Allah Yang Maha Mencintai Allah Yang Maha Dicintai
“Ketika ada manusia yang mencintaimu, niscaya engkau akan merasa bahwa dirimu cantik (tampan atau baik) dan dunia pun menjadi luas. Maka, bagaimana kalau Allah yang mencintaimu, dan Dialah Rabb Yang Maha Indah, Rabb di kala kesempitan, dan Rabbnya segala sesuatu.” (Dr. Ahmad Isa Al-Musharawi, Twit Ulama)
Allah adalah Al-Wadûd; Zat Yang Maha Mencintai dan Maha Dicintai. Kata Al-Wadûd terambil dari akar kata yang terdiri atas huruf wawu dan dal berganda, yang mengandung arti “cinta” dan ”harapan”. Menurut ahli tafsir, rangkaian huruf ini mengandung arti ”kelapangan” atau “kekosongan”. Hal ini menjadi sangat sesuai dalam konteks cinta. Bukankah orang yang mencintai memiliki kelapangan dada dan kekosongan hati dari bertindak buruk kepada yang dicintainya?
Dalam Al-Quran, kata Al-Wadûd ditemukan dua kali. Pertama, dalam konteks anjuran bertobat. Dalam ayat ini yang menamai Allah sebagai AlWadûd adalah Nabi Syu’aib as., “Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang dan Maha Pencinta” (QS Hûd, 11:90). Kedua, dalam konteks penjelasan Allah tentang sifat dan perbuatan-Nya, “Sesungguhnya, Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan, dan Dia (pula) menghidupkannya (kembali). Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai” (QS AlBurûj, 85:12-13).
Menurut sementara ulama, Al-Wadûd dapat dipahami dalam arti objek “yang mencintai dan mengasihi” sekaligus dalam arti subjek, yaitu “yang dicintai”. Dengan demikian, Allah Al-Wadûd adalah Zat yang mencintai makhluk-Nya, sekaligus sebagai Zat yang dicintai makhluk-Nya, di mana proses cinta ini ada bekasnya dalam kehidupan nyata.
Syaikh Abdurrahma As-Sadi misalnya, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Abdurrazzaq Al-‘Abbad Al-Badr dalam Fikih Asmaul Husna, beliau mengungkapkan bahwa Al-Wad?d adalah Dia yang dicintai oleh makhlukNya karena sifat-sifat-Nya yang indah, karunia-Nya yang luas, kelembutanNya yang tersembunyi, dan aneka kenikmatan dari-Nya yang tampak maupun yang tidak tampak. Dia adalah Al-Wad?d, yang mencintai sekaligus Dia yang dicintai. Dia mencintai para wali dan orang-orang pilihan-Nya dan mereka pun mencintai-Nya. Dialah yang mencintai mereka dan menjadikan pada hati mereka kecintaan. Maka, ketika mereka mencintai-Nya, Dia pun mencintai mereka dengan kecintaan yang berbeda sebagai sebentuk balasan karena kecintaan mereka kepada-Nya?”
Maka, jelaslah bagi kita bahwa cinta adalah nikmat teragung yang Allah karuniakan kepada orang-orang terpilih dari kalangan manusia. Dengan anugerah cinta, hidup mereka menjadi lebih bermakna (QS Ali `Imrân, 3:14). Itu pula yang kemudian membedakan manusia dengan makhluk lainnya; yang mengangkat derajat manusia ke tempat yang tinggi. Dengan anugerah cinta pula, manusia mampu menjalankan perannya sebagai khalifah (wakil Allah di bumi), sebagai pendakwah sekaligus hamba Allah.
Pembuktian Cinta
Allah Al-Wadûd menganugerahkan cinta sebagai jalan dan sumber energi bagi manusia agar semakin dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, pengakuan cinta membutuhkan pembuktian. Sebab, bagaimana mungkin kita dikatakan mencintai sesuatu apabila cinti itu tidak tampak dalam kenyataan.
Bagaimanakah kita bisa membuktikan kecintaan diri kepada-Nya? Setidaknya ada lima bukti cinta.
