidup, baik di dunia dan akhirat, kuncinya adalah shalat yang khusyuk.

Pada ayat lain, Dia pun berfirman, “Celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dalam shalatnya.” (QS Al-Mâ’ûn, 107:4-5). Redaksi kalimat dalam ayat ini memakai kata ‘an bukan fi. Artinya, makna “lalai” di sini bukan hanya ketika menunaikan shalat semata, melainkan juga sesudah shalat yang tergambar dalam sikap keseharian. Jika kita perkirakan dalam satu hari total waktu yang kita perlukan untuk shalat adalah satu jam, ada 23 jam waktu tersisa untuk kita lalui secara khusyuk. Dengan demikian, seseorang bisa disebut khusyuk dalam shalatnya apabila pelaksanaan shalatnya berkualitas, tuma’ninah. Kemudian, dia pun produktif dalam kehidupannya sehari-hari. Produktif di sini bermakna mampu memberi manfaat bagi dirinya dan bagi orang lain serta lingkungannya.

Adapun jika kita urai satu persatu, ada banyak hikmah dari shalat khusyuk, antara lain:

Pertama, Allah dengan mengingatkan lima kali dalam satu hari tentang urgensi waktu. Ciri orang yang khusyuk dalam shalatnya adalah dia bisa menggunakan waktunya dengan efektif. Pantang baginya waktu terbuang dengan sia-sia. Dia yakin dan sadar bahwa waktu adalah nikmat dan modal yang sangat besar dari Allah . Pantang baginya merugi gara gara ceroboh dan lalai dalam menggunakan waktu,

Kedua, kebersihan. Bersuci adalah salah satu syarat sahnya shalat. Tidak akan diterima shalat seseorang jika tidak didahului dengan bersuci. Allah dilen berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang vang mengotorinya.” (QS Asy-Syams, 91:9-10)

Orang yang khusyuk dalam shalatnya akan sangat memperhatikan kebersihan hatinya, badannya, tempat tinggalnya. Dia pun senantiasa menjaga kebersihan perbuatannya dari kemaksiatan dan dosa. Dia menjaga kebersihan hartanya dari berbagai perkara haram dan syubhat. Dia menjaga kebersihan panca indranya dari menangkap hal-hal yang diharamkan untuk dilihatnya.

Hikmah shalat khusyuk yang ketiga adalah meluruskan niat. Niat sangat penting dalam ibadah, termasuk di dalam shalat. Suatu ibadah diterima sebagai amal saleh atau tidak itu tergantung kepada niat. Seseorang yang shalat dengan khusyuk, dia akan senantiasa menjaga niatnya dalam setiap perbuatan yang dilakukannya. Dia tidak akan mengambil tindakan sebelum yakin dan mantap bahwa niatnya sematamata hanyalah mengharap ridha Allah dengan

Orang yang khusyuk dalam shalat senantiasa yakin bahwasanya Allah hanya akan menerima amal perbuatan yang dilandasi dengan niat ikhlas. Bagaimana ciri hati yang ikhlas? Hati yang ikhlas tidak akan kecewa hanya karena tidak mendapatkan pujian atau hanya karena diremehkan oleh orang lain. Hati yang ikhlas akan jarang merasa kecewa. Baginya tidak penting penilaian makhluk karena amal yang dia lakukan hanya mengharap penilaian Allah semata.

Hikmah keempat adalah ketertiban dan keteraturan. Dalam shalat kita menemukan aturan-aturan yang harus kita penuhi secara runut, berurut, tertib, teratur. Diawali sejak takbiratul ihram, berdiri tegak, ruku, sujud, dan seterusnya sampai salam. Maka, orang yang khusyuk dalam shalatnya akan terlatih untuk hidup dengan penuh ketertiban dan keteraturan, tidak akan sporadis, tidak bertindak tanpa pertimbangan dan perhitungan.

Hikmah kelima adalah tuma’ninah, yaitu tenang, konsentrasi, dan sadar pada apa yang sedang dilakukan. Shalat melatih kita melakukan proses, setahap demi setahap secara tenang dan mantap. Setiap prosesnya dihayati dengan tenang dan nikmat. Orang yang khusyuk dalam shalatnya, akan terlatih untuk senantiasa tenang dalam menjalani kehi an ini. Setiap tugas dan tanggungjawab dia penuhi dengan penuh totalitas, profesional dan amanah.

