AL-QAWIY Allah Yang Mahakuat
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (QS Ar-Rûm, 30:54)
Tiada satu pun makhluk yang mampu menandingi kekuatan Allah Azza wa Jalla dalam berbagai seginya. Bahkan, andaikan seluruh kekuatan yang ada di muka bumi ini dikumpulkan, niscaya tidak dapat mengalahkan kekuatan-Nya, karena Allah adalah Al-Qawîy, Zat Yang Mahakuat.
Dilihat dari segi bahasa Al-Qawîy memiliki makna “keras”, “kuat” atau “lawan dari lemah”. Allah Ta’ala mengenalkan sifat-Nya ini dalam sembilan ayat Al-Quran. Allah Mahasempurna kekuatannya. Tidak sesaat pun kekuatan-Nya melemah. Dia menggenggam segala kekuatan. Dia pula yang menganugerahkan kekuatan kepada makhluk-Nya dalam tingkat yang berbeda-beda.
Maka, kekuatan Allah Azza wa Jalla tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan makhluk. Kekuatan makhluk tidak abadi. Ada satu waktu kekuatan itu melemah dan pada suatu saat bisa kembali kuat. “Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa” (QS Ar-Rûm, 30:54)
Spirit Al-Qawîy: Menjadi Muslim Kuat
Siapapun yang berkeinginan untuk meneladani asma’ Allah Al-Qawîy, dia dituntut untuk mengoptimalkan semua potensi dirinya agar menjadi mukmin yang kuat. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah walaupun dalam keduanya ada kebaikan.” (HR Muslim)
Pertanyaannya, kuat seperti apakah yang dikehendaki oleh Islam? Tentu saja, bukan hanya kuat dalam satu segi tapi lemah dalam segi lainnya. Kekuatan yang disyaratkan oleh Allah dan rasul-Nya adalah kekuatan yang menyeluruh, antara lain: kuat fisik, kuat finansial, kuat ilmu, kuat mental, dan tentu saja kuat secara ruhiyah. Bergabungnya ragam kekuatan ini akan menjadikan kita sosok berkualitas. Maka, membangun kekuatan adalah sebuah kewajiban. Sebab, bagi seorang mukmin, membangun kekuatan adalah sarana untuk menggapai kedudukan di sisi Allah. Bukanlah di dalam surah Al-Anfâl kita diajurkan untuk memiliki kekuatan; bukan untuk menindas akan tetapi untuk menggentarkan lawan? Islam mengajarkan kekuatan sebagai bagian dari kebaikan seorang mukmin, kedekatan dengan Allah, dan juga dapat digunakan menolong orang dari kemungkaran.
Sahabat, hal ini sangat penting untuk kita pahami. Keterpurukan yang menimpa umat Islam saat ini, khususnya di negeri kita, disebabkan karena kita lemah. Kita lemah secara ekonomi sehingga mudah dipermainkan oleh orang-orang kafir dan munafik. Kita lemah secara keilmuan sehingga mudah ditipu dan diperalat. Kita pun lemah secara akidah sehingga mudah terjebak dalam kekufuran, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, hal yang harus menjadi tren sekarang adalah membangun kekuatan, mulai dari kekuatan jasmani sampai kekuatan ruhani.
Kuat Fisik
Untuk meneladani Alllah Al-Qawîy, kita layak untuk ekstra konsentrasi dalam membangun kekuatan fisik, kalau perlu dengan pengawasan langsung dokter ahli. Kita akan terasa memiliki kekuatan ekstra apabila kita berusaha memperbaiki diri, mulai dengan ritme makan, olahraga, dan jam istirahat yang ditingkatkan kembali kualitasnya. Walaupun bukan satu-satunya yang terpenting, kekuatan fisik termasuk hal yang wajib kita miliki agar pengabdian kita kepada Allah bisa optimal. Bagaimana mungkin kita bisa maksimal berjihad di jalan Allah apabila fisik kita lemah dan lembek. Sebagai ilustrasi, pedang Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib, serta para sahabat lainnya rata-rata berukuran besar, panjang dan berat. Logikanya kalau tidak memiliki tangan yang kuat, mereka tidak akan mampu menggunakannya.
Maka, canangkanlah program memperkuat fisik. Berusahalah untuk lebih giat berlatih dan berolahraga agar fisik kita lebih kuat dan sehat sehingga kita bisa berbuat lebih banyak. Tekadkan untuk menjadi Muslim yang sehat dan kuat. Tekad semacam ini insya Allah termasuk ibadah. Jangan malas untuk melakukan push-up, lari, dan senam. Aktivitas ini akan menambah vitalitas, kebugaran, kecerdasan, dan juga mood dan kebahagiaan. Orang fisik tentu saja akan lebih baik jika kita melakukannya sambil berzikir, ini akan menjadi jalan taqarrub kepada Allah Ta’ala.