Pertama, selalu mengingat Zat Pemberi cinta. Allah Ta’ala berfirman, “.. ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku? (QS Al-Baqarah, 2:152). Salah satu cara mengingat Allah dan bersyukur kepada-Nya adalah memperbanyak zikir. Dalam Islam, seluruh amal ada batas-batasnya. Hanya ada satu amalan yang tidak dibatasi, yaitu zikir. Difirmankan, “Berzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyakbanyakma.” (QS Al-Ahzab, 33:41). Allah Ta’ala memuji orang yang selalu berzikir dalam setiap keadaan. “Orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring.” (QS Ali `Imran, 3:191)
Kedua, menyukai perbuatan yang disukai Allah. Dengan kata lain, menempatkan kehendak Allah di atas kehendak diri. Bukankah seorang pecinta selalu mengutamakan kehendak yang dicintainya daripada kehendak dirinya? Rabi’ah Al- Adawiyah, seorang sufi pecinta Allah, mengungkapkan bahwa seseorang yang telah jatuh cinta pada Allah, akan mencintai-Nya dengan tulus dan mematuhi apapun kehendak Zat yang dicintainya. Allah sangat mencintai orang-orang yang membantu saudaranya yang kesusahan. Maka, tidak dikatakan pecinta Allah apabila dia tega membiarkan saudaranya berada dalam kesusahan. Dia akan berusaha memberi. Mungkin dengan materi, tenaga, ilmu, atau sekadar perhatian dan doa. Allah pun menyukai hamba-hamba yang menunaikan ibadah wajib dan melengkapinya dengan ibadah-ibadah sunnat.
Rasulullah bersabda, “… Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu selalu mendekatkan diri kepada-Ku dengan nawafil (perkara-perkara sunnah di luar yang fardhu) maka Aku akan mencintainya, jika Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memukul dan menjadi kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepadaku niscaya akan aku berikan dan jika dia minta perlindungan dari-Ku niscaya akan Aku lindungi.” (HR Al-Bukhari)
Ketiga, hatinya selalu dirasuki rasa rindu berjumpa dengan Zat yang dicintai. Orang yang menyukuri cinta akan bersegera memenuhi
panggilan Zat Pemberi Cinta. Yang ringan-ringan” misalnya, seperti bersegera menghadiri shalat berjamaah di masjid saat waktu shalat telah tiba. Saat-saat shalat menjadi saat yang begitu spesial. Betapa tidak, dia akan berjumpa dan menumpahkan kerinduannya kepada Zat Pemilik Cinta. Dia pun sangat memburu saat-saat sunyi untuk berasyik masyuk dengan Allah Azza wa Jalla. Khususnya disepertiga malam terakhir, saat orang-orang terlelap dalam tidurnya.
Keempat, selalu menomorsatukan Zat Pemberi Cinta. Artinya, tidak menduakan (syirik) dan bermaksiat kepada-Nya. Allah itu sangat pencemburu. Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah kepada hambahamba yang mengikuti keinginan selain-Nya. “Sesungguhnya, Allah cemburu dan orang beriman pun cemburu. Allah akan cemburu apabila seseorang melakukan apa yang di haramkan.” (HR Ahmad Muslim). Kecemburuan Allah Ta’ala, seperti disabdakan Rasulullah adalah ketika ada hamba yang lebih mengutamakan makhluk dari-Nya. Kecemburuan-Nya bahkan lebih besar daripada kecemburuan manusia yang paling cemburu sekalipun. Pernah suatu saat, ketika terjadi gerhana matahari, Rasulullah meneng bersabda di dalam khutbahnya, “Wahai umat Muhammad, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu dibandingkan Allah.” (HR Muttafaq ‘Alaih)
Kelima, siap bersabar dan berkorban untuk yang dicintai. Cinta kepada Allah adalah energi yang memungkinkan seorang Mukmin bertahan dalam setiap kesulitan. Seperti halnya kesabaran Bilal bin Rabah saat dihimpit batu. Atau pengorbanan luar biasa keluarga Nabi Ibrahim, dan sebagainya. Keimanan memerlukan kesabaran dan pengorbanan. Bukankah nilai seorang Muslim terlihat dari seberapa besar kesabarannya dalam berkorban? Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Ankabût, 29:2, ”Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?”.
