
“Berikanlah santapan kepada yang berhak menerimanya dari tanganmu. Dan, hal itu dapat dimulai dari dirimu sendiri, lalu orang yang berada dalam tanggunganmu, yaitu keluarga atau sanak saudara.” (Ibnu Ajibah Al-Husaini)
Untuk istiqamah itu perlu keyakinan kuat. Sebab, istiqamah itu berat sehingga akan banyak cobaan yang menghampiri. Namun, Allah Ta’ala Mahaadil. Dia sudah menyediakan ganjaran surga bagi orang-orang yang mampu istiqamah dalam kebaikan, walau kebaikan itu kerap disepelekan. Semakin berat sebuah amal, semakin besar pula ganjarannya.
Ada kisah tentang seorang hamba Allah yang berusaha istiqamah dalam menjalankan ketaatan kepada sunnah rasulnya. Haji Muhammad, demikian namanya. Dia adalah seorang pria berkebangsaan Afghanistan yang tinggal di Madinah Al-Munawwarah. Pria tinggi besar yang biasa mengenakan peci berupa turban hitam khas orang-orang Bengali, termasuk sosok yang popular di Madinah – semoga Allah menjaga keikhlasannya. Apa keistimewaannya? Selama seperempat abad lamanya dia selalu tampak di televisi dengan penampilan khasnya. Tidak main-main. Haji Muhammad senantiasa berada di shaf pertama Masjid Nabawi untuk menunaikan shalat fardhu yang lima waktu secara berjamaah.
Dia menceritakan bahwa dirinya pertama kali menginjakkan kaki di Arab Saudi saat berumur 19 tahun. Selama 37 tahun di negeri kaya minyak ini, Haji Muhammad bekerja sebagai tukang reparasi pipa.
“Aku berupaya untuk selalu shalat 5 waktu secara berjamaah di Masjid Nabawi sejak masih muda. Aku sangat senang mengambil dan meletakkan kembali Al-Quran yang telah dibaca dan ditinggalkan oleh para pengunjung agar dapat rapi tertata kembali di lemarinya semula.” ungkapnya.
Para jamaah dari luar Madinah dan luar Arab Saudi banyak yang terkesan dengan keistiqamahannya shalat di shaf pertama dan di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Padahal, untuk bisa mendapatkan shaf pertama di Masjid Nabawi itu sangat sulit, apalagi sampai bisa berada di tempat yang sama terus menerus. Itulah mengapa, beberapa orang yang berkali-kali mengunjungi Madinah senantiasa menjumpainya berada di shaf pertama dan tempat yang sama pula (sebelah kanan imam). Turban hitamnya membuatnya sangat mudah dikenali oleh para jamaah.
“Ketika aku mengikat kontrak kerja dengan seseorang, kukatakan dari awal, aku tidak ingin kehilangan satu kali pun shalat berjamaah di Masjid Nabawi (lantaran pekerjaan ini). Adapun pada bulan Ramadhan, aku meliburkan diri karena ingin selalu berada di masjid” ujarnya kembali. (Saudi Gazette, kisahmuslim.net, eramuslim.com)
Saudaraku, sungguh, Allah Al-Muqît telah mengaruniakan kekuatan yang dahsyat kepada saudara kita ini untuk menetapi salah satu amal yang dicintai-Nya. Dengan rahmat dari-Nya, Haji Muhammad pun terpelihara dari keputusasaan, kebosanan, dan rasa malas yang melenakan sehingga beliau (dengan izin Allah) mampu menunaikan amalan yang teramat istimewa tersebut.
Allah Sebagai Al-Muqit
Al-Muqît terambil dari akar kata yang rangkaian huruf-hurufnya mengandung arti “genggaman”, “pemeliharaan; “kekuasaan”, serta “kemampuan”. Dari akar kata ini lahir pula makna-makna lainnya, seperti “makanan” karena dengan makanan akan terlaksana pemeliharaan atas dirinya.
Ada pula yang memahami kata Al-Muqît dalam pengertian “memelihara” dan “menyaksikan” Sebab, siapa saja yang memberi makan sesuatu, dia berarti telah memeliharanya dari rasa lapar sekaligus menyaksikannya.
Semua makna yang terkandung dalam akar kata Al-Muqît layak untuk dinisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla. Apabila makna “genggaman” yang kita ambil, Allah adalah Zat Yang Menggenggam setiap kejadian, setiap makhluk, dan setiap yang ada di muka bumi. Dia tidak pernah lalai dengan melepaskan pengawasan terhadap ciptaan-Nya. Apabila makna “kekuasaan” yang kita ambil, itu pun benar adanya karena semua kekuasaan hakikatnya milik Allah semata. Kekuasaan yang dimiliki manusia hanya titipan belaka. Demikian pula dengan makna “memelihara” atau “menyaksikan”, Allah adalah Zat Yang Maha Memelihara dan Maha Menyaksikan semua yang dipeliharanya.
Menurut Imam Al-Ghazali, Al-Muqît bisa dimaknai dengan dua kemungkinan. Pertama, sebagai pencipta, pemberi, dan pengantar makanan menuju jasmani atau ruhani. Berbeda dengan Ar-Razzâq yang mencakup makanan, pakaian, atau lainnya; Al-Muqit hanya menyangkut makanan jasmani atau ruhani saja. Maka, ada ungkapan yang sangat bagus dari Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Al-Fawâ’id terkait hal ini. Beliau mengatakan, ”Hati pun bisa sakit sebagaimana sakitnya badan, kesembuhannya dengan tobat dan menjaga diri dari dosa. Hati bisa pula kotor sebagaimana cermin, bersihnya dengan zikir. Hati bisa telanjang sebagaimana tubuh, penutup dan perhiasannya adalah ketakwaan. Hati bisa pula lapar dan haus sebagaimana perut, makan dan minumnya adalah mengenal Allah, mencintai-Nya, bertawakkal, memasrahkan diri, dan mengabdi hanya kepada-Nya.” Adapun kemungkinan kedua, Al-Muqit bermakna yang menggengam, menguasai, lagi mampu. Penguasaan ini mengharuskan adanya qudrat dan ilmu.
Dalam Al-Quran, asma Allah Al-Muqit hanya disebut satu kali dalam QS An-Nisa 4:85. “Barangsiapa memberikan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Dan barangsiapa memberi pertolongan yang buruk niscaya dia akan memikul (dosa) darinya. Allah atas segala sesuatu Muqqîta (Mahakuasa).”
Menurut Al-Biqa’i dalam tafsirnya, seperti dikutip Ustaz Quraish Shihab, ayat tersebut berkisar pada pemberian pahala yang bersifat spiritual. Imbalan ini berupa kepuasan dan kebahagian hati (qalb) dan pikiran, yang diperoleh karena seseorang melakukan suatu kebaikan. Sebaliknya, Allah Ta’ala akan memberikan penderitaan dan kesengsaraan pada hati dan pikiran sebagai akibat dari keburukan yang dilakukannya.
Spirit Al-Muqit: Gemar Membantu dan “Mengenyangkan” Sesama
Dengan menelaah makna Allah Al-Muqît tersebut, ada sejumlah keutamaan yang dapat kita teladani dari asma’ Allah yang satu ini. Satu di antaranya adalah memberikan santapan atau makanan kepada orang yang membutuhkan, semisal fakir miskin atau orang yang tengah kelaparan, bisa juga jamuan terhadap tamu dan makanan untuk orang yang hendak berbuka puasa.
Dalam tafsirnya, Ibnu Ajibah Al-Husaini mengatakan bahwa salah satu bentuk peneladanan terhadap Al-Muqît adalah “Engkau memberikan santapan kepada yang berhak menerimanya dari tanganmu. Dan, hal itu dapat dimulai dari dirimu sendiri, lalu orang yang berada dalam tanggunganmu, yaitu keluarga atau sanak saudara.” Tentu saja, yang namanya santapan atau makanan di sini bukan sekadar makanan fisik yang menjadikan lapar kita hilang, tetapi juga makanan atau minuman ruhani yang membuat hati kita tidak kelaparan dan kering kerontang.
Intinya, dengan meneladani Allah Al-Muqît, kita menjadi orang yang gemar berbagi, entah makanan, minuman, ilmu, atau apapun yang membuat saudara kita menjadi bahagia. Dan, inilah kunci kesuksesan yang sesungguhnya, yaitu ketika kita bisa menjadi manfaat bagi orang lain, meringankan bebannya, menutupi kekurangannya, meski keadaan kita pun sederhana saja. Bukankah kita disebut sukses ketika mendapat rezeki, kita berbagi demi membantu orang lain agar dia pun mendapat rezeki? Ketika kita berilmu, kemudian kita berbagi agar orang lain pun memahami ilmu.
Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Siapa menghilangkan kesulitan dari seorang muslim dari kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan menghilangkan darinya kesulitan-kesulitan pada Hari Kiamat. Allah akan selalu menolong seseorang selama dia menolong orang lain.” (HR Muslim, Ahmad, At-Tirmidzi)
Saudaraku, kesuksesan kita bukan diukur dari banyaknya pujian orang lain. Andaikata ada seseorang yang merasa sukses padahal baru dirinya sendirian yang sukses, dia sebenarnya belum sukses. Maka dari itu, tingkatkanlah kemampuan agar semakin banyak orang yang bisa kita bantu. Adapun caranya, cobalah kita buat pemetaan.
Pertama, mulailah dari keluarga dan kerabat dekat. Perhatikan siapa saja yang perlu dibantu. Siapa di antara mereka yang sekolahnya tidak lancar. Siapa yang kesulitan membayar sewa rumah. Siapa yang memerlukan pekerjaan. Siapa yang tidak bisa makan dengan layak.
Kedua, lakukan hal yang sama pada tetangga. Amatilah siapa di antara mereka yang perlu dibantu. Siapa yang perlu biaya kuliah. Siapa yang sudah jompo namun keluarganya tidak mampu merawatnya. Siapa yang membutuhkan pekerjaan. Siapa yang tidak bisa makan karena sudah tidak punya beras dan uang. Jangan sampai kita sekali makan ratusan ribu, punya mobil seharga ratusan juta, tapi ada saudara atau tetangga kita yang tak bisa makan, tak bisa membayar uang sekolah, apalagi membeli rumah.
Ketiga, hal yang tidak kalah penting juga untuk memperhatikan lingkungan kerja kita. Jangan sampai kita menggunakan aksesoris mahal, akan tetapi teman atau karyawan kita penghasilannya seret. Dukunglah mereka untuk memiliki kualitas diri yang lebih baik lagi.
Membantu di sini pun sebaiknya membantu dengan cara memberdayakan. Kita ingin memberi makan seseorang, jika hanya diberi ikan sekali, itu bisa langsung habis. Namun, jika diberi alat pancing sedangkan dia tidak tahu cara memancing, apa yang kita berikan boleh jadi tidak ada manfaatnya. Maka, selain memberinya ikan dan alat pancing, berilah ilmu agar dia bisa memancing sehingga dia pun mampu mendapatkan ikan secara mandiri.
Alangkah baiknya jika bantuan yang kita beri adalah bantuan yang bermantaiat secara berkesinambungan agar yang dibantu makin meningkat kemampuannya. Misalnya dengan dikursuskan dan dimagangkan. Atau, kalau kita berinvestasi, sebaiknya dengan bagi hasil. Walau keuntungannya tak begitu banyak, tapi kita bisa menolong banyak orang mendapatkan pekerjaan.
Kita sering merasa bahwa rezeki itu apa yang kita dapatkan, padahal menolong orang lain juga rezeki. Misalnya saat berbelanja, belilah kepada pedagang yang paling sederhana dan tak usah menawarnya jika memiliki kelebihan uang. Rasulullah bukan hanya tidak menawar, bahkan menambahinya.
Dengan meneladani Allah Al-Muqît, semoga kita menjadi manusia yang senantiasa bersemangat membantu sesama tanpa pamrih. Semata mata hanya mengharap ridha Allah. Bukan hanya bantuan yang konsumtif, tetapi juga dengan bantuan yang memberdayakan.
Mutiara Kisah
Dalam kitab Dzailu Thabaqat Al-Hanabilah, I:298, Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullâh mengungkapkan salah satu kisah mengharukan yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani rahimahullâh (wafat tahun 561 H).
“Aku memunguti selada, sisa-sisa sayuran dan daun carob dari tepi kali dan sungai. Kesulitan yang menimpaku karena melambungnya harga yang terjadi di Baghdad membuatku tidak makan selama berhari-hari. Aku hanya bisa memunguti sisa-sisa makanan yang terbuang untukku makan,” demikian ungkap Syaikh Abdul Qadir. Dia melanjutkan kisahnya, “Suatu hari, karena saking laparnya, aku pergi ke sungai dengan harapan mendapatkan daun carob, sayuran, atau selainnya yang bisa ku makan. Tidaklah aku mendatangi suatu tempat melainkan ada orang lain yang telah mendahuluinya. Ketika mendapatkannya, aku melihat orang-orang miskin itu memperebutkannya. Maka, aku pun membiarkannya karena mereka lebih membutuhkan.
Aku pulang dan berjalan di tengah kota. Tidaklah aku melihat sisa makanan yang terbuang, melainkan ada yang mendahuluiku mengambilnya. Sampai akhirnya aku tiba di Masjid Yasin di pasar minyak wangi di Baghdad. Aku benar-benar kelelahan dan tidak mampu menahan tubuhku. Aku masuk masjid dan duduk di salah satu sudut masjid. Hampir saja aku menemui kematian. Tiba-tiba seorang pemuda non Arab masuk ke masjid. Dia membawa roti dan daging panggang. Dia pun duduk untuk makan.
Setiap kali dia mengangkat tangannya untuk menyuapkan makanan ke mulutnya, maka mulutku ikut terbuka, karena aku benar-benar lapar. Sampai-sampai, aku mengingkari hal itu atas diriku. Aku bergumam, “Apa ini?” Aku kembali bergumam, “Di sini hanya ada Allah atau kematian yang telah Dia tetapkan.”