Dengan memiliki tubuh yang kuat dan sehat, kita bisa berbuat banyak: menolong ibu-ibu yang membutuhkan bantuan dengan belanjaannya, menolong orang yang terzalimi, dan tentu saja tidak menjadi beban bagi orang lain. Kita pun bisa lebih menikmati ibadah. Sujud dalam kondisi sakit kepala itu berbeda rasanya dengan sujud dalam keadaan sehat, Tahajud dalam keadaan fit akan lebih nikmat daripada Tahajud dalam keadaan sakit. Maka memperbaiki gizi juga merupakan ibadah, jangan pelit untuk membeli makanan bergizi karena sekali saja kita sakit akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Sesungguhnya, menjaga kesehatan akan membawa kebaikan.
Kuat Finansial
akan Kekuatan kedua adalah kekuatan finansial. Kekuatan ini akan membawa kebaikan. Bagaimana tidak, semua episode kehidupan memerlukan biaya . Kita akan sulit beribadah kalau tidak bisa makan dan minum. Adapun makanan dan minuman harus dibeli. Shalat kita pun tidak sempurna kalau tidak berpakaian yang layak, sedangkan pakaian bisa kita dapatkan dengan membeli. Terlebih lagi ibadah haji dan umrah, kita memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk bisa menjalaninya. Dakwah Islam pun sulit berkembang apabila tidak ditopang oleh kekuatan finansial. Maka, Allah Ta’ala menakdirkan Rasulullah menikah pertama kali tidak dengan ‘Aisyah melainkan dengan Khadijah Al-Kubra yang memiliki pilar ekonomi yang kuat.
Maka, jangan menganggap orang kaya itu paling belakang masuk ke surga. Sesungguhnya, golongan orang yang masuk surga tanpa hisab adalah ulama yang ikhlas, orang kaya yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, orang yang mati syahid dan haji mabrur. Dikisahkan ketika dipersilahkan masuk ke surga, haji mabrur terlebih dahulu tetapi dia menolak dengan alasan harus ulama dahulu karena dia mengetahui hukum-hukum haji dari gurunya yang seorang ulama. Begitu pula mujahid, dia tidak akan mengetahui keutamaan jihad kalau tidak ada ulama yang mengajarkannya. Namun, ketika ulama dipersilahkan, dia malah mempersilahkan orang kaya. Mengapa? Karena dengan kebaikan orang kaya yang dermawanlah, dia bisa menjalankan aktivitas dakwahnya dengan optimal.
Tentu saja, bagi seorang mukmin, menjadi kaya bukan untuk bermegah-megah dan berbagga diri. Tidak! Bagi seorang mukmin, menjadi kaya adalah untuk mengusahakan kemaslahatan bagi umat. Maka, jangan pernah merasa puas dengan pendapatan yang ada. Kerja lebih optimal lagi. Peras lagi otak kita. Kalau pecinta dunia itu mencari dunia untuk kepuasan dirinya, pecinta Allah mencari dunia untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah. Pecinta dunia dengan pecinta Allah sama giatnya, kita bahkan lebih giat dari mereka karena kita pakai doa.
Kita kejar dunia dengan bersimbah peluh berkuah keringat, kita peras otak buat perusahaan yang profesional. Tetapi kepuasan kita bukan ketika berkumpulnya uang, bukan punya perusahaanya, kepuasaan kita adalah ketika ada orang lapar yang bisa makan dengan bekerja pada perusahaan kita; ada seorang bapak yang terangkat martabatnya dengan bekerja; orang yang tidak berpakaian menjadi berpakaian; orang yang anaknya tidak sekolah jadi sekolah. Inilah yang kita nikmati. Adapun untuk kita secukupnya saja, wajar dan proporsional, selebihnya sedekahkan. Percayalah kita sudah punya rezekinya masing-masing. Terus evaluasi diri, bangun kekuatan diri; yang penting barokah. jangan sampai kita dapat harta haram yang akan menjadi racun bagi kita.
Kuat Intelektual
Kekuatan yang ketiga adalah kekuatan intelektual. Jika ingin meneladani Allah Al-Qawîy, kita wajib untuk meningkatkan kekuatan yang satu ini. Maka, tiada hari tanpa bertambahnya ilmu. Ke mana pun pergi, pastikan di tas harus ada buku. Setiap ada kesempatan buka dan baca. Ketahuilah sahabat, dengan ilmu kita kuat, dengan ilmu pula kita bisa menguatkan yang lain. Maka, mulai sekarang kuatkan ilmu kita untuk menguatkan keimanan diri. Terus saja cari supplier ilmu, cari terus akses ilmu agar semakin kuat iman kita sebagai buah dari ilmu dan wawasan kita.