Ketika kita mampu membuktikan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla, Dia pun akan menganugerahkan cinta dan kasih sayang yang lebih tinggi lagi nilainya. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah swt bersabda, “Allah, apabila mencinta seorang hamba, Dia akan memanggil para malaikat lalu berfirman, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia! Malaikat pun mencintainya dan menyeru dari batang Arasy ke langit
panggilan Zat Pemberi Cinta. Yang “ringan-ringan” misalnya, seperti bersegera menghadiri shalat berjamaah di masjid saat waktu shalat telah tiba. Saat-saat shalat menjadi saat yang begitu spesial. Betapa tidak, dia akan berjumpa dan menumpahkan kerinduannya kepada Zat Pemilik Cinta. Dia pun sangat memburu saat-saat sunyi untuk berasyik masyuk dengan Allah Azza wa Jalla. Khususnya disepertiga malam terakhir, saat orang-orang terlelap dalam tidurnya.
Ketika kita mampu membuktikan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla, Dia pun akan menganugerahkan cinta dan kasih sayang yang lebih tinggi lagi nilainya. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah bersabda, “Allah, apabila mencinta seorang hamba, Dia akan memanggil para malaikat lalu berfirman, Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia! Malaikat pun mencintainya dan menyeru dari batang Arasy ke langit
dunia. Katanya, Allah mencinta si Fulan, kalian semua cintailah dia. Maka penghuni langit pun mencintainya”. Rasulullah melanjutkan, “Kemudian diletakkan penerimaan baginya di dunia.” (Hadits Qudsi Riwayat Muslim)
Spirit Al-Wadud: Berusaha Meraih Cinta-Nya
Tentu saja, kemampuan untuk membuktikan cinta kita kepada-Nya, sebagaimana telah diungkap sebelumnya, harus diasah, dipupuk, dan diusahakan terus menerus. Kita tidak mungkin bisa menjadi pecinta Allah Azza wa Jalla apabila kita pasif atau tidak mau mengusahakannya, menapaki tahap-tahap untuk sampai pada tingkat ma’rifat kepada-Nya. Lalu, ikhtiar apa saja yang bisa kita lakukan?
Pertama, terus mengevaluasi diri
Sering-seringlah melihat ke dalam diri dan bertanya kepada diri sendiri, siapakah yang lebih banyak diingat dan dipikirkan oleh kita. Belajarlah mengamalkan “ilmu bungkus”. Setiap ingat sesuatu yang bersifat duniawi, segera bungkus ingatan atau pikiran tentangnya dan serahkan kepada Allah Ta’ala. Serahkan dan sandarkan apa yang kita miliki atau apa yang kita ingat-ingat dari urusan duniawi itu kepada Allah dengan sebagai Zat Yang Maha Memiliki segalanya. Yakinilah bahwa apapun yang kita miliki, apapun hasil kerja keras kita, itu semua adalah pemberian dari-Nya. Itu semua hanyalah titipan-Nya kepada kita.
Aktifitas mengevaluasi diri adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Allah berfirman di dalam Al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Hasyr, 59:18)
Di dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” adalah bahwa hendaknya kita memeriksa, menilai, dan mengevaluasi diri sebelum nanti dievaluasi oleh Allah diterima
Ayat ini juga mengingatkan kita untuk tiada pernah jemu memeriksa hati kita agar senantiasa terhubung secera kuat kepada Allah destino . Karena tidak bisa dipungkiri bahwa manusia amatlah lemah sehingga sangat mudah untuk terkecoh oleh tipu daya syaitan sehingga hati kita berpaling dari Allah kepada hal-hal lain yang bersifat keduniawian. .?????