Tiba-tiba pemuda itu menoleh kepadaku, seraya berkata, “Bismillâh, makanlah wahai saudaraku.” Aku menolak. Dia bersumpah untuk memberikannya kepadaku. Namun, jiwaku segera berbisik untuk tidak menurutinya. Pemuda itu bersumpah lagi. Akhirnya, aku pun mengiyakannya. Aku makan dengan tidak nyaman.
Dia mulai bertanya kepadaku, “Apa pekerjaanmu? Dari mana kamu berasal? Apa julukanmu?”
Aku menjawab, “Aku orang yang tengah mempelajari fiqih yang berasal dari Jailan bernama Abdul Qadir. Dia dikenal sebagai cucu Abdillah Ash-Shauma Az-Zahid?”
Aku berkata, “Akulah orangnya.”
Pemuda itu gemetar dan wajahnya sontak berubah. Dia berkata, “Demi Allah, aku tiba di Baghdad, sedangkan aku hanya membawa nafkah yang tersisa milikku. Aku bertanya tentang dirimu, tetapi tidak ada yang menunjukkanku kepadamu. Bekalku habis. Selama tiga hari ini aku tidak mempunyai uang untuk makan, selain uang milikmu yang ada padaku. Bangkai telah halal bagiku (karena darurat). Maka, aku mengambil barang titipanmu, berupa roti dan daging panggang ini. Sekarang, makanlah dengan tenang. Karena, dia adalah milikmu. Aku sekarang adalah tamumu, yang sebelumnya kamu adalah tamuku.”
Aku berkata kepadanya, “Bagaimana ceritanya?”
Dia menjawab, “Ibumu telah menitipkan kepadaku uang 8 dinar untukmu. Aku menggunakannya karena terpaksa. Aku meminta maaf kepadamu.”
Aku menenangkan dan menenteramkan hatinya. Aku memberikan sisa makanan dan sedikit uang sebagai bekal. Dia menerima dan pergi?” (Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah, Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008) *
Tips Meneladani Al-Muqît
- Carilah kebahagiaan dan ketenangan yang bersumber dari Allah karena itulah kebahagiaan yang hakiki.
- Tidak ada alasan bagi kita untuk berputus asa dalam menapaki hidup karena Allah telah menyediakan segala kebutuhan manusia di bumi. Masalahnya, seberapa kreatifkah kita menjemputnya.
- Senantiasa berbagi, tidak kikir, atau egois. Lakukanlah sesuatu yang bermakna dan berguna bagi orang lain.
- Mohonlah kepada Allah agar Dia berkenan memberi kita santapan indrawi dan non-indrawi; santapan jasmani dan ruhani.
- Tidak meminta dipenuhi kebutuhan kita, kecuali hanya kepada Allah. Berbagi rezeki kepada yang berhak menerimanya, mulai dari diri sendiri, keluarga, tetangga, dan karib kerabat.
- Jadilah tempat di mana orang meminta bantuan, bisa harta, tenaga, ataupun ilmu
Doa
Allâhumma bârik lanâ fîhi wa ‘at’imnâ khaira minhu.
“Ya Allah, berilah kami berkah dengan makan itu dan berilah makanan yang lebih baik.”
Keterangan:
Rasulullah satunya bersabda, “Siapa yang diberi rezeki oleh Allah berupa makanan, hendaklah dia membaca, Allâhumma bârik lanâ fîhi wa ‘at’imnâ khaira minhu. Ya Allah, berilah kami berkah dengan makan itu dan berilah makanan yang lebih baik.” (HR At-Tirmidzi, 5/506)
Percikan Hikmah
Salah satu cara meraih keridhaan Allah Azza wa Jalla adalah dengan memuji-Nya setelah makan dan minum. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah benar-benar ridha dengan seorang hamba yang makan kemudian dia memuji Allah atas nikmat makanan (dari)-Nya; dan dia minum kemudian memuji Allah atas nikmat minuman (dari)-Nya” (HR Muslim)
Ciri-ciri ahli surga menurut surah Adz-Dzâriyât ayat 15-18: (1) mereka adalah orang-orang yang bertakwa, (2) mereka gemar berbuat kebaikan ketika di dunia, (3) mereka sedikit tidur di waktu malam (karena beribadah), dan (4) banyak memohon ampun kepada Allah di akhir malam. Maka, Rasulullah menyerang pun berpesan, “Wahai manusia, sebarkanlah salam (kedamaian), berilah makan (orang-orang yang lapar), sambungkan tali persaudaraan, dan shalatlah di waktu malam kala orang-orang lelap tertidur, niscaya kalian masuk surga dengan penuh kedamaian.” (HR At-Tirmidzi) Yayasan Bina Amal Semarang