Kita bisa belajar dari para ulama besar yang menjadi bintang dalam peradaban Islam. Dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana, mereka masih bisa untuk belajar, mengajar, dan menghasilkan karyakarya fenomenal. Dalam kitab Shaidul Khatir, Imam Ibnul Jauzi berkata tentang pengalaman dirinya dalam mencari ilmu melalui buku.
“Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah aku lihat, seolah-olah aku mendapatkan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di Madrasah An-Nizhamiyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya. Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu.”
Kuat Mental
kuat mental sejatinya adalah buah dari kuat iman. Dengan keimanannya, setiap hari seorang mukmin tuntut untuk tidak mudah sakit hati, tidak tersinggung, kuat menahan marah, mau memaafkan, menghapus kedendaman, dan mengendalikan nafsu. Ini adalah sebentuk latihan mental yang tiada duanya. Memang, layaknya latihan fisik untuk membangun kebugaran, metal kita pun wajib untuk dilatih sehingga memiliki mental yang membaja. Dengan memiliki mental kuat, hidup kita akan terasa lebih ringan. Seberat apapun masalah tidak akan membuat kita jatuh, remuk, dan berputus asa. Beratnya masalah justru menjadi batu asah yang akan membuat kualitas kita semakin cemerlang; laksana cemerlangnya intan ditimpa batako.
Kuat Ruhani
Inilah yang tidak boleh tidak harus ada dalam diri setiap Muslim. Bagaimana tidak, tanpa kekuatan ruhani, apapun yang kita miliki menjadi tidak berarti. Sekuat apapun kita, entah fisik, finansial, intelektual, dan mental, tanpa kekuatan ruhani, kita akan sulit mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Maka, orang yang kuat ruhaninya dia akan tampil menjadi seorang Muslim yang taat beribadah, rendah hati, sabar, dan berakhlak mulia. Kalau kekuatan ruhiahnya sudah terpancar, dia bagaikan cahaya matahari masuk ke relung-relung hati, menumbuhkan bibit-bibit, menerangi yang ada dalam kegelapan, menyegarkan yang layu. Andaikata kekuatan lainnya terbatas, kita bangun kekuatan ruhiah kita. Sekali bicara daya gugahnya akan terhunjam, daya ubahnya akan kuat. Perkataan yang sama akan berbeda hasilnya kalau keluar dari orang yang kuat ruhiyahnya dengan yang lemah ruhiyahnya. Maka, penting bagi kita untuk membangun kekuataan ruhiyah agar kita bisa efektif menjadi manfaat bagi orang lain.
Bagaimana caranya membangun kekuatan ruhiah? Jawabannya adalah “sucikan diri”. Sesungguhnya, teramat beruntung orang yang menjaga kebeningan hatinya. Pandangan dijaga, omongan dijaga, telinga hanya mendengar sesuatu yang disukai Allah dan bermanfaat. Semua yang kita rasakan harus mendekatkan diri kita kepada Allah, juga riyadhah-nya harus lebih digencarkan. Malam tetap Tahajud meskipun hanya dua rakaat tetapi dengan kualitas yang tetap terjaga. Setiap Senin-Kamis usahakan untuk shaum. Ketika punya uang berlatihlah untuk mengeluarkan sedekah. Mata dilatih untuk menunduk, mulut dilatih bicara seperlunya, pendengaran yang tidak perlu dikurangi, lisan selalu berzikir, shalat tepat waktu, jaga wudhu, dan lainnya.
Semakin kita melatih diri untuk terus mendekat kepada Allah, hati kita pun perlahan tapi pasti akan semakin bercahaya, semakin kokoh dan kuat. Dengan izin Allah, kita akan sampai pada titik tertentu sehingga akan kelihatan rahasia dunia ini. Lintasan rezeki akan terlihat jelas sehingga kita tidak lagi panik menghadapi hidup. Kita pun akan mengerti hikmah di balik musibah. Kita akan memahami episode-episode hidup. Intinya, kita akan melihat dunia dari sudut lain, sudut ma’rifatullâh.