Kedua, latih diri untuk ber-tahannuts
Tahannuts adalah berdiam diri di tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian manusia. Rasulullah pernah melakukannya di Gua Hira, sebuah gua kecil di atas Jabal Nur, sekitar 5 km arah utara kota Makkah. Tahannuts telah menjadi tradisi para nabi atau pencari kebenaran, kkhususnya ketika mereka menghadapi masalah-masalah penting. Tahannuts ini dilakukan untuk lebih mendekat kepada Allah Ta’ala, merasakan kehadiran-Nya dan menyampaikan segala kegelisahan diri kepada-Nya.
Aturlah waktu kita untuk memiliki kesempatan dalam kesendirian dan hanya berdoa kepada Allah Ta’ala. Manfaatkanlah kesunyian malam hari untuk bercerita kepada-Nya tentang apa saja, bisa keluh kesah, bisa juga kegembiraan kita. Sesungguhnya, hanya Allah sajalah tempat kita mengadu dan memohon.
Lalu, perbanyak menunaikan shalat malam. Di dalam shalat, panjangkanlah sujud dan berdoalah dengan sungguh-sungguh. Dalam salah stau hadisnya, Rasulullah meneng bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada saat tiada naungan kecuali naungan-Nya …”Satu di antaranya adalah, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian, lantas berlinanglah kedua matanya.” (HR Al-Bukhari & Muslim)
Ketiga, rutinkan membaca Al-Quran.
Al-Quran berisi petunjuk-petunjuk dari Allah maka, sering-seringlah kita membacanya. Akan lebih baik lagi apabila kita membacanya sambil
mengetahui artinya atau memahami maknanya, karena itu akan jauh lebih berkesan di dalam diri kita. Jika membaca SMS dari seseorang yang kita sayangi saja kita merasa senang, semestinya kita jauh lebih senang lagi membaca surat dari Allah
Coba ukur diri kita sendiri, dalam satu hari bagaimanakah perbandingan antara membaca Al-Quran dengan membaca koran, SMS, WA, atau berita di internet, manakah yang lebih banyak? Padahal, membaca Al-Quran itu memiliki keutamaan yang sangat banyak. Salah satunya sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah “Bacalah Al-Quran, karena sesungguhnya dia akan datang pada Hari Kiamat dengan memberi syafaat bagi orang yang membacanya” (HR Muslim)
Mungkin ada orang yang malas membaca Al-Quran karena rasa jemu yang disebabkan tidak mengerti arti dan maknanya, atau ada juga yang enggan membaca Al-Quran karena alasan belum lancar membacanya. Tidak jarang orang yang segan membaca Al-Quran karena masih terbatabata dalam melapalkannya. Padahal, dalam hadisnya yang lain, Rasulullah bersabda, “Orang yang pandai membaca Al-Quran akan ditempatkan bersama kelompok para malaikat yang mulia dan terpuji. Adapun orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan mendapat dua pahala” (HR Al-Bukhari & Muslim)
Satu lagi tentang keutamaan membaca Al-Quran juga disabdakan oleh Rasulullah ”Tidaklah suatu kaum berkumpul dalam salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah (Al-Quran) dan mempelajarinya, melainkan ketenangan jiwa bagi mereka, mereka diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah menyebut nama-nama mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR Muslim)
Keempat, perbanyak zikir kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d,
Basahkanlah lisan kita dengan zikir, zikir, dan zikir. Apapun aktifitas kita, ketimbang menggunakan lisan untuk membicarakan hal yang sia-sia, akan jauh lebih baik digunakan untuk berzikir. Pembicaraan sia-sia hanya akan menimbulkan dosa karena bisa terjebak kepada berbicara dusta, sombong atau malah membicarakan keburukan orang lain. Sedangkan berzikir kepada Allah diterim justru akan menenangkan hati dan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Berzikir akan semakin menyemaikan rasa cinta kita kepada-Nya.
