AL-WAKÎL Allah Yang Maha Pemelihara
“Wahai anakku, dunia itu bagaikan lautan yang dalam, telah banyak manusia tenggelam di dalamnya. Kalau engkau sanggup, jadikanlah keimananmu kepada Allah sebagai bahteramu, hendaklah muatannya adalah amal kepada Allah Azza wa Jalla, dan layarnya adalah tawakal kepada-Nya, semoga engkau dapat berlayar dengan selamat.” (Luqman Al-Hakîm)
Siapa yang tidak kenal Nabi Ibrahim as. Beliau adalah pemuka kaum beriman paling utama setelah Rasulullah. Pena sejarah mencatat bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok manusia yang teramat cinta kepada Tuhannya. Saking cintanya, beliau rela mengorbankan anak kesayangannya, yaitu Ismail as. untuk mentaati perintah Allah. Saking percayanya kepada Allah, Nabi Ibrahim tidak mau ditolong oleh Malaikat Jibril saat dia akan dibakar Raja Namrudz. Ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala datanglah Jibril menawarkan bantuan. Apa yang dikatakannya? “Aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Aku hanya membutuhkan pertolongan Allah.”
Nabi Ibrahim as. bersama istri dan anaknya yang masih bayi rela meninggalkan tanah kelahirannya menuju gurun lembah Bakkah yang panas demi menaati perintah Allah Ta’ala. Demikian pula, ketika Allah mewahyukan kepadanya untuk meninggalkan Hajar dan Ismail di tengah perjalanan dengan tanpa bekal, Nabi Ibrahim as. tetap berada dalam ketaatan. Walau secara manusiawi, apa yang diperintahkan Allah teramat berat untuk dilakukan.
Saat meninggalkan istri dan bayinya di lembah Bakkah yang gersang dan tidak berpenghuni, Nabi Ibrahim as. memohon kepada Allah Azza wa Jalla, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah menempatkan sebagian dari keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman dekat rumah-Mu (Baitullâh) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS Ibrahim, 14:37)
Saat itu pula, Nabi Ibrahim menguatkan hati istrinya, Hajar, bahwa apa yang dilakukannya adalah perintah Allah. Tenanglah hati Hajar. Dia yakin bahwa Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan kehadirannya di sana, setelah sebelumnya dilanda kerisauan akan nasib diri dan bayinya.
Akan tetapi, pertolongan Allah hadir bersama dengan ikhtiar manusia. Saat Ismail kehausan dan terus menangis, naluri keibuan Hajar segera bangkit. Dia berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari sumber air. Tidak hanya sekali, akan tetapi tujuh kali. Itulah batas maksimal kemampuannya berikhtiar. Keyakinan akan datangnya pertolongan Allah, ikhtiar yang maksimal beserta iringan doa, untuk kemudian bertawakal kepada-Nya, telah membukakan pintu-pintu pertolongan Allah. Air yang sangat dibutuhkan, akhirnya terpancar dari dalam bumi. Bahkan, air ini tetap terpancar hingga kini. Pertolongan Allah pun pada keluarga Ibrahim terus mengalir. Mereka pun menjadi keluarga yang dimuliakan Allah di dunia dan di akhirat.
Memaknai Asma’ Al-Wakîl
Ada satu pertanyaan yang layak kita ungkapkan, “Mengapa Nabi Ibrahim (dan keluarganya) begitu taat kepada Allah, sehingga sesulit apapun perintah dari-Nya dan seberat apapun kondisi yang harus dihadapi, akan beliau laksanakan dengan lapang hati?”
Salah satunya adalah keyakinan bahwa Allah adalah Al-Wakil. Menurut sementara ulama, Al-Wakil bermakna Dia sebagai pihak yang menjamin urusan dan kebutuhan makhluk. Adapun menurut ulama yang lain, Al-Wakîl adalah Dia yang semua urusan diwakilkan kepada-Nya. Dengan demikian, sebagai Al-Wakil, Allah adalah Zat yang dapat diserahi suatu urusan dan yang mengurusi hal ihwal hamba-hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Dialah yang membuat tindakan dan Dia pula yang mengadakan pilihan. Apabila suatu persoalan ditangani oleh-Nya, seorang hamba akan dicukupi dan dipelihara dari segala kebutuhannya.