Mutiara Kisah
“Demi Zat yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya tidak berat bagi kaum Muslim, pasti aku tidak akan tinggal diam di belakang pasukan yang berperang di jalan Allah, selamanya! Tapi, aku tak punya kekuatan untuk membawa mereka, dan mereka pun tak punya kekuatan serta merasa berat kalau tidak ikut bersamaku. Demi Zat yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, aku ingin benar-benar berperang di jalan Allah lalu aku terbunuh, berperang lagi, terbunuh lagi, berperang lagi, terbunuh lagi.” (HR Muslim)
Saudaraku, sosok seperti apakah yang berani mengucapkan kalimat “dahsyat semacam ini? Dialah Rasulullah manusia paling pemberani dan paling tangguh dalam menghadapi kondisi sekritis apapun, semisal di , tengah medan tempur. Sampai-sampai seorang sahabat, Imran bin Hushain berkata, “Setiap kami berhadapan dengan pasukan musuh, pastilah Rasulullah menjadi orang pertama yang menghajar mereka. (Asy-Syifâ, 1/150)
Dalam Perang Badar, Rasulullah sempat dikepung pasukan musuh, sampai orang sekelas Ali bin Abi Thalib yang terkenal jago bertempur berkata kepada sahabat lainnya, “Kau lihat pada Perang Badar aku berlindung kepada Nabi yang berada paling dekat dengan musuh. Beliaulah manusia paling gagah saat itu” (Asy-Syifá, 1/150)
Dan, ketahuilah saudaraku, tidaklah seseorang menjadi pemberani di jalan Allah, kecuali dia seorang yang kuat, minimal kuat nyali, mental, dan ruhaninya. Padahal, pada diri Rasulullah satu hadir semua kekuatan dalam levelnya yang sempurna. Beliau kuat fisiknya, kuat finansialnya, kuat intelektualnya, kuat mentalnya, dan tentu saja kuat ruhiahnya sehingga beliau mampu menuntaskan tugas dakwahnya dengan sangat menyesankan.
Sebagai contoh, kita lihat bagaimana kuatnya fisik Rasulullah Dalam sejumlah hadis disebutkan bagaimana cara berjalan beliau yang jauh dari kata lemah. Beliau berjalan lebih cepat dibandingkan para sahabat seakan bumi dilipat untuk beliau. Jika berjalan, beliau mengangkat kakinya dengan penuh semangat, melangkah cepat seperti menuruni tanjakan.
Begitu kuatnya fisik Rasulullah sehingga malam hari beliau hanya tidur sebentar, lalu segera bangun untuk menunaikan Tahajud dan beribadah kepada Allah sampai kedua kakinya bengkak. Namun, beliau tetap tegak untuk membaca surat-surat yang panjang dalam shalatnya. Puasanya pun sambung menyambung. Bahkan, dalam peperangan beliau harus menanggung beratnya perang melebihi para sahabat. Demikian tutur Dr. Nizar Abazhah dalam bukunya Pribadi Muhammad (hlm. 102-103) *
Tips Meneladani Al-Qawîy
- Tanamkan keyakinan di dalam diri bahwa mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah, walaupun pada keduanya terdapat kebaikan.
- Tanamkan keyakinan di dalam diri bahwa dengan menjadi mukmin yang kuat, kita bisa melakukan banyak hal untuk diri, keluarga, sesama, dan agama.
- Jadilah orang yang kuat dalam membela agama Allah. Level minimal adalah tidak takut dengan cemoohan atau cercaan orang-orang jahil.
- Mohonlah kepada Allah agar Dia menjadikan kita sosok yang kuat, lalu jalani ikhtiar yang optimal untuk mewujudkannya.
- Rendahkan serendah-rendahnya di hadapan Allah Al-Qawîy, akui kelemahan diri di hadapan-Nya, sesungguhnya itu adab seorang hamba di hadapan-Nya, khususnya ketika shalat.
- Jadikanlah kekuatan yang ada pada diri sebagai jalan untuk taat kepada-Nya, jalan untuk bersikap tawadhu, dan menolong orang orang lemah.
Mutiara Doa
Subhanallâhi wa bihamdih, lâ quwwata illâ billâh, mâsyâ Allâhu kâna, wa mâ lam yasya’lam yakun, a’lamu annallâha ‘ala kulli syai-in qadîr, wa annallâha qad ahatha bi kulli syai’in ‘ilmâ.
”Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya. Tiada kekuatan kecuali hanya milik Allah. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi. Aku mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan bahwa Allah telah meliputi segala sesuatu dengan pengetahuan.” (HR Abu Dawud)
Percikan Hikmah
“Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla menjadikan kekuatan (terbesar) seorang Mukmin ada pada hatinya dan bukan pada tubuhnya. Tidakkah engkau lihat ada orang tua yang sudah lemah badannya tapi tetap mampu melaksanakan shaum pada siang hari dan Tahajud pada malam hari, sedangkan ada orang muda (yang sehat badannya dan kuat fisiknya) akan tetapi terlalaikan dari menunaikan dua keutamaan tersebut!” (Syamith bin Ajlan, Hilyatul Auliya) Yayasan Bina Amal Semarang