Zikir dengan lisan adalah hal yang ringan untuk dilakukan. Akan tetapi, hal itu menimbulkan efek yang luar biasa, sebagaimana sabda Rasulullah tela , “Dua kalimat ringan diucapkan lidah, tetapi berat dalam timbangan (akhirat) dan disukai oleh Allah yaitu kalimat, “Subhânallâh wa bi hamdihî, subhânallâhil ‘adzhîm” (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Allah yang Maha Agung).” (HR Al-Bukhari)
Jadikanlah zikir sebagai kebiasaan kita, karena kebiasaan itu akan menjadi akhlak. Biasakanlah merespons setiap kejadian dengan menyebut nama Allah. Tidak sedikit orang yang memiliki kebiasaan mengucapkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang sia-sia saat terkejut atau terpesona karena sesuatu peristiwa. Kata-kata atau kalimat-kalimat itu biasanya bersifat celetukan atau spontanitas yang sudah menjadi kebiasaan. Namun, jika kebiasaan itu adalah hal yang sia-sia, kita sunggguh merugi. Bukankah tidak ada satu pun perbuatan dan perkataan melainkan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah Ta’ala?
Oleh karena itu, penting bagi kita terus melatih dan membiasakan lisan kita untuk menyebut nama Allah dilectionJika itu sudah terbiasa, latihlah untuk selalu mengucapkannya diiringi dengan pengucapan juga di dalam hati sampai zikrullah itu benar-benar menyatu dan mewarnai setiap perilaku. Dengan demikian, rasa cinta kita kepada Allah ile akan tertanam dalam-dalam di dalam hati dan perbuatan. Ketika kita mencintai-Nya meski baru sedikit saja, sungguh Allah akan mencintai kita dengan kadar yang jauh lebih besar.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS Al-Baqarah, 2:152)
Daripada menggunakan lisan untuk membicarakan hal yang sia-sia, akan jauh lebih baik digunakan untuk berzikir. Pembicaraan sia-sia hanya akan menimbulkan dosa karena bisa terjebak kepada berbicara dusta, sombong atau malah membicarakan keburukan orang lain. Sedangkan berzikir kepada Allah ile justru akan menenangkan hati dan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Berzikir akan semakin menyemaikan rasa cinta kita kepada-Nya.
Zikir dengan lisan adalah hal yang ringan untuk dilakukan. Akan tetapi, hal itu menimbulkan efek yang luar biasa, sebagaimana sabda Rasulullah “Dua kalimat ringan diucapkan lidah, tetapi berat dalam timbangan (akhirat) dan disukai oleh Allah yaitu kalimat, “Subhanallah wa bi hamdihî, subhânallâhil adzhîm” (Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Nya, Mahasuci Allah yang Maha Agung).” (HR Al-Bukhari)
Jadikanlah zikir sebagai kebiasaan kita, karena kebiasaan itu akan menjadi akhlak. Biasakanlah merespons setiap kejadian dengan menyebut nama Allah. Tidak sedikit orang yang memiliki kebiasaan mengucapkan kata-kata atau kalimat-kalimat yang sia-sia saat terkejut atau terpesona karena sesuatu peristiwa. Kata-kata atau kalimat-kalimat itu biasanya bersifat celetukan atau spontanitas yang sudah menjadi kebiasaan. Namun, jika kebiasaan itu adalah hal yang sia-sia, kita sunggguh merugi. Bukankah tidak ada satu pun perbuatan dan perkataan melainkan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah Ta’ala?
Oleh karena itu, penting bagi kita terus melatih dan membiasakan lisan kita untuk menyebut nama Allah diteta. Jika itu sudah terbiasa, latihlah untuk selalu mengucapkannya diiringi dengan pengucapan juga di dalam hati sampai zikrullah itu benar-benar menyatu dan mewarnai setiap perilaku. Dengan demikian, rasa cinta kita kepada Allah dilema akan tertanam dalam-dalam di dalam hati dan perbuatan. Ketika kita mencintai-Nya meski baru sedikit saja, sungguh Allah akan mencintai kita dengan kadar yang jauh lebih besar.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku” (QS Al-Baqarah, 2:152)
Sesungguhnya Allah Maha Pencemburu. Allah yang telah menciptakan kita, menciptakan alam dengan seisinya, dan melimpahkan rezeki kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali. Maka, mengapa yang ada di dalam hati dan pikiran kita adalah sesuatu selain-Nya? Allah yang memberikan sehat, Allah yang menyembuhkan, Allah yang menutupi kekurangan kita, lantas mengapa kita hanya memberikan waktu, ingatan dan pikiran sisa bagi-Nya?