Hikmah keenam adalah gerakan dinamis. Shalat adalah ibadah yang berisi rangkaian gerak dinamis. Dan, sujud adalah gerakan yang paling menakjubkan, yaitu ketika kepala sebagai simbol kemuliaan seseorang, harus diletakkan di tempat paling rendah sejajar telapak kaki. Maka, di sini ada hikmah nilai ketawadhuan, kerendahan hati. Orang yang khusyuk dalam shalatnya adalah dia yang rendah hati di hadapan makhluk Allah collection Pantang baginya untuk bersikap sombong, merasa diri lebih mulia dibandingkan orang lain dan merendahkan mereka.

Dan, hikmah terakhir dari shalat khusyuk adalah salam atau kedamaian, keselamatan. Shalat yang kita tunaikan senantiasa ditutup dengan salam yang merupakan ungkapan doa semoga Allah Ta’ala melimpahkan rahmat dan keberkahan bagi orang-orang di sekitar kita. Maka, ucapan salam ketika kita menutup shalat, itu adalah garansi bahwa diri kita tidak akan berbuat zalim pada orang lain dan pada lingkungan kita.

Mâsya Allah, betapa agung nilai-nilai yang terkandung dalam shalat yang khusyuk. Kita memohon kepada Allah ile semoga kita senantiasa diberikan taufik dan hidayah oleh-Nya supaya mampu shalat secara khusyuk sehingga bisa menjadi hamba yang dikarunia kemuliaan akhlak sehingga berhak mendapatkan aneka keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” (QS Al-Mu’minûn, 23:1-3)

Spirit Al-Majid: Bersungguh-sungguh Mencari Keridhaan Allah

Allah Ta’ala berfirman, “Dan, orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Ankabut, 29:69)

Ada banyak urusan di dunia ini yang seolah berat dilakukan sehingga manusia tidak menyanggupinya. Padahal, yang sebenarnya terjadilah hanyalah masalah mau bersungguh-sungguh atau tidak. Karena ada banyak hal yang seolah mustahil terjadi, bisa terjadi karena kesungguhan.

Sebagai contoh, shalat Tahajud. Mengapa shalat ini seolah-olah hal yang sangat berat dilakukan? Sebenarnya bukan shalatnya yang berat tapi karena kesungguhan kita yang tidak ada. Jika kita sungguh-sungguh, maka mudah saja Tahajud itu dilaksanakan. Jika Tahajud itu hanyalah rencana yang dilontarkan bibir belaka, itu akan menjadi satu hal yang sangat berat dilakukan. Namun, apabila rencana shalat Tahajud itu tidak hanya diucapkan, melainkan diniatkan di dalam hati dengan penuh kesungguhan, mudah saja pada sepertiga malam terakhir kita terbangun kemudian mendirikan shalat, dengan izin Allah Ta’ala.

Orang yang memiliki kesungguhan niat untuk menunaikan shalat Tahajud, dia pasti akan terbangun di malam hari dengan sebab apa saja. Dan, itu terjadi atas izin Allah Ta’ala karena Dia mengetahui isi hati dan kesungguhannya. Demikian pula ketika kita ingin menjadi ahli sedekah, walau sedang tidak punya uang, Allah akan membukakan jalan bagi kita untuk bisa berbuat kebaikan kepada orang lain, walau sekadar dengan senyuman dan sikap ramah. Itu pun hakikatnya adalah sedekah.

Begitulah saudaraku, apabila kita bersungguh-sungguh untuk menjadi hamba yang berakhlak mulia, Allah Ta’ala akan memudahkan jalan agar niat itu terwujudkan. Bukankah, ketika kita mendekat kepada Allah satu jengkal, Allah mendekat kepada kita satu depa? Kita mendekat kepadaNya satu depa, Dia mendekat kepada kita satu hasta. Kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Dia seolah-olah memburu kita.

Adapun caranya, boleh jadi kita akan dipertemukan dengan orang yang akan mengajari kita akhlak mulia, kita bergaul dengannya dan kita diarahkan untuk mampu meniti jalan kebenaran. Kita diberi semangat untuk belajar agama lebih dalam, mengkaji shirah nabi dan orang-orang saleh. Hal itu kemudian menjadi inspirasi bagi kita untuk memiliki berakhlak mulia sebagaimana yang mereka lakukan.

Hal lainnya, di antara kesungguhan kita untuk meraih ridha Allah, sekaligus ikhtiar untuk menjadi hamba berakhlak mulia, adalah berusaha menjauhi beragam kemaksiatan, dari yang terkecil sampai yang terbesar. Berusahalah untuk tidak menyelisihi perintah Allah dan rasul-Nya. Ketika Allah memerintahkan kita untuk menjaga shalat, berujuanglah mati-matian agar kita tidak sampai melalaikannya. Lakukan shalat dengan sebaik-baiknya: di awal waktu, di masjid, dan dilakukan secara berjamaah. Ketika Allah melarang kita untuk membicarakan keburukan orang lain (ghibah), memfitnah, mencari-cari kesalahan orang, berdusta, dan sejenisnya; tahanlah lisan kita untuk tidak membicarakan itu semua. Peganglah rumus dari Nabi sekuatnya: berbicara baik atau diam. Demikian pula dengan barang haram, atau setidaknya yang syubhat, jagalah diri kita agar tidak sampai mengambil atau mengonsumsinya.

Mutiara Kisah

Di pinggiran kota Kufah, sekumpulan pasukan beristirahat melepas lelah. Sebagian di antara mereka memakan daging beserta lauk-pauk lainnya. Sisa-sisa daging yang tidak habis dimakan, mereka lemparkan ke sebuah sungai yang mengaliri kota tersebut. Peristiwa itu terlihat oleh salah seorang penduduk kota. dia pun segera bertanya kepada orang-orang, berapa lama biasanya ikan-ikan di sungai itu hidup. Yang ditanyai menjawab, “Umur ikan itu sekian dan sekian”. Sejak itulah, lelaki tersebut tidak pernah lagi memakan ikan sepanjang waktu yang disebutkan. Masih lelaki yang sama dengan cerita berbeda.

Suatu hari datangnya segerombolan kambing hasil rampasan perang. Sebagian dari kambing-kambing itu lepas, lalu bercampur dengan kambing kambing orang Kufah. Lagi-lagi peristiwa ini terlihat olehnya, hingga dia bertanya kepada seorang penggembala kambing, “Berapa lama biasanya kambing hidup?” Penggembala itu menjawab, “Tujuh tahun”. Akhirnya, selama tujuh tahun itu pula dia meninggalkan memakan daging kambing.

Siapakah lelaki yang terlihat ‘aneh” ini? Tidak lain dan tidak bukan, dia adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, seorang ulama besar penulis kitab Fiqh Akbar yang juga mahaguru Mazhab Hanafi. Karena sikap wara’-nya, beliau tidak mau jika ada sedikit saja barang haram atau yang tidak jelas statusnya, masuk ke dalam perutnya. Memang, ulama yang lahir di Kufah, Irak tahun 699 Masehi ini dikenal teguh dalam memegang prinsip-prinsip hidup yang digariskan Rasulullah termasuk dalam hal halal dan haram. Salah satu prinsip yang dia pegang teguh adalah bahwa “yang halal itu jelas dan yang haram pun jelas, di antara keduanya terdapat hal-hal samar yang tidak diketahui orang banyak. Siapa pun yang menjaga diri dari hal-hal yang samar tersebut, maka dia telah menjaga agama dan harga dirinya.” (HR Al-Bukhari & Muslim)

Karena kelurusan akhlak, keluasan ilmu, dan kedermawanannya yang luar biasa, Imam Abu Hanifah menjadi salah satu “bintang terang” pada zamannya. Dia sangat dihormati kawan maupun lawan. Imam AsySyafi’i, salah seorang murid terbaik beliau, berkomentar, “Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fikih”. Lain Imam Syafi’i, lain pula komentar Imam Syaqiq Al-Balkhi. “Abu Hanifah itu sangat jauh dari perbuatan yang dilarang agama, sangat pandai dalam ilmu, sangat tangguh dalam beribadah kepada Allah, sangat berhati-hati dalam hal hukum-hukum agama, serta sangat jauh dari membicarakan masalah agama dengan menurut pendapatnya sendiri…”.

Semua sifat itu, sesungguhnya terwakili oleh nama yang beliau miliki, Abu Hanifah. Apa maknanya? Menurut riwayat, Imam Abu Hanifah memiliki beberapa orang anak, salah satunya bernama Hanifah. Karena itu, orang-orang memanggil beliau dengan sebutan Abu Hanifah, atau “Bapaknya Hanifah”. Ini menurut satu versi. Versi yang lain menyebutkan bahwa sebutan Abu Hanifah disematkan orang, karena beliau sangat kuat dalam ibadah, sangat serius dalam menaati perintah-perintah Allah, dan sangat lurus dalam hidupnya. Dalam bahasa Arab, kata “hanif” bermakna “cenderung” atau “condong” serta “mengarah lurus” kepada agama yang benar. Dengan demikian, sebutan Abu Hanifah berarti “bapak yang condong kepada kebenaran sehingga lurus dalam hidupnya”.