Maka, renungkanlah saudaraku, sebahagian besar urusan hidup kita bukan kita sendiri yang mengendalikan. Pernahkah kita menghitung hitung betapa hanya sebagian kecil saja, bahkan sangatlah sedikit urusan hidup yang terjadi karena keterlibatan tangan kita secara langsung. Perhatikanlah menu sarapan kita setiap pagi. Makan yang ada di atas piring kita, coba perhatikan dan bayangkan urai satu demi satu. Garamnya dari laut di selatan, nasinya dari sawah di barat, sayurnya dari kebun di timur, dan ikannya dari kolam di utara. Sebelumnya mereka berada di tempat masing-masing dan saling berjauhan. Kemudian, datang kepada kita dan kita tinggal menikmatinya dengan mudah.
Hal itu terjadi karena Allah menjaga dan memelihara kita dengan penjagaan dan pemeliharaan terbaik. Sungguh, ada banyak hal yang terjadi karena kasih sayang-Nya semata. Allah yang mengatur matahari terbit dan terbenam dengan teratur sehingga kita mendapatkan energi yang tidak pernah berkekurangan dari sinarnya. Allah yang mengatur detak jantung sehingga kita tidak pernah khawatir lupa mendetakkannya. Padahal, apabila jantung berhenti berdetak beberapa menit saja, nyawa kitalah taruhannya. Maka, kita layak berdoa agar setiap sendi kehidupan kita diurus oleh Allah Azza wa Jalla dan Dia memberikan kita takdir terbaik.
Dengan demikian, siapa pun yang sudah mengenal-Nya dengan sepenuh pengenalan, seperti Nabi Ibrahim dan keluarganya, niscaya dia akan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Sebab, Dialah wakil terbaik yang tidak akan pernah mengecewakan siapa pun yang mewakilkan urusan kepada-Nya. “Dia (Allah) atas segala sesuatu menjadi wakil …” (QS Al An’?m:102)
Mewakilkan di sini bermakna menyerahkan segala sesuatu pada kebijakan-Nya. Dengan demikian, dalam menjadikan Allah sebagai Wakîl, yang mewakilkan pun tetap dituntut untuk melakukan sesuatu sesuai kesanggupannya. Allah Azza wa Jalla jangan dibiarkan “bekerja sendiri” selama masih ada upaya yang dapat dilakukan manusia. Inilah yang dinamakan tawakal.
Spirit Al-Wakil: Bertawakal kepada-Nya
Sebagai hamba Allah, kita wajib bertawakal kepada-Nya dengan sepenuh hati. Sebab, hanya dengan bertawakal kepada-Nyalah, Allah Ta’ala akan mencukupi segala kebutuhan kita dengan cara terbaik menurut ilmu-Nya. Namun tentu saja, tawakal atau penyerahan tersebut harus didahului dengan rangkaian usaha yang optimal. Bukankah di dalam Al-Quran kata tawakal selalu didahului oleh perintah bekerja secara maksimal?
Saudaraku, dalam bertawakal kepada Allah Al-Wakîl, ada tiga tahapan yang layak untuk kita jalani.
Tahap pertama, kita belajar tentang asma Allah. Dengan belajar mengenai nama-nama-Nya, kita akan semakin mengenal Allah dan semakin dekat dengan-Nya. Kita akan semakin mengerti tentang siapa Allah, Zat Pencipta kita, Zat Pemberi Rezeki kita. Mengenal adalah gerbang pertama yang akan mengantarkan kita pada derajat yakin. Itulah mengapa, dari semua ilmu yang layak untuk kita pelajari, ilmu tentang ma’rifatullah; terkhusus melalui nama-nama-Nya, menjadi ilmu yang pertama dan paling layak untuk kita pelajari.
Maka, tidak berlebihan apabila para ulama mengatakan bahwa memahami nama-nama Allah yang baik (Asmâ’ul Husna) termasuk pintu ilmu yang mulia, bahkan dia termasuk fikhul akbar (fikih yang paling agung) dan paling utama serta pertama kali masuk dalam sabda Rasulullah met “Siapa yang Allah kehendaki kebaikan atasnya, niscaya Dia (Allah Azza wa Jalla) akan memberikan kepahaman kepadanya dalam masalah agama.” (HR Muttafaqun `Alaih). Dengan mempelajari ilmu tentang asma’ dan sifat-sifat Allah, itu artinya kita tengah mempelajari fondasi agama. Semakin kuat fondasi agama seseorang, semakin tangguh pula dia menghadapi aneka goncangan, semakin jelas arah kehidupannya, semakin bahagia dan selamat pula hidupnya di dunia dan akhirat.
Tahap kedua, kita belajar menyempurnakan ikhtiar. Jangan dulu melompat pada tahap keyakinan. Ikatlah dahulu tali unta atau kuncilah dahulu kendaraan dengan benar, setelah itu barulah kita bertawakal kepada Allah ile ya Jadi, jangan sampai kita merasa tahu kepada Allah kemudian langsung yakin bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan kita. Sebagai contoh, ada seorang pemuda tidak melakukan pekerjaan apapun selain santai dan bermalas-malasan. Saat dia ditanya, “Mengapa kamu tidak bekerja?” Lantas dia menjawab, “Saya yakin Allah Maha Memberi Rezeki, pasti saya akan dapat rezeki!”
Jawaban pemuda ini sekilas tampak benar, padahal kenyataannya sangat keliru. Pemuda ini belum sampai pada tahap mengenal Allah. Dia baru sebatas tahu bahwa Allah Maha Menolong. Kalau pemuda ini mengenal Allah, dia pasti akan mengerti siapa saja dan seperti apa saja orang yang akan ditolong-Nya. Maka, penting bagi kita untuk menyempurnakan ikhtiar, menyempurnakan belajar, menyempurnakan berobat, dan lainnya. Kita jangan dulu menyerahkan segalanya kepada Allah sebelum melalui tahapan ini.
Rasulullah bersabda, “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung, pada pagi hari dia pergi dalam keadaan lapar dan pada sore hari dia pulang dalam keadaan kenyang” (HR Ahmad). Dalam hadis ini, kita melihat burung itu tidak diam. Dia terbang menjemput rezeki Allah yang belum tahu di mana rezeki tersebut berada. Hal ini memperlihatkan bahwa memaksimalkan ikhtiar adalah bagian penting dari tawakal. Jangan sampai keyakinan kita kepada Allah hanya menjadi tempat bersembunyi dari kemalasan.
Tahap ketiga, kita berusaha memantapkan tauhid di hati. Setelah kita mengenal Allah melalui asma-Nya, kemudian menyempurnakan ikhtiar sebagai bentuk ibadah kepada-Nya, tahap selanjutnya adalah memantapkan di dalam hati bahwa tiada yang kuasa menolong kita kecuali Allah. Setelah maksimal dalam ikhtiar, berusahalah untuk tidak bergantung kepada siapapun: atasan, orangtua, teman, pekerjaan, tabungan, harta kekayaan, kedudukan, atau siapapun selain Allah. Mereka semua hanyalah perantara. Tiada yang layak untuk kita bergantung selain hanya kepada-Nya.
Dengan melewati ketiga tahapan ini, kita akan mampu menjalani hidup dengan lebih ringan, tenang, senang, dan penuh kebahagiaan. Hari-hari kita akan menjadi momen yang istimewa. Bagaimana tidak, kita telah mewakilkan segala urusan dan hidup mati kita kepada Zat Yang Mahasempurna kuasa dan ilmu-Nya. Pada saat itu, tidak ada dalam pikiran kita selain: (1) meyakini bahwa Allah-lah yang mewujudkan segala sesuatu di alam raya ini; (2) menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan kehendak dan ketentuan dari Allah dan rasul-Nya; untuk kemudian (3) meyakini bahwa pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik, dan (4) selalu berusaha untuk mewujudkan apa-apa yang diinginkan sesuai aturan yang ditetapkan Allah Al-Wakîl.
Saudaraku, apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya, sebagaimana kisah di awal, menjadi teladan terbaik tentang bagaimana bertawakal kepada-Nya. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya, “Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia …” (QS Al-Mumtahanah, 60:4)
Mutiara Kisah
Auf bin Malik Al-Asyja’i, dia adalah salah seorang sahabat Rasulullah Suatu ketika, orang-orang musyrik menawan anaknya. Maka, dia pun datang kepada Nabi nitong untuk mengadu. Dia berkata, “Ya Rasulullah, musuh telah menawan anakku. Ibunya sangat bersedih. Apa yang engkau perintahkan kepadaku?”
Maka, Rasulullahpun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Aku memerintahkan kepadamu dan kepada istrimu agar memperbanyak ucapan, ‘Lâ haula wa lâ quwwata illa billah?
Maka Auf dan istrinya melakukan apa yang dinasihatkan Nabi Muhammad. Saat keduanya tengah berada di rumah, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk oleh seseorang, ternyata dia adalah anaknya. Dia datang dengan membawa seratus unta yang ditinggalkan musuh lalu dia menggiringnya.
Atas peristiwa ini, turunlah wahyu kepada Rasulullah “Barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya” (QS AthThalâq, 65:3). Demikian pendapat Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Imam Adz-Dzahabi, di dalam karya besarnya Siyar A’lam An-Nubala, mengungkapkan pula sebuah peristiwa menakjubkan yang dialami oleh Shilah bin Asyyam. Dia termasuk salah seorang tabi’in yang mendapatkan zaman Rasulullah akan tetapi tidak sempat bertemu atau melihat beliau.