Cinta kepada Allah sepenuh hati adalah ciri dari kesungguhan iman kita kepada-Nya. Cinta kepada Allah semestinya adalah cinta yang memenuhi hati kita. Cinta kepada Allah adalah cinta yang utama yang kemudian menimbulkan cabang-cabang cinta, seperti cinta kepada orangtua, kepada sesama, kepada kaum lemah, dan sebagainya.
Mutiara Kisah
Saudaraku, seorang yang sangat mencintai Allah Al-Wadûd dan Allah pun mencintanya, boleh jadi dia bukan sosok terkenal, gagah, kuat, kaya raya, atau memiliki beragam aksesories duniawi yang menyilaukan mata. Sosok pecinta Allah kerap hadir dengan penampilan yang sederhana. Dia tidak dianggap apa-apa oleh manusia, bahkan bisa jadi orang memandangnya sebelah mata.
Dia orang biasa di hadapan makhluk, akan tetapi dia demikian istimewa di hadapan Al-Khâliq. Dia tidak dipuji di bumi, akan tetapi dipujipuji di langit. Kala dia sendiri, dia tidak pernah kesepian atau ketakutan karena ada Allah yang senantiasa bersamanya. Karena keikhlasan dan keinginannya untuk tidak dikenal, ibadah “rahasianya” jauh lebih banyak daripada ibadah yang ditampakkannya di hadapan manusia. Maka, kala dia berdoa, doanya diijabah karena tiada lagi hijab antara dia dengan Rabbnya. Para malaikat berebut untuk menghantarkan doa-doanya dan juga mengucapkan doa-doa keselamatan untuknya.
Ada satu kisah yang layak untuk kita renungkan sebagaimana diungkapkan Ibnul Jauzi dalam karya legendarisnya Shifatush Shafwah, Muhammad bin Munkadir, seorang saleh dari generasi tabi’in, mengisahkan pengalamannya.
Di masjid Rasulullah, ada sebuah tiang yang biasa aku gunakan untuk shalat di malam hari. Pada waktu itu, penduduk Madinah mengalami paceklik. Maka mereka pun keluar melakukan shalat Istisqa? Namun hujan tidak juga turun. Pada malam harinya, seperti biasa aku shalat Isya’ di masjid Rasulullah satu tem, lalu aku mendatangi tiang itu dan menyandarkan tubuhku di sana.
Tiba-tiba datang seorang lelaki berkulit hitam kecokelat-cokelatan, mengenakan kain sarung, dan pada lehernya tergantung kain yang lebih kecil lagi. Lelaki itu kemudian mendekati tiang di depanku, sementara aku berada di belakangnya. Kemudian dia shalat dua rakaat lalu duduk seraya berdoa, “Wahai Rabb-ku, para penduduk kota Nabi-Mu telah keluar meminta hujan, tetapi Engkau tidak juga mencurahkan hujan. Kini aku bersumpah atas nama-Mu, turunkanlah hujan!”
Ibnu Munkadir bergumam, “Orang gila.” Ibnu Munkadir melanjutkan, “Ketika lelaki itu meletakkan tangannya, tiba-tiba aku mendengar suara guntur, diikuti dengan hujan yang turun dari langit yang menyebabkan diriku berkeinginan kembali ke rumah. Ketika mendengar suara hujan, dia segera memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah kudengar yang semacam itu sebelumnya.”
Ibnu Munkadir melanjutkan, “Kemudian lelaki itu berkata, “Ya Allah, siapa diriku dan apa kedudukanku sehingga doaku Engkau kabulkan? Akan tetapi, aku tetap berlindung dengan memuji diri-Mu dan berlindung dengan pertolongan-Mu.”