Ada pula versi yang ketiga. Beliau mendapat gelar Abu Hanifah karena ke mana-mana selalu membawa dawat dan pena untuk mencatat ilmu pengetahuan yang didapat dari guru-gurunya, kemudian menuliskannya kembali untuk disebarluaskan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Bukankah kata “hanifah” dalam lughat Irak berarti “dawat” atau “tinta”? Karena kebiasaannya ini, Imam Abu Hanifah mampu mewariskan tiga karya besar kepada umat, yaitu Fiqh Akhbar, Al-‘Alîm wal Mu’tam, serta Musnad Fiqh Akhbar. Itu belum termasuk buah pikiran beliau yang ditulis oleh murid-muridnya, misalnya kumpulan Al-Kafi yang terdiri atas 16 kitab yang ditulis oleh Imam Ahmad Al-Mawarzi.

Dari sudut pandang ini, tentunya gelar “Abu Hanifah” sangat pantas untuk disematkan kepada ulama besar yang juga pengusaha sukses ini. Boleh jadi beliau memiliki anak yang bernama Hanifah. Yang pasti, hidup beliau sangat lurus dan istiqamah dalam kebenaran. dia pun sangat bersemangat dalam menuntut ilmu untuk kemudian menuliskan dan menyebarkannya.

Apa kaitan antara kisah hidup Abu Hanifah dengan asma’ Allah Al-Majîd? Tidak ada kaitan secara langsung. Akan tetapi, sebagian dari kita setuju bahwa Abu Hanifah adalah sosok yang mulia. Dia sangat memahami nilai-nilai kemuliaan dari Allah, untuk kemudian dia mampu mengaplikasikan nilai-nilai kemuliaan tersebut dalam kapasitasnya sebagai seorang manusia. Salah satunya adalah nilai dari Al-Majid. *

Tip Meneladani Al-Majid

  • Mohonlah kepada Allah Al-Majid agar kita dikarunia akhlak yang mulia.
  • Perbanyak mengkaji shirah Nabi dan membaca kisah-kisah orang saleh. Apa yang mereka lakukan akan memberi kita inspirasi dan semangat untuk meneladaninya. .
  • Bergaullah dengan orang-orang saleh, pilih lingkungan yang baik, entah itu lingkungan sekitar rumah, pekerjaan, atau organisasi. Kualitas pergaulan akan mempengaruhi kualitas akhlak kita.
  • Pada saat beramal, lakukannya dengan sempurna, berikan yang terbaik untuk Allah sebagai wujud sikap ihsan kita kepada-Nya.
  • Jauhilah kesia-siaan, kemaksiatan dan dosa sekuat kita melakukannya. Sesungguhnya, keimanan tidak akan bisa bercampur dengan maksiat dan kebatilan.
  • Jadikan ketauhidan dan akhlak mulia sebagai pelajaran pertama dan utama yang harus diberikan kepada keluarga kita. .


Mutiara Doa

Subhânal-malikil-quddûs, rabbil-malâ’ikati war-rûh, jullalatis-samâwâtu wal-ardhu bil-‘izzati wal-jabarût.

”Mahasuci Tuhan Raja Yang Mahasuci, Tuhannya malaikat dan Jibril. Langit dan bumi dihiasi oleh kemuliaan dan kekuasaan-Nya.” Keterangan:

Dari Barra’ bin Azib ra. bahwa seseorang mendatangi Rasulullah teladan mengadukan kepada beliau akan kegundahan yang menimpanya. Maka beliau bersabda, “Perbanyaklah membaca: subhânal-malikil-quddûs, rabbil-malâ’ikati war-rûh, jullalatis-samâwâtu wal-ardhu bil-‘izzati waljabarût” (HR Ibnu Sunni)

Percikan Hikmah

Rahmat Allah kepadamu sebanding dengan sifat ihsan (kebaikan) yang ada pada dirimu. Maka, tambahlah kebaikanmu, niscaya akan kau dapati rahmat Allah yang semakin bertambah kepadamu. (Bukankah telah terungkap dalam QS Al-A’râf, 7:56), “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (Dr. Khalid Al-Mushlih, Twit Ulama) Yayasan Bina Amal Semarang

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *