AL-WALÎY Allah Yang Maha Melindungi
“Jika seekor binatang yang tengah digiring ke tempat penjagalan, melepaskan diri lalu berlindung kepadaku, sehingga Allah berkenan memberinya umur panjang. Maka, apalagi dengan manusia yang berlindung kepada Allah dengan sepenuh hati dan jiwa, yang dengan kesungguhan dan ketulusan mencari keridhaan-Nya. Tentu saja Allah akan melindungi orang itu, menyelamatkannya dari siksaan api neraka, serta memasukkannya ke dalam surga untuk tinggal di sana selamanya.”
Al-Waliy termasuk salah satu nama Allah yang terangkum dalam Asma’ul Husna. Al-Waliy terambil dari kata wau, lam dan ya yang artinya “dekat”, lalu berkembang menjadi “pendukung”, “pembela”, “pelindung”, dan semua yang bermakna kedekatan. Al-Walîy bermakna pula An-Nashir (Penolong), atau yang mengatur dan mengurusi semua urusan, atau yang mengurusi sebmua kebutuhan orang-orang yang dekat dengan-Nya. Ada pula ulama yang menyebutkan bahwa Al-Walîy berasal dari kata al-wilayah yang berarti melaksanakan sesuatu menurut ketetapan ilmu dan amal. Dengan demikian, orang berilmu adalah wali dari ilmunya. Wali anak kecil adalah yang mewakili perbuatan baik bagi si anak.
Makna lain dari Al-Walîy adalah mencintai. Dengan adanya rasa cinta, akan lahir pembelaan kepada objek yang dicintai dengan pembelaan
yang sebenar-benarnya. Maka, Allah Al-Waliy adalah Dia yang mencintai makhluk yang diciptakan-Nya, khususnya mereka yang beriman, yang ikhlas, dan bersungguh-sungguh dalam taat kepada-Nya. Dengan demikian, Allah itu walinya orang-orang beriman. Ciri kasih sayang Allah yang terbesar adalah dibimbing-Nya manusia dari kegelapan menuju cahaya. Terungkap dalam Al-Quran, “Allah pelindung orang beriman yang mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya.” (QS Al-Baqarah, 2:257)
Maka, apabila hidup kita ingin aman, jadilah orang yang disayangi Allah Ta’ala. Sesungguhnya, Allah ta’ala menciptakan segala yang berbahaya atau sesuatu yang mengancam, tujuannya agar kita bisa dekat dengan-Nya. Intinya, Allah merancang setiap kejadian agar kita senantiasa berlindung kepada-Nya. Kegigihan berlindung itulah yang akan menjadikan kita bisa dekat dengan Allah.
Spirit Al-Walîy: Mendawamkan Zikrullah
Hidup manusia adalah sebuah pergulatan, medan perang. Aturan yang berlaku di sini adalah menang atau kalah, menjadi pemenang atau pecundang. Hadiah yang disediakan pun sangat fantastis. Surga yang abadi bagi pemenang, dan neraka yang kekal bagi pecundang. Berperang dengan siapa? Tentu berperang dengan setan. Dialah musuh terbesar dan paling nyata bagi manusia (QS Al-Baqarah, 2:208).
Berperang melawan setan, tidak sama dengan berperang melawan manusia. Setan itu sangat canggih tipu dayanya, sangat profesional menjalankan pekerjaannya, sangat banyak jumlahnya, dan tidak tampak wujudnya. Dia memanfaatkan hadirnya nafsu di dalam diri untuk menjerat dan menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Jadi, setan tidak akan mengakali kita kecuali lewat hawa nafsu.
Adapun nafsu itu sendiri, dia mempunyai tiga macam tabiat.
Pertama, hawa nafsu itu senang akan penghargaan, pujian, kemuliaan, kehormatan, dan harga diri. Setan senantiasa akan memperdaya diri kita melalui harga diri dan kehormatan. Maka, demi mempertahankan kehormatan dan harga diri biasanya kita akan dibisiki setan untuk selalu perpenampilan hebat, berlebihan, atau over acting agar bisa mendapatkan pujian dan penghormatan orang lain.
Kedua, setan selalu membisiki kita agar mengumbar nikmat. Semua indra kita ini memang sangat senang akan aneka nikmat, seperti nikmat syahwat, makanan, keindahan, perkataan, dan lain-lain. Nikmat makanan membuat kita semakin banyak berkeinginan untuk memakan makanan yang enak-enak, tidak peduli halal atau haram. Nikmat pendengaran membuat kita cenderung untuk senang mendengarkan hal-hal yang mubazir dan melenakan, atau sesuatu yang diharamkan, semisal ghibah dan gosip. Nikmat penglihatan membuat kita cenderung untuk melihat sesuatu yang diharamkan dan yang memuaskan syahwat belaka, semisal memandangi lawan jenis yang bukan mahramnya. Adapun nikmat mulut membuat kita cenderung banyak bicara. Jika sudah berbicara, sungguh terasa nikmat, sehingga tak ingin berhenti. Sahabat, semua yang cenderung nikmat itu akan selalu terus menerus dikejar setan, sehingga dapat melenakan diri.
Ketiga, hawa nafsu paling malas kepada taat. Setan pasti akan selalu memperdaya agar malas kepada taat. Shalat malas, pergi ke masjid malas, apalagi Tahajud, sangat enggan untuk bangun tidur. Baca Al-Quran malas. Kalau pun bersedekah, setan akan membisi kita agar menjadi riya, dan lainnya.
Oleh karena itu, tanpa berlindung kepada Allah, manusia akan menjadi bulan-bulanan setan. Inilah yang Allah perintahkan, ”Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS Al A’râf, 7:200)
Rasulullah memberikan resep jitu bagaimana melindungi diri dari jeratan setan. Dari Harits Al-Asyari, beliau bersabda, “Aku perintahkan kepada kalian agar selalu berzikir kepada Allah. Sesungguhnya, perumpamaan orang yang berzikir itu seperti seorang yang dicari-cari oleh musuhnya. Mereka menyebar mencari orang tersebut sehingga dia sampai pada suatu benteng yang sangat kokoh dan dia dapat melindungi dirinya di dalam benteng tersebut dari kejaran musuh. Begitu juga setan. Seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari setan, kecuali dengan berzikir kepada Allah.”
Salah satu adalah dengan ucapan ta’awwudz, yaitu a’ûdzu billâhi minasy syaithânir rajîm. Aku berlindung kepada Allah dari godaan, jeratan, dan tipudaya setan yang terkutuk. Kalimat ta’awwudz ini menunjukkan pengakuan akan kelemahan diri di hadapan Allah Ta’ala. Setidaknya ada tiga rukun ta’awwudz. Pertama, pengakuan akan kelemahan diri kita. Karena diri kita lemah, kita pun berlindung kepada Allah Ta’ala. Seakanakan kita mengucapkan, “Wahai Tuhanku, aku mengakui segala kelemahan diriku, dan karenanya aku datang berlindung kepada kekuasaan-Mu.” Kedua, pengakuan bahwa tidak ada yang bisa memberi sebenar-benar perlindungan selain Allah Ta’ala. Ketiga, pembebasan diri kita dari seluruh perangkap dan pengaruh setan. Jadi, ta’awwudz harus dimulai dengan pengakuan kelemahan diri, pengenalan kekuasaan Allah, dan pembebasan diri dari setan.
Seorang ulama memberi perumpamaan bahwa Allah Ta’ala memiliki taman yang Dia persiapkan khusus untuk orang Mukmin. Begitu pula dengan orang Mukmin, dia mempunyai taman yang khusus disiapkan untuk Allah Ta’ala. Sebenarnya, kita saling bertukar taman dengan Tuhan kita. Allah Yang Mahaagung ingin memberikan taman surgawi kepada kita, kalau kita rela memberikan taman yang kita “miliki” kepada-Nya. Lalu, taman seperti apa yang harus kita berikan kepada Allah? Taman itu adalah hati kita. Jadikanlah hati kita sebagai taman persinggahan Allah, dan jangan masukkan apapun ke taman itu selain Allah.