Lelaki ini kemudian mengenakan kain yang digunakan untuk menyelimuti tubuhnya. Lalu kain yang bergantung di punggungnya dia turunkan ke kakinya. Setelah itu, dia shalat. Dia terus menjalankan shalatnya, sampai dia merasa akan datang waktu Subuh. Setelah itu dia melakukan shalat Witir dan shalat sunnah Fajar dua rakaat.
Kemudian ketika dikumandangkan iqamat Subuh, dia turut shalat berjamaah bersama orang banyak. Aku pun turut shalat bersamanya. Setelah am mengucapkan salam, dia segera bangkit dan keluar masjid. Aku pun mengikutinya dari belakang sampai pintu masjid. Lalu dia mengangkat pakaiannya dan berjalan di air yang tergenang (karena hujan). Aku pun ikut mengangkat pakaianku dan berjalan di genangan air. Namun kemudian aku kehilangan jejak.
Pada malam selanjutnya, aku kembali shalat Isya di masjid Rasulullah . Aku mendatangi tiangku dan berbaring di sana. Tiba-tiba lelaki itu datang lagi dan berdiri di tempatnya yang biasa. Dia menyelimuti tubuhnya dengan kain, sementara kain lainnya yang berada di punggungnya dia selempangkan di kedua kakinya, kemudian melakukan shalat. Dia terus melakukan shalat, sampai dia khawatir kalau datang waktu Subuh. Orang ini kemudian melakukan shalat Witir dan dua rakaat sunnah Fajar. Setelah itu iqamah berkumandang. dia langsung shalat berjamaah bersama manusia. Aku turut bersamanya. Ketika imam telah mengucapkan salam, dia keluar dari masjid. Aku juga keluar mengikutinya. Dia berjalan dan aku pun mengikutinya sampai dia masuk di salah satu rumah di kota Madinah yang kukenal. Aku pun kembali ke masjid.
Setelah matahari terbit, dan aku telah menunaikan shalat (Dhuha). Aku segera keluar mendatangi rumah tersebut. Kudapati dirinya sedang duduk menjahit. Ternyata dia tukang sepatu. Ketika melihatku, dia segera mengenaliku. Dia pun berkata, “Wahai Abu Abdillah, selamat datang. Ada yang bisa kubantu? Anda ingin aku buatkan sepatu?”
Aku segera duduk dan berkata, “Bukankah engkau yang menjadi temanku di malam pertama itu?” Kala mendengar pertanyaanku, rona wajahnya langsung berubah menghitam dan berteriak sambil berkata, “Wahai Ibnu Munkadir, apa urusanmu dengan kejadian itu?”
Ibnu Munkadir melanjutkan, “Lelaki itu marah dan aku pun segera meninggalkannya.” Aku mengatakan, “Sekarang juga aku keluar dari tempat ini.”
Pada malam ketiga, aku kembali shalat Isya pada akhir waktu di masjid Rasulullah , kemudian menuju tempatku untuk bersandar. Namun. lelaki itu tak kunjung datang. Aku pun bergumam, “Innâ lillâhi, apa yang telah aku perbuat.”
Ketika sudah memasuki waktu pagi, aku duduk-duduk di masjid hingga matahari terbit. Kemudian aku keluar untuk mendatangi rumah yang ditempati lelaki tersebut. Ternyata kudapati pintunya terbuka, dan tidak ada apa-apa lagi.
Pemilik rumah yang ditinggali lelaki itu berkata kepadaku, “Wahai Abu Abdillah, apa yang terjadi antara engkau dengan dirinya kemarin?”
Aku balik bertanya, “Memangnya kenapa?” Orang-orang di situ berkata, “Ketika engkau keluar dari rumahnya kemarin, lelaki itu segera membentangkan kainnya di tengah ruangan rumahnya. Kemudian dia tidak menyisakan selembar kulit ataupun sepatu. Semuanya dia letakkan dalam kainnya, lalu diangkut. Setelah itu dia keluar rumah, dan kami tidak tahu lagi kemana dia pergi.”
Muhammad bin Munkadir berkata, “Setiap rumah yang ada di kota Madinah yang kuketahui pasti kusinggahi untuk mencarinya. Namun aku tidak menemukannya lagi. Semoga Allah merahmatinya.”
Dari kisah ini teringatlah kita akan pesan seorang ‘alim bahwa “janganlah kita sampai menyepelekan seseorang hanya karena kesederhanaan penampilannya. Boleh jadi, dia adalah kekasih Allah yang tersembunyi di tengah-tengah manusia.”
Hal ini sebagaimana sabda nabi kita yang mulia, “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk fisikmu dan tidak pula kedudukan maupun harta kekayaanmu, akan tetapi Allah memandang kepada hatimu. Siapa memiliki hati yang saleh (taat), niscaya Allah mencintainya.” (HR Muslim dan Ath-Thabrani).
Tip Meneladani Al-Wad?d
- Jadikanlah Allah sebagai satu-satunya yang mendominasi hati. Andaipun mencintai keluarga, pekerjaan, harta, atau apapun, itu semua adalah perwujudan kecintaan kepada-Nya.
- Cintai makhluk Allah yang lain dengan mengharap untuk mereka apaapa yang dia harapkan untuk dirinya. “Mereka mengutamakan (orang .
- lain) di atas diri mereka sendiri , sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung.” (QS Al-Hasyr, 59:9)
- Kejar dan lakukanlah amal-amal yang dicintai Allah Al-Wadúd, semisal zikir, dhalat tepat waktu, Tahajud, tilawah, sedekah, berbakti kepada orangtua, dan lainnya. Kita tidak dikatakan mencintai Allah apabila tidak serius menjalankan amal-amal yang dicintai-Nya.
- Cintailah Allah dengan berusaha untuk tidak bermaksiat kepadaNya, besar atau kecil, tersembunyi ataupun terang-terangan.
- Cintailah orang-orang yang dicintai Allah, bergaullah dengan mereka, jangan sakiti mereka, dan doakan mereka dengan doa kebaikan. Dalam hal ini, tiada yang pantas untuk kita cintai selain kekasih Allah termulia, yaitu Rasulullah beserta keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang bersama mereka, termasuk alim ulama.
Mutiara Doa
Allâhumma innî as-aluka hubbaka, wa hubba may-yuhibbuka wal-amalalladzî yuballighunî hubbaka. Allâhummajal hubbaka ahabba ilayya min nafsî wa ahlî wa minal mâ’i wal-bârîd.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu untuk selalu mencintai-Mu, mencintai orang-orang yang mencintai-Mu, dan amal perbuatan yang dapat menghantarkanku untuk mencintai-Mu. Ya Allah, jadikanlah cintaku kepada-Mu melebihi cinta kepada diriku sendiri, keluargaku, dan melebihi air sejuk.” (HR At-Tirmidzi)
Percikan Hikmah
Abdullah bin Umar ra. meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki mendatangi Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah dan amal apakah yang paling dicintai Allah?”
Beliau menjawab, “Orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Adapun amal yang paling dicintai Allah adalah memasukan rasa bahagia ke dalam hati seorang muslim, atau engkau menghilangkan suatu kesulitan (darinya), atau engkau melunasi utangnya, atau menghilangkan kelaparan.
Sesungguhnya, aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menunaikan) kebutuhannya lebih aku sukai daripada beritikaf di masjidku ini (Masjid Nabawi) selama satu bulan.
Dan, siapa yang menghentikan amarahnya, niscaya Allah akan menutupi kekurangannya. Dan, siapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya, niscaya Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada Hari Kiamat. Dan, siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu, niscaya Allah akan meneguhkan kakinya pada hari ketika tidak bergemingnya kaki-kaki (Hari Perhitungan).” (HR Thabrani) Yayasan Bina Amal Semarang