al-wasi'

Al Wasi’ – Yayasan Bina Amal Semarang

AL-WASI Allah Yang Mahaluas

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya, Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah, 2:115)

Al-Wâsi’berarti Allah yang Mahaluas. Al-Wâsi’tersusun dari huruf wau, syin, dan‘ain yang menjadi lawan kata dari sempit dan sulit. Dengan kata lain, kata yang tersusun atau huruf-huruf ini mengandung makna luas, kaya, lapang, dan tidak bertepi.

Kata Al-Wâsi’sendiri digunakan Al-Quran sebanyak 9 kali. Semuanya nisbatkan kepada Allah Azza wa Jalla. Hal ini memberi gambaran bahwa hanya Allah sajalah yang berhak menyandang sifat ini. Bagaimana tidak, Allah Mahaluas dan keluasan-Nya itu tidak terbatas; meliputi segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Allah Mahaluas keagungan-Nya sehingga Dia Mahakuasa untuk memuliakan siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa berkurang sedikit pun kemuliaan-Nya. Allah Mahaluas rezeki-Nya sehingga bisa memberikan karunia kepada semua makhluk-Nya tanpa mengurangi sedikit pun kekayaan-Nya. Allah pun Mahaluas ilmu-Nya sehingga Dia Maha Mengetahui segala sesuatu; yang tampak maupun yang tersembunyi.

Mahaluas-Nya Allah tentu saja berbeda dengan luasnya manusia, Dia laitsa kamislihî syai’un; tidak bisa diserupai makhluk-Nya, Jadi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini ada dalam genggaman Allah. Misalnya, Allah Mahaluas ilmu-Nya. Dia mengetahui semua yang ada di alam ini dengan sangat detail, termasuk mengetahui apa dan bagaimana diri kita ini. Dia menciptakan kita dengan struktur rambut yang ukurannya nyaris sama, tapi alis tidak, kumis pun tidak sama dengan rambut, padahal semua itu ada di kepala. Kemudian, di mana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apapun, Allah Ta’ala bisa mendengar suara dari segenap makhluk-Nya. Inilah salah satu makna dari firman-Nya dalam Al-Quran, “Ilmu Tuhanku meliputi segala sesuatu. Tidakkah kamu dapat mengambil pelajaran?” (QS Al-An’âm, 6:80)

Ayat lain menyebutkan, “Mereka yang memikul ‘Arasy dan mereka yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhan mereka dan mereka beriman kepada-Nya dan memohonkan ampunan bagi orang-orang yang beriman (dengan berkata), ‘Ya Tuhan kami, karunia dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan dari-Mu orang-orang yang kembali (kepada-Mu) dan mengikuti jalan-Mu, dan peliharalah mereka dari siksa api neraka”. (QS Al-Mu’min, 40:7)

Apabila kedua ayat ini menggambarkan keluasan ilmu-Nya, ayat berikut menggambarkan tentang keluasan rahmat-Nya. “Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami” (QS Al-A’râf, 7:156)

Dalam An-Nihayah, Ibnu Atsir memaparkan tentang makna dari sifat Allah Al-Wâsi’, antara lain: (1) bisa membuat kaya setiap orang miskin, (2) rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, (3) otoritasnya tidak pernah berakhir, (4) rahmat-Nya tidak terbatas, (5) kerajaan-Nya abadi, (6) tidak pernah menghentikan pemberian, (7) tidak pernah kebingungan karena mengetahui sesuatu dari mengetahui yang lain, (8) pengetahuannya meliputi segala sesuatu, (9) kekuasaan-Nya mencakup segala sesuatu, (10) rahmat-Nya amat luas, (11) Dia mandiri, (12) pengetahuan, kekuasaan, dan rahmat-Nya adalah paling besar, (13) Zat yang sifat-sifat-Nya tidak terbatas, (14) pengetahuan, rahmat, dan ampunan-Nya luas, dan (15) wilayah-Nya sangat besar dan tidak terbatas.