Spirit Al-Walîy: Cukuplah Allah sebagai Penolong
“Hasbunallâh wa ni’mal wakîl … (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar).” (QS Ali Imrân, 3:173). Inilah doa yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim as. sesaat sebelum beliau dihempaskan ke dalam api. Seketika itu pula, atas izin Allah Ta’ala, kobaran api itu menjadi dingin bagi Ibrahim. Allah ile berfirman, “Kami berfirman, ‘Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (QS Al-Anbiyâ, 21:69)
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk senantiasa meyakini sepenuh hati bahwa hanya Allah-lah tempat kita berlindung dan memohon pertolongan. Sebab, Dialah sebaik-baik tempat berlindung. Kisah ini juga mengajarkan bahwa hendaklah kita berpegang teguh hanya kepada-Nya secara total. Kita berbuat kebaikan dengan niat lurus sebagai ibadah kepada-Nya. Kita pun meyakini bahwa hanya kepada-Nya kita memasrahkan hasil dari segala ikhtiar yang kita lakukan.
Saudaraku, seberat apapun peristiwa yang menimpa kita, apabila kita meyakini bahwa Allah adalah Al-Walîy; niscaya kita akan bisa menghadapinya dengan baik. Seandainya seluruh jin dan manusia bersekutu untuk mencelakai kita, apabila Allah tidak menghendaki dan memberi perlindungan, niscaya tidak akan terjadi apa-apa terhadap diri kita. Ingatlah selalu akan janji-Nya, “Siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan, memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan, siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS Ath-Thalaq, 65:2-3)
Maka, janganlah pesimis saat ditimpa peristiwa yang menyulitkan atau menyakitkan. Sesungguhnya, rasa bingung, takut, menderita, itu adalah karena ketidaktahuan kita tentang cara Allah memberikan jalan keluar bagi kita. Ketika kita ditimpa suatu kepelikan masalah keuangan, sesungguhnya Dia akan mendatangkan rezeki-Nya kepada kita dari jalan dan cara yang tidak kita sangka sebelumnya. Hal ini tentu saja akan terjadi apabila kita menjadi hamba yang bertakwa kepada-Nya, bersungguh-sungguh dalam berusaha dan memasrahkan hasil segala usaha kita hanya kepada-Nya.
Hidup akan selalu dipenuhi suka dan duka, sedih dan gembira; begitu seterusnya silih berganti. Apa yang menjadi masalah bukanlah pergantian siklus tersebut, melainkan cara kita menghadapi atau menyikapinya. Jika kita bisa menyikapinya dengan baik, kehidupan ini akan menjadi kesempatan bagi kita untuk terus memperbaiki diri, menambah wawasan, menambah ilmu, menguatkan keimanan, dan menyongsong kehidupan abadi di akhirat yang dipenuhi kebahagiaan. Dengan kata lain, segala persoalan hidup yang kita temui adalah kesempatan emas yang diberikan Allah Ta’ala untuk mengangkat kemuliaan, meninggikan derajat, dan membahagiakan kita.
Mutiara Kisah
Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki berkisah tentang pengalaman unik yang dialami Jalaluddin Rumi, seorang sufi terkenal penulis kitab Matsnawi. Alkisah, seorang tukang jagal membeli seekor sapi di pasar, lalu dia membawanya ke tempat penyembelihan. Di tengah jalan tiba-tiba sapi tersebut lepas. Tukang jagal, dengan bantuan orang-orang yang ada di sana segera mengejar serta meneriakinya. Sapi itu marah besar, dia mengamuk dan makin cepat larinya sehingga tidak seorang pun bisa mendekat.
Di persimpangan jalan, hewan ini berpapasan dengan Jalaluddin Rumi, sedangkan di belakangnya orang-orang terus berlari mengejar. Aneh bin ajaib, saat melihat Jalaluddin, mendadak sapi itu menjadi tenang dan jinak, lalu datang menghampiri Jalaluddin. Kedua makhluk beda jenisnya ini pun kemudian saling berhadapan, seakan mereka sedang menjalin komunikasi dari hati ke hati. Sapi ini seakan-akan meminta perlindungan Jalaluddin agar dibiarkan hidup. Jalaluddin pun tampak paham akan apa yang diinginkan binatang tersebut, dia menepuk pelan serta mengusap-usap tengkuknya.
Tidak lama kemudian, tukang jagal beserta orang-orangnya datang menghampiri. Jalaluddin segera memohon agar tukang jagal ini mengurungkan niatnya, serta membiarkan sapi itu tetap hidup. Dia pun setuju dan merelakan sapinya pergi.
Di hadapan orang-orang, Jalaluddin Rumi berkata, “Jika seekor binatang yang tengah digiring ke tempat penjagalan, melepaskan diri lalu berlindung kepadaku, sehingga Allah berkenan memberinya umur panjang. Maka, apalagi dengan manusia yang berlindung kepada Allah dengan sepenuh hati dan jiwa, yang dengan kesungguhan dan ketulusan mencari keridhaan-Nya. Tentu saja Allah akan melindungi orang itu, menyelamatkannya dari siksaan api neraka, serta memasukkannya ke dalam surga untuk tinggal di sana selamanya.”
Kisah ini menyiratkan sebuah pesan bahwa kedekatan, pertolongan, dan perlindungan Allah Ta’ala bisa kita dapatkan dengan belajar melindungi dan menolong makhluk Allah yang lain. Tentu tidak identik dengan perilaku fisik. Kita bisa menolong mereka dengan doa atau perhatian yang tulus. Mudah-mudahan, dengan melakukan hal tersebut, dari jiwa kita keluar perilaku yang santun, kasih sayang, menghargai, dan mau menolong.
Maka, Al-Walîy adalah sebuah sikap yang harus tertanam dalam jiwa kita. Untuk menanamkannya, kita dituntut untuk terus meningkatkan kapasitas diri agar kita bisa menjadi jalan perlindungan dan kebaikan bagi orang lain. Lihatlah kedudukan seorang ibu bagi anak-anaknya. Dia melambangkan perlindungan yang tidak bertepi bagi anak-anaknya, sehingga dia pun memiliki kedudukan istimewa di hadapan Allah Ta’ala.
Jika kita mampu mengaplikasikan semua itu, kita akan merasakan kerinduan untuk bisa memberikan pertolongan dan perlindungan kepada siapapun. Oleh karena itu, mendistribusikan kebaikan bagi banyak orang seharusnya menjadi obsesi kita di mana pun berada. Sungguh, sebaikbaiknya manusia adalah yang paling memberikan manfaat bagi orang lain. Layaknya cahaya matahari yang menerangi tanpa minta balas budi. Itulah kunci pembuka kecintaan Allah. *
Tips Meneladani Al-Waliy
- Siapa yang meyakini bahwa Allah adalah Al-Walîy, dia tidak akan menjadikan selain Allah sebagai pelindung, penolong, dan tempat bergantung.
- Biasakanlah untuk memohon perlindungan Allah Ta’ala dari segala keburukan.
- Dawamkan doa atau zikir yang berisi penyerahan diri kepada Allah.
Mutiara Doa
Allâhumma aslamtu nafsi ilaika wa fawwadhtu amri ilaika wa wajjahtu wajhi ilaika, wa alja’ tu zhahri ilaika, raghbatan wa rahbatan ilaika, lâ malja’a wa lê manja minka illâ ilaika, âmanntu bi kitâbika alladzi annzalta, wa bi nabiyyikal-ladzi arsalta.
“Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu, menyerahkan segala urusanku kepada-Mu, menghadapkan wajahku kepada-Mu, memohon perlindungan atas punggungku kepada-Mu, sebagai harapan dan takut kepada-Mu. Tiada tempat berlindung dari-Mu selain kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada nabi-Mu yang Engkau utus.”
Keterangan:
Dari Barra’ bin Azib ra. bahwa Rasulullah bersabda kepadanya, “Jika kamu hendak menuju tempat tidurmu, berwudhulah seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah menghadap ke sebelah kananmu, lalu bacalah: Allâhumma aslamtu nafsi ilaika wa fawwadhtu amri ilaika wa wajjahtu wajhi ilaika … (sampai selesai). ‘Jika malam itu kamu meninggal dunia, niscaya kamu meninggal dalam keadaan di atas fitrah. Jadikanlah bacaan tersebut sebagai akhir dari apa yang kamu ucapkan.” (HR Al-Bukhari & Muslim)
Percikan Hikmah
“Ada sepuluh perkara yang sia-sia sehingga kita layak berlindung kepada Allah Azza wa Jalla dari melakukannya, yaitu: (1) ilmu yang tidak diamalkan, (2) amal yang tidak ikhlas, (3) harta yang tidak disedekahkan, (4) hati yang kosong dari mengingat Allah, (5) tubuh yang malas, (6) cinta yang bertepuk sebelah tangan, (7) waktu yang tersia-siakan, (8) memikirkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, (9) berkhidmat untuk sesuatu yang tidak mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, dan (10) takut kepada sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat dan mudharat.” (Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, Twit Ulama)