AR-RAQIB Allah Yang Maha Mengawasi
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (raqiba).” (QS An-Nisa, 4:1)
Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, pernah menggubah sebuah syair. Berikut bunyinya:
“Apabila engkau merasa sendirian pada suatu saat, janganlah engkau katakan: “Aku sendirian’ akan tetapi katakanlah: “Aku ada yang mengawasi’ . Dan, janganlah engkau mengira bahwa Allah dapat lengah walau sesaat, dan jangan pula mengira bahwa apa yang kau sembunyikan itu tersembunyi bagi-Nya.”
Untaian syair ini menggambar salah satu asma’ Allah Azza wa Jalla, yaitu Ar-Raqib; Allah Yang Maha Mengawasi. Kata Ar-Raqib, yang akar katanya terdiri dari tiga huruf ra’, qaf dan ba’, memiliki makna dasar “tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu”. Seorang pengawas dinamakan raqib karena dia tampil memperhatikan dan mengawasi untuk memelihara yang diawasinya.
Merujuk pada akar kata Ar-Raqib, kepengawasan Allah tidak bertujuan untuk mencari-cari kesalahan makhluk-Nya, sebagaimana dilakukan para intel dan agen rahasia. Justru, kepengawasan-Nya dimaksudkan untuk mengarahkan, membimbing, dan memelihara agar hamba-Nya tidak terjerumus pada kesesatan. Apa buktinya? Saat terbetik niat buruk dalam hati, niat tersebut tidak langsung dicatat sebelum dilaksanakan dalam bentuk tindakan. Sebaliknya, sebuah niat baik, walau belum dilaksanakan sudah mendapat satu pahala. Ketika dilaksanakan, pahalanya dilipatgandakan sampai sepuluh kali atau lebih.
Boleh jadi kita ingin berbuat maksiat, akan tetapi karena kasih sayangNya, Allah Ta’ala menggagalkan rencana tersebut. Ada banyak jalan bagi Allah Ta’ala untuk menggagalkan niat buruk manusia. Mau pacaran mobil mogok. Mau selingkuh, uang di dompet ada yang mengambil. Mau korupsi, kita dimutasi, dan lainnya. Semuanya bukan karena kebetulan. Semua terjadi karena Allah Ta’ala berkehendak melindungi kita dari maksiat. Allah Mahatahu isi hati dan pikiran setiap hamba-Nya. Allah Mahatahu segala akibat dan konsekuensi dari semua yang kita cita-citakan. Maka, beruntunglah orang-orang yang diselamatkan” Allah dari kemaksiatan, dan merugilah orang-orang yang terkena istidraj Allah. Dia memenuhi segala keinginannya, untuk kemudian dicampakkan ke tempat yang serendah-rendahnya. Na’udzubillâhi min dzâliq.
Maka, dengan sangat bagus, Jalaluddin Rumi menuliskan, “Sesungguhnya, Allah mendeskripsikan diri-Nya sebagai Zat Yang Maha Melihat untuk memperingatkan kamu tentang kejahatan; Dia mendeskripsikan diri-Nya sebagai Zat Yang Maha Mendengar untuk mengingatkan kamu agar tidak mengatakan hal-hal yang buruk; dan Dia mendeskripsikan diri-Nya sebagai Zat Yang Maha Mengetahui untuk memberitahu kamu bahwa Dia mengetahui kamu dan karena itu menyuruh kamu untuk waspada terhadap pikiran dan pertimbangan yang sesat.”
Terkait asma Allah Ar-Raqib ini, para ulama pun berpendapat bahwa dia memiliki makna yang sama dengan asma’ Al-Hafizh, walau pada satu sisi memiliki perbedaan. Terkait hal ini, Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa Ar-Raqib lebih spesifik daripada Al-Hafizh. Sebab, Ar-Raqib adalah yang menjaga sesuatu sehingga tidak terlupakan olehnya. Dia Mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan yang pasti dan terus melekat sehingga sesuatu itu senantiasa berada dalam pengawasannya. Dengan demikian, seandainya seseorang mengetahui sesuatu yang terlarang, dia tidak akan berani mengerjakannya, bahkan mendekatinya karena takut dan malu kepada-Nya.
Meneladani Asma’ Allah Ar-Raqib
Seorang hamba yang menghayati dengan sungguh-sungguh asma’ Allah Ar-Raqib, akan sampai pada tingkat muraqabah, yaitu terkonsentrasinya pikiran, dengan segenap kekuatan jiwa serta pemeriksaan yang dengannya hamba akan mengawasi dirinya dengan cermat, sebagai akibat hadirnya rasa dipandang dan diawasi oleh Yang Mahakuasa.
Dia sangat paham dengan firman-Nya dalam Al-Quran, “… Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS Al-Hadîd, 57:4). Ya, Allah Azza wa Jalla mengawasi dan menjadi saksi atas segala perbuatannya, dalam keadaan bagaimana pun, kapan pun, dan di mana pun dia berada: di daratan maupun di lautan, di malam ataupun di siang hari, di rumah-rumah dan tempat keramaian ataupun di tanah-tanah nan sepi. Semuanya itu, menurut ilmu-Nya Allah adalah sama, yaitu berada di bawah pengawasan dan pengetahuan-Nya. Dengan demikian, seorang yang meneladani Al-Raqib menyadari bahwa semua yang diucapkannya, dilihatnya, didengarnya, bahkan semua lintasan hatinya ada dalam pengawasan dan pengetahuan Allah Ta’ala.
Namun, kondisi muraqabah semacam ini tidak datang begitu saja. Ada proses dan latihan yang terus menerus untuk menginternalisasikan asma’ Allah Ar-Raqib ke dalam hati. Beberapa ikhtiar yang dapat kita lakukan, antara lain:
Pertama, berzikirlah kepada Allah. Perbanyaklah ucapan, “Allah menatapku, Allah melihatku, Allah mengawasi dan mendengarkanku.” Semakin merasa diawasi, semakin terpelihara diri kita. Merasa diawasi Nya harus lengkap, meliputi hati dan panca indera. Amalkan pula wirid Ar-Raqib … Ar-Raqib … Merasa diawasi Allah Ta’ala akan menjauhkan kita dari kesepian. Sebaliknya, kita akan selalu bahagia, selalu dalam kemudahan, kelapangan apabila bersama Allah.
Kedua, mulai berlatih mengawasi diri. Apa yang harus kita awasi? Ada sejumlah hal di dalam diri yang layak untuk senantiasa kita awasi dan kita teliti, antara lain:
– Suasana hati. Setiap amal bergantung pada niat. Sehebat apapun amal, kalau niatnya tidak lurus, tidak akan berarti. Niatkan kita bekerja untuk mencari ridha Allah. Sebab, menurut sahabat Ali bin Abi Thalib, orang yang bekerja hanya untuk perut, derajatnya tidak jauh berbeda dengan yang keluar dari perut tersebut. Niatkan melayani suami atau istri untuk ibadah, jangan sekadar ingin menyenangkan hatinya saja. Segalanya harus ikhlas karena Allah. Jaga dan awasi niat kita, di awal, di tengah, dan di akhir; awasi terus. Belajar berhenti sejenak untuk berpikir sebelum bertindak.
– Pancaindra. Awasi lisan kita. Siapa pun yang pandai menjaga lisannya pasti akan selamat dunia akhirat. Ucapan kita harus BMT Tensofales. Pastikan benar, manfaat dan tak menyakiti (sebagai satu kesatuan). Juga tenang, sopan, fasih, apik, lembut dan secukupnya. Jangan melakukan tindakan yang dapat merusak suasana. Jangan melakukan pembicaraan yang membuat suasana tidak enak. Awasi pula setiap lirikan mata. Sebab, mata akan memengaruhi suasana hati. Jika mata tidak terkendali, hati akan membantu. Awasi pendengaran kita. Berjuanglah agar telinga tidak dimasuki kata-kata kotor, ghibah, musikmusik maksiat, dan lainnya. Sebagaimana mata, pendengaran yang tidak terjaga berpotensi mengotori hati dan merampas kebahagiaan.
– Perut dan anggota badan lainnya. Awasi jangan sampai kita menggunakan dan memakan barang haram. Pastikan sumber nafkah kita yang kita gunakan untuk menghidupi keluarga tidak terkotori uang haram. Kalau pun membeli makanan, makanan yang kita beli wajib terjamin kehalalannya. Kalau hendak makan di restoran, lihat jenis restorannya, apa restoran tersebut “ramah” kepada umat Islam atau malah menjerumuskan dengan makanan haram yang disajikannya. Hindari pula mengonsumsi hal-hal mubazir, seperti rokok, minuman yang memabukkan, atau setidaknya makanan yang termasuk katagori “sampah” atau junkfood.
– Pikiran. Saudaraku, pikiran akan sangat mengentukan baik tidaknya perbuatan. Orang yang pikirannya kotor lagi rusak, perbuatannya akan ikut kotor dan rusak. Namun sebaliknya, orang yang pikirannya bersih, perbuatannya pun akan ikut bersih dan terjaga. Maka, awasilah semua hal yang masuk ke dalam memori kita, bacaan, tontonan, pergaulan, dan angan-angan kita. Jangan biarkan hal yang remehtemeh lagi melalaikan mendominasi pikiran: drama perceraian atau perselingkuhan artis dan pejabat, gegap gempita sepakbola dan dunia hiburan, teman atau tetangga yang judes kepada kita, atau aneka barang dan belanjaan yang bukan kebutuhan primer kita, dan lainnya. Sungguh, apabila dibiarkan, semua ini bisa melalaikan kita dari mengingat Allah, melalaikan dari pekerjaan, silaturahim, dan hal-hal bei lainnya. Dengan mengendalikan pikiran, insya Allâh hidup kita akan lebih terkendali.
Mutiara Kisah
Seorang hamba yang memahami bahwa Allah adalah Ar-Raqib, Zat Yang Maha Mengawasi, dia akan sangat menjaga diri dari perbuatan haram, bahkan syubhat (remang-remang, tidak jelas halal haramnya). Dia tidak akan makan kecuali dia tahu betul bahwa yang dimakannya terjamin kehalalannya, baik zatnya ataupun cara mendapatkannya. Bagaimana tidak, dia sangat menyadari bahwa Allah mengawasi setiap gerak perilaku lakunya, sekecil dan sesamar apapun. Tiada sedikit pun yang terluput dari pandangan-Nya. Kesadaran semacam ini pada gilirannya akan menjadikan seorang hamba terpelihara dari kemaksiatan, baik yang jelas maupun yang tersamar.
Terkait hal ini, kita dapat belajar dari seorang ulama besar, Imam Ibnu Hamid Al-Warraq namanya. Suatu ketika, beliau melakukan perjalanan haji tahun 402 Hijriah. Namun, di tengah perjalanan beliau kehabisan perbekalan. Pada waktu itu tidak ada makanan dan minuman yang tersisa.
Beliau tak mampu melakukan perjalanan dan terjatuh karena kelaparan dan kehausan. Tanpa diduga, seorang laki-laki mendatangi beliau dengan membawa sedikit air. Beliau saat itu hanya bisa bersandar pada sebuah batu dalam keadaan hampir “sekarat”.
Ibnu Hamid, dalam keadaan yang amat payah bertanya kepada si pembawa air, “Dari mana air itu diperoleh? Bagaimana pula cara mendapatkannya?”
Si pembawa air terkejut, dan menjawab, “Dalam keadaan seperti ini engkau masih bertanya masalah itu?”
Akhirnya, ulama yang sudah sepuh itu mengatakan,”Justru inilah waktunya, saat bertemu kepada Allah, saya memerlukan jawaban, di mana dia berasal” (Thabaqat Al-Hanabilah, 2/177 via hidayatullah.com) *
Tips Meneladani Ar-Raqib
Berusahalah untuk mendekat kepada-Nya dengan ibadah-ibadah yang diwajibkan atau disunnahkan. Ibadah yang kontinu lagi sungguhsungguh akan mampu menanamkan perasaan dekat dengan-Nya.
Tanamkan perasaan malu apabila berbuat kemaksiatan kepada Allah, sekecil apapun. Bukankah Dia Maha Mengetahui semua yang kita lakukan?
Mohonlah kepada-Nya agar kita menjadikan hamba yang mampu merasakan pengawasan dari-Nya, baik di kala sendiri maupun di tengah keramaian.
Perbanyaklah menyebut asma’ Ar-Raqib untuk menanamkan dan memperkuat kesadaran kita bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Mengawasi.
Doa