Spirit Al-Wâsi: Lapangkan Hati dengan Meluaskan Ilmu

Apabila hendak meneladani asma’ Allah Al-Wasi’, kita dituntut untuk meluaskan wawasan, ilmu, dan pengetahuan dengan terus belajar, menyimak, dan membaca. Dengan semakin banyak ilmu, kita akan semakin bijak, semakin mudah menghadapi hidup, semakin memahami ke mana kita akan mengarahkan hidup. Semakin luas ilmu, pengalaman, dan wawasan, masalah sebesar apapun bisa disikapi dengan baik.

Lain halnya dengan orang yang sempit ilmu dan terbatas wawasannya, perkara kecil saja bisa menjadi besar. Apalagi kalau disertai sempit hati, kita akan mudah kecewa, tersinggung, marah, dan dendam sehingga rawan mengalami konflik dan gesekan. Tersenggol teman, kita marah. Disalip di jalanan, kita murka. Disakiti orang, kita dendam dan tidak mau memaafkan. Semuanya jadi masalah sehingga hidup pun jauh dari kata damai, tenang, tenteram, dan bahagia. Yang adalah hanyalah duka, nestapa, dan masalah yang semakin pelik.

Maka, semakin lapang hati semakin terasa ringan masalah yang menerpa. Namun sebaliknya, semakin sempit hati, semakin berat masalah yang dihadapi. Layaknya di lapangan sepakbola, kita melihat tikus atau kecoa, itu bukan masalah berarti. Lain halnya apabila kita berjumpa dengan tikus atau kecoa di kamar mandi, kita akan stres dibuatnya.

“Orang yang meneladani Allah Al-Wâsi’ dia akan lapang hatinya, mudah memaafkan dan jauh dari sikap pendendam. Dia mampu mempraktikkan rumus 2B2L dalam berinteraksi dengan sesamanya. B pertama adalah bijak terhadap kekurangan dan kesalahan, B kedua adalah berani mengakui kelebihan dan jasa orang lain. 2 L adalah lupakan jasa dan kebaikan diri, kemudian lihat kekurangan dan kesalahan diri.”

Spirit Al-Wäsi’: Jauhi Sempit Hati

Setiap orang akan menalkabkan apa yang dimilikinya. Kalau kita memiliki keburukan, apa yang kita nalkahkan adalah keburukan. Sebaliknya, kalau yang kita miliki itu kemuliaan, apa yang kita nafkahkan juga kata kata mulia.

Maka, alangkah menderitanya orang-orang yang sempit hati. Hariharinya menjadi tidak nyaman, pikirannya menjadi keruh, dan penuh rencana buruk. Waktu demi waktu yang dilaluinya sering kali diisi dengan kondisi hati yang mendidih, bergolak, penuh ketidaksukaan, terkadang kebencian, bahkan dendam kesumat.

Dia pun akan mudah tersinggung. Kemudian, kalau sudah tersinggung seakan-akan tidak ada kata maaf. Hatinya baru terpuaskan dengan melihat orang yang menyinggungnya menderita, sengsara, atau tidak berdaya. Tidak heran apabila menjelang tidur, otaknya berpikir keras menyusun rencana bagaimana memuntahkan kebencian dan rasa dendam yang ada di lubuk hatinya agar habis tandas terpuaskan pada orang yang dibencinya.

Ingatlah bahwa hidup di dunia ini hanya satu kali. Hanya sebentar, belum tentu panjang umur. Amat rugi kalau kita tidak bisa menjaga suasana hati. Orang yang meneladani asma’ Al-Wasi’ akan sangat paham bahwa kekayaan termahal dalam hidup ini adalah suasana hati. Walau rumah kita sempit, tapi hati kita lapang, akan terasa lapang pula hidup kita. Walau tubuh kita sakit, tapi kalau hati kita sehat, hidup akan lebih tenang. Walau badan kita lemas, tapi kalau hati tegar, jiwa kita insya Allah akan terasa lebih mantap.

Lalu, bagaimana caranya agar kita berhati lapang dan mampu mengatasi aneka perasaan sempit itu?