Pada sebuah perjalanan pulang dari sebuah peperangan, kudanya mati, sehingga dia pun berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau menjadikan seseorang mempunyai jasa baik atasku karena aku tidak suka meminta kepada selain-Mu.”
Maka, dengan kuasa-Nya, Allah Ta’ala menghidupkan kudanya sehingga dia mengendarainya. Ketika dia tiba di rumah, Shillah bin Asyyam berkata kepada Muhammad anaknya, “Wahai anakku, ambillah pelana kuda itu karena dia adalah pinjaman (maksudnya pinjaman dari Allah)” Maka, anaknya mengambil pelana dan kuda itu pun mati kembali. Mâsya Allâh.
Ada pula kisah mengharukan dari Ahmad bin Khadrawaih. Dikisahkan, dia memiliki utang yang sangat besar, yaitu 70 ribu dirham atau 700 mitsqal. Sesaat sebelum wafat, para pengutangnya datang sedangkan dia tidak memiliki apapun untuk membayarnya. Maka, dia pun berdoa, “Ya Rabb, ruhku sedah tergadaikan di tangan mereka. Jika Engkau ingin mencabutnya, berikanlah hak-hak mereka!” Tidak lama kemudian, tibatiba seseorang mengetuk pintu rumah dan berkata, “Keluarlah kalian semua, wahai para pengutang!” Orang yang tidak dikenal ini kemudian melunasi semua utang Ahmad bin Khadrawaih. Setelah itu, Ahmad pun wafat dengan tenang. Semoga Allah merahmatinya. *
Tip Meneladani Al-Wakil
- Berlatihlah untuk hanya bergantung kepada Allah Ta’ala. Salah satunya dengan mengurangi sedikit demi sedikit ketergantungan kita kepada orangtua, pekerjaan, tabungan, dan apapun selain Allah.
- Tanamkan keyakinan bahwa tidak ada kuasa kecuali atas izin-Nya, tiada solusi kecuali atas bantuan-Nya, tiada pertolongan kecuali atas kuasa-Nya. Adapun makhluk hanyalah perantaraan yang Allah gerakkan kepada kita.
- Mendawamkan zikir dan doa yang berisi penyerahan total kepadaNya, semisal yang terdapat dalam surah At-Taubah, 9:129.
- Berlindunglah kepada Allah Ta’ala dari bengkoknya niat dan salahnya ikhtiar sehingga kita tidak bergantung selain kepada-Nya, tidak akan kembali kecuali kepada-Nya, dan tidak akan berserah diri melainkan hanya kepada-Nya.
- Perbanyak membaca dan menyimak kisah-kisah para nabi, sabahat, waliyullah, dan orang-orang saleh. Pahami dan teladani bagaimana mantapnya keyakinan dan ketawakalan mereka kepada Rabbnya.
Mutiara Doa
Hasbiyallâhu lâ ilâha illâ huwa, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbul-‘arsyil’azhîm.
“Cukuplah Allah bagiku. Tiada tuhan yang patut disembah selain Dia. Kepada-Nya aku berserah diri dan Dialah Tuhan Pemilik ‘Arasy yang Mahaagung.” (QS At-Taubah, 9:129)
Keterangan:
“Siapa yang setiap hari pada pagi dan petang hari mengucapkan, Hasbiyallahu lâ ilâha illâ huwa, ‘alaihi tawakkaltu wa huwa rabbularsyil-azhim, sebanyak tujuh kali, niscaya Allah akan mencukupinya dari segala yang membuatnya resah dari urusan dunia dan akhirat.” (HR Ibnu Sunni, Al-Adzkar An-Nawawi)
Percikan Hikmah
“… Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS Al-Mâ’idah, 5:23). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjadikan tawakal sebagai syarat keimanan. Maka, indikasi lenyapnya keimanan adalah hilangnya tawakal. Dia pun berfirman, “Berkata Musa, ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, bertawakallah kepada-Nya semata, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri” (QS Yunus, 10:84)
Maka, benarnya keislaman seorang hamba adalah dengan adanya tawakal. Semakin kuat tawakalnya, semakin kuat pula imannya. Dan, semakin lemah imannya, semakin lemah pula tawakalnya. Apabila tawakalnya lemah, sudah pasti keimanannya pun lemah.
Bagaimanakah ciri orang yang tawakal? “Dia bagaikan anak kecil yang tidak mengetahui siapapun yang dapat melindunginya selain sang ibu. Begitu pula orang yang bertawakal. Dia tidak mengetahui sesuatu yang dapat melindunginya selain Rabb-nya” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Sâlikîn) Yayasan Bina Amal Semarang