
Lawan dari al-Mu‘izz adalah al-Mudzill, yang berarti Allah berhak menghinakan siapapun yang Dia kehendaki. Sebagaimana hubungan antara al-Mu‘izz dengan ar-Rafi‘, demikian pula hubungan yang terjadi antara al-Mudzill dengan al-Khafidh. Seorang hamba yang diuji oleh Allah dengan kerendahan –atau sebagai hukuman dan penyadaran atas kesalahannya di masa lampau— tidak serta-merta ia terhina.
Alangkah banyak manusia yang menjalani hidup dengan standar rendah, hidup miskin misalnya, namun justru semenjak itu ia dipandang mulia oleh orang-orang. Walau tidak berpunya harta dan kedudukan, ia dinilai sebagai orang yang murah hati, ringan tangan menolong sesama.
Meski menjalani hidup dengan sangat sederhana, bisa jadi dia berubah menjadi orang yang bertakwa dan rajin beribadah pada Allah. Maka orang semacam ini adalah orang yang pernah direndahkan oleh Allah namun tidak sampai dihinakan. Hal itu menunjukkan bahwa sifat al-Khafidh-nya Allah sedang menimpa seseorang.
Namun, sifat al-Mudzill-nya Allah tidak sampai menimpa dia. Sifat al-Mudzill baru menimpa dia jika setelah kerendahan tersebut masih diikuti dengan kehinaan. Hal ini dapat kita lihat pada kaum yang diazab oleh Allah di masa lampau.
Tidak sekadar fisik mereka dibinasakan, nama baik mereka pun menjadi hancur dan tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang zalim. Mereka direndahkan sekaligus dihinakan. Jika berkaca pada masa sekarang, sangat banyak orang yang hidup miskin, diliputi kerendahan, rumah tangganya berantakan, anak-anaknya menjadi berandalan, dianya masih pula hidup bergelimang kemaksiatan.
Akibatnya, bukan hanya kerendahan yang ia dapat, kehinaan pun menimpa dia. Dia menjadi buah bibir yang negatif bagi orang-orang. Dia dihina dimana-mana, bahkan terhina di hadapan Allah swt.
Orang yang memahami makna al-Mudzill akan senantiasa takut kepada Allah. Logika berpikirnya akan tetap jernih meski berada pada situasi hidup sesulit apapun. Di saat ia hidup dengan limpahan kenikmatan, dia akan berusaha semaksimal mungkin agar Allah memuliakannya. Dan ketika ia hidup di belantara kerendahan pun, ia masih tetap bersyukur tidak hidup terhina, dan berupaya untuk selalu mendekatkan diri pada Allah agar tidak benar-benar terhina.
Ia sadar bahwa sebagaimana hanya Allah yang bisa menghinakan seseorang, maka hanya Allah pula yang bisa melindungi dia dari keterhinaan dan bahkan mengangkat derajatnya. Dengan demikian ia akan semakin dekat kepada Allah.
Dalil Surat Ali Imran ayat 26. Yayasan Bina Amal Semarang