Pertama, kita harus mengondisikan hati agar selalu siap untuk dikecewakan. Hidup ini tidak akan selamanya sesuai dengan keinginan. Artinya, kita harus siap dengan situasi dan kondisi apapun. Kita jangan hanya siap dengan kondisi enak saja. Kita harus siap dengan kondisi yang paling pahit dan sulit sekalipun. Benarlah apabila pepatah mengatakan, “Sedia payung sebelum hujan”. Artinya, hujan atau tidak hujan kita harus selalu siap.

Kedua, kalau ada yang mengecewakan, kita jangan terlalu memikirkannya. Mengapa? Kita akan rugi oleh pikiran kita sendiri. Maka, lupakan saja karena yang memberi dan membagikan rezeki hanyalah Allah semata; juga yang mengangkat derajat dan menghinakan manusia juga hanya Allah. Apa perlunya kita pusing dengan omongan orang? Apalagi kalau kita tidak salah dan berada di jalan yang benar. Biar pun orang tersebut kelelahan menghina kita, sungguh tidak akan berkurang sedikit pun pemberian Allah kepada kita. Kita tidak akan hina dengan cemoohan orang. Kita hanya akan hina dengan perilaku kita sendiri.

Sungguh seseorang akan menafkahkan apa-apa yang dimilikinya. Suatu ketika seorang saleh bernama Ahnaf bin Qais dimaki-maki seseorang menjelang masuk ke kampungnya dengan kata-kata, “Hai kamu bodoh, gila, kurang ajar”. Namun, Ahnaf bin Qais malah menjawab, “Sudahkah? Apakah masih ada hal lain yang akan disampaikan? Sebentar lagi saya masuk ke kampung. Kalau nanti didengar orang-orang sekampung, mungkin nanti mereka akan mengeroyokmu. Ayo, kalau masih ada yang disampikan, sampaikanlah sekarang!”

Saudaraku percayalah, semakin mudah kita tersinggung, apalagi hanya karena hal-hal sepele, hidup kita akan semakin sengsara. Apakah kita akan memilih hidup sengsara? Tentu tidak bukan? Justru kita harus menjadikan orang-orang yang menyakiti kita sebagai ladang amal. Bagaimana bisa begitu? Kalau kita tidak ada yang menghina atau menyakiti, kapan kita mau memaafkan? Hal yang pasti, semakin kita berjiwa pemaaf, hati kita akan semakin lapang; semakin bisa memahami orang lain; dan hidup kita akan semakin aman dan tenteram.

Spirit Al-Wasi’: Mendawamkan Doa Nabi Musa as.

Lapangnya hati akan melahirkan kebaikan dalam pembicaraan. Maka, siapa yang ingin ucapannya dimudahkan oleh Allah Ta’ala sehingga hilang kelu, kemudian bisa menjadi jalan perbaikan, memiliki daya ubah yang menggugah dan penuh makna, amalkanlah doa Nabi Musa as.

Doa tersebut diabadikan Allah Ta’ala dalam Al-Quran, “Rabbi syrahlî shadrî wa yassirlî amrî wahlul ‘uqdatan mil-lisâni yafqah? qauli”. Artinya, “Duhai Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lisanku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS Thâhâ, 20:25-28)

Doa ini dipanjatkan oleh Nabi Musa as, manakala Allah Ta’ala memerintahkannya untuk mendatangi Fir’aun dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Dia berfirman, “Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (QS Thâhâ, 20:24)

Para ahli tafsir menerangkan bahwa Nabi Musa as. adalah utusan Allah yang memiliki kekurangan sebagaimana manusia pada umumnya. Kekurangan Nabi Musa as. adalah kekakuan lisannya manakala berbicara. Maka dari itu, agar bisa memenuhi perintah Allah untuk berdakwah kepada Fir’aun, Nabi Musa as. memanjatkan doa tersebut kepada Allah ile

Saudaraku, kita bisa memperhatikan adanya urutan-urutan dalam doa ini. Setelah kita perhatikan, kita bisa melihat berarti orang yang bisa dimengerti ucapannya, bisa dimudahkan urusannya, adalah orang yang paling lapang hatinya. Maka, kita harus meminta kepada Allah Al-Wasi’ agar dilapangkan hati kita. Sesungguhnya, orang yang berhati lapang, dia akan lebih mudah menghadapi persoalan hidupnya. Orang yang berhati lapang pun, setiap ucapannya tidak diselimuti dengan hawa nafsu dan emosi. Setiap perkataan yang lahir dari lisannya akan menjadi indah, santun, mengandung kebenaran dan kebaikan, penuh manfaat, berkah, menggugah dan berdaya ubah.

Spirit Al-Wâsi’: Cintailah Dunia Sekadarnya Saja

Apa yang dimaksud dengan dunia? Allah diterima berfirman, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS Al-Hadîd, 57:20)

Dunia adalah segala sesuatu yang membuat kita lalai kepada Allah. Misalnya, shalat, shaum atau sedekah tetap dikatakan urusan dunia jika niatnya ingin dipuji makhluk sehingga hati menjadi lalai terhadap Allah. Sebaliknya, orang yang sibuk siang malam mencari uang untuk menafkahi keluarga, membantu orangtua, atau untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan pribadi, dia tidak dikatakan lalai terhadap Allah, walau aktivitasnya seolah bersifat duniawi.

Bagaimana ciri orang yang cinta dunia? Jika seseorang mencintai sesuatu, dia akan diperbudak oleh apa yang dicintainya. Jika orang sudah cinta dunia, dia akan didatang oleh berbagai penyakit yang menyerang hati, mulai dari sombong, dengki, serakah atau capek memikirkan yang tidak ada. Semakin cinta pada dunia, orang akan makin serakah, bahkan bisa berbuat keji untuk mendapatkan dunia yang diinginkannya. Pikirannya selalu dunia, pontang-panting siang malam mengejar dunia untuk kepentingan dirinya.

Orang yang cinta dunia pun akan sangat takut kehilangan. Seperti orang yang bersandar ke kursi, dia akan takut sandarannya diambil. Orang yang bersandar kepada pangkat atau kedudukan, dia akan takut pangkat atau kedudukannya diambil. Itulah mengapa, di mana pun dan kapan pun, seorang pecinta dunia itu tidak akan pernah bahagia.

Rasulullah yang mulia, walau dunia lekat dan mudah baginya, bagi beliau semua itu tidak pernah mencuri hatinya. Misalnya, saat pakaian dan kuda terbaiknya ada yang meminta, beliau memberikannya dengan ringan. Beliau juga pernah menyedekahkan kambing satu lembah. Inilah yang membuat beliau tak pernah berpikir untuk berbuat aniaya.

Bagaimana tidak, beliau sangat yakin bahwa semua yang ada di langit dan di bumi titipan Allah semata. Manusia tidak mempunyai apaapa. Hidup di dunia hanya mampir sebentar saja. Terlahir sebagai bayi, membesar sebentar, menua, dan akhirnya mati. Kemudian terlahir manusia berikutnya, dengan siklus yang kurang lebih sama, begitu seterusnya.

Bagi orang-orang yang telah sampai pada keyakinan bahwa semuanya titipan Allah dan total milik-Nya, dia tidak akan pernah sombong, minder, iri ataupun dengki, bahkan akan selalu siap titipannya diambil oleh pemiliknya karena segala sesuatu dalam kehidupan dunia ini tak ada artinya. Harta, gelar, pangkat, jabatan, dan popularitas tidak ada artinya apabila tidak digunakan di jalan Allah. Tiada yang berarti dalam hidup ini selain amal-amal kita. Ada atau tiadanya dunia ini jangan sampai meracuni hati kita. Adanya jangan sombong, sedikitnya tak usah minder.

Oleh karena itu, siapapun yang berusaha meneladani asma Allah AlWâsi’, dia tidak akan pernah sampai pada peneladanan yang sempurna, sebagaimana Rasulullah melakukannya, apabila dunia masih menjadi orientasi utama dan sumber kecintaannya. Maka, belajarlah untuk mengubah sudut pandang dalam hidup. Kita jangan memandang kekayaan harta itu di atas segalanya. Harta itu memang rezeki dari Allah Ta’ala. Namun, itu adalah tingkatan yang paling rendah. Kekayaan ilmu, kesehatan, ketenangan dan kelapangan dada yang bersumber dari kekayaan iman lebih tinggi derajatnya daripada kekayaan harta. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Seorang yang bertakwa boleh-boleh saja kaya, akan tetapi baginya kesehatan lebih baik dari kekayaan (harta benda); dan (ketahuilah bahwa) ketenangan jiwa (sebagai buah dari keimanan kepada Allah Ta’ala) lebih baik dari kenikmatan apapun.” (HR Ahmad, Ibnu Majah)

Mutiara Kisah

Rasulullah bin pernah berkisah tentang seorang laki-laki yang tidak pernah sekalipun berbuat baik. Namun demikian, dia biasa memberi pinjaman hutang kepada orang lain. Suatu hari dia berkata kepada pesuruhnya, “Ambillah berapa pun yang disetorkan, jangan mempersulit orang dan sering-seringlah memberi maaf, mudah-mudahan Allah berkenan mengampuni kita.”

Setelah laki-laki itu meninggal dunia, Allah Ta’ala bertanya, “Apakah kamu pernah berbuat baik”

Laki-laki itu dengan jujur menjawab, “Tidak, hanya saja aku mempunyai seorang pembantu dan aku biasa memberikan pinjaman kepada orang lain, ketika aku meminta pembantuku untuk menagih, selalu saja aku berpesan kepadanya, “Ambillah berapapun yang dia berikan, jangan mempersulit orang dan sering-seringlah memberi maaf, mudahmudahan Allah mengampuni kita?”

Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Cukup, Aku telah mengampunimu” (HR An-Nasa’i, Ahmad, lafaz yang mirip terdapat pula dalam HR Al Al Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Hakim, dan Ibnu Abi Syaibah)

Cerita yang kami kutip dari 61 Kisah Pengantar Tidur, karya Muhammad bin Hamid Abdul Wahab (Pustaka Darul Haq, Jakarta) ini menggambarkan betapa dahsyatnya efek berlapang dada, memberi maaf, dan berlaku baik saat mengadakan transaksi, semisal jual beli dan urusan utang piutang. Perbuatan semacam ini bisa menjadi jalan datangnya ampunan dari Allah Al-Wâsî. Dengan keluasan rahmat-Nya, Allah Ta’ala bisa menjadikan suatu amalan yang dianggap sepele mendatangkan pahala yang besar

Tips Meneladani Al-Wasi’

Belajarlah untuk adil dalam menilai orang. Sesungguhnya, setiap orang memiliki tabiat dan latar belakang yang berbeda sehingga cara mereka berpikir, bersikap, dan bertingkah lakunya pun berbeda-beda. Kemampuan kita dalam memahami tabiat orang akan membuat kita lebih bijak dalam bersikap.

  • Berbaik sangkalah kepada siapapun karana Allah. Jangan biasakan mengawali sesuatu dengan prasangka buruk. Sesungguhnya, buruk sangka akan mempengaruhi cara kita berpikir, bersikap, dan bertutur kata.
  • Tidak selamanya kita harus menjadi pemenang. Dalam kondisi tertentu, mengalah adalah pilihan terbaik, terlebih apabila dengan mengalah akan mendatangkan maslahat yang lebih besar, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. .
  • Permudah jangan dipersulit. Jangan sungkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, apalagi kalau orang tersebut meminta maaf
    kepada kita. Sesungguhnya, memaafkan akan menambah pahala, menjadikan diri mulia, melapangkan dada, menyehatkan tubuh, memudahkan rezeki, dan menambah sahabat.
  • Berusahalah untuk siap dengan situasi dan kondisi apapun. Kita jangan hanya siap dengan kondisi enak, kita pun harus siap dengan kondisi yang paling pahit dan sulit.
  • Mohonlah selalu kepada Allah Al-Wâsi’ agar kita memiliki kelapangan hati, ketenangan jiwa, keluasan ilmu dan amal.

Mutiara Doa

Yayasan Bina Amal Semarang

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *