ASY-SYAHID Allah Yang Maha Menyaksikan Allah Yang Maha Disaksikan
“Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS At-Taubah, 9:105)
Alkisah, ada seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil yang hendak meminjam uang sebanyak 1000 dinar kepada Bani Israil yang lain. Orang yang akan dipinjami uang berkata, “Datangkan kepadaku beberapa orang untuk menjadi saksi.”
“Cukup hanya Allah Ta’ala sebagai saksi,” jawab orang yang hendak meminjam uang tersebut.
“Datangkan kepadaku seseorang sebagai penjamin”
“Cukup hanya Allah Ta’ala sebagai penjamin.”
“Engkau benar.”
Pada waktu yang telah ditentukan, lelaki Bani Israil itu ingin membayar utang kepada sahabatnya. Kemudian dia menuju ke laut mencari sebuah kapal yang bisa dia tumpangi dan membawanya ke negeri seberang untuk membayar utang. Namun, dia tidak menemukan sebuah kapal pun yang berlayar karena cuaca buruk dan gelombang yang besar. Lalu dia mengambil sepotong kayu dan melubanginya, lantas meletakkan uang seribu dinar di dalamnya.
Setelah itu, dia mengaitkan antara ujung kayu yang satu dengan ujung kayu yang lai sampai rata. Dia membawa kayu itu ke laut kemudian berkata, “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui bahwa sesungguhnya aku telah meminjam uang dari Fulan sebanyak seribu dinar. Dia memintaku mendatangkan seseorang sebagai penjamin, aku mengatakan kepadanya, ‘Cukup hanya Allah yang menjadi penjaminku? Dia pun ridha dengan semua ini demi Engkau. Si Fulan juga memintaku untuk mendatangkan seseorang sebagai saksi, lalu aku berkata kepadanya, ‘Cukup hanya Allah sebagai saksi? Dia pun ridha dengan semua itu demi Engkau. Aku sudah berusaha untuk mendapatkan sebuah kapal untuk aku antarkan kepadanya uang yang telah dia pinjamkan kepadaku, tetapi aku tidak mendapatkan kapal tersebut. Ya Rabb, sekarang aku menyerahkan semuanya kepada-Mu.”
Dia kemudian melemparkan potongan kayu tersebut ke lautan. Lalu, dia memandang ke tengah laut untuk mencari seseorang yang berlayar yang bisa mengantarkannya ke negeri seberang.
Sementara itu, lelaki yang meminjamkan uangnya kepada seseorang dari kalangan Bani Israil tersebut keluar untuk mencari kayu yang terapung di lautan. Kayu-kayu tersebut rencananya akan dipakai untuk kayu bakar. Setibanya di pinggir lautan, dengan izin Allah, dia mendapatkan potongan kayu berisi uang yang dihanyutkan sahabatnya. Dia pun membawa benda tersebut , yang dia anggap sebagai kayu bakar untuk diberikan kepada keluarganya. Ketika dia membelah kayu itu, dia mendapati uang dinar di dalamnya. Pada saat yang bersamaan orang yang meminjam uang datang dengan membawa uang sebesar 1.000 dinar, seraya berkata, “Demi Allah aku masih mencari kendaraan untuk membayar piutangmu. Namun, aku tidak mendapatkan kendaraan itu sebelum ini!
Orang yang meminjamkan uang itu berkata, “Apakah kamu mengirimkan sesuatu untukku?”
“Bukankah aku telah mengatakan bahwa sebelum kedatanganku saat ini, aku tidak mendapatkan tumpangan?”
“Sesungguhnya Allah telah membayarkan hutangmu melalui sesuatu vang engkau kirim dalam potongan kayu. Maka, bawalah kembali uang dinar yang engkau bawa itu.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)
Memaknai Asma’ Asy-Syahid
Tiada saksi paling baik, paling jujur, dan paling dapat dipercaya selain Allah Azza wa Jalla. Bagaimana tidak, Dia adalah pemilik nama Asy-Syahid atau Allah Yang Maha Menyaksikan dan Maha Disaksikan. “Katakanlah Muhammad), “Siapakah yang lebih kuat kesaksiannya? Katakanlah, Allah, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu” (QS Al-An’am, 6:19). Terungkap pula pada ayat lainnya, “…tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan (syahid) segala sesuatu?” (QS Fushshilat, 41:53)
Kata Asy-Syahid terambil dari akar kata yang tersusun dari huruf-huruf syin, ha’ dan dal. Makna dasarnya berkisar pada kehadiran, pengetahuan, informasi, dan kesaksian. Orang yang gugur dalam peperangan membela agama Allah dinamai syahid karena para malaikat menghadiri kematiannya. Bumi pun dinamai syahidah sehingga yang gugur di bumi disebut syahid. Syahid berarti pula “yang disaksikan” atau “yang menyaksikan”. Syahid disaksikan oleh pihak lain serta dijadikan saksi dalam arti “teladan” dan pada saat yang sama dia pun menyaksikan kebenaran.
Allah sebagai Asy-Syahid dapat dipahami bahwa Allah hadir, tidak gaib dari segala sesuatu, serta “menyaksikan segala sesuatu”. Dalam QS Saba, 34:47 disebutkan bahwa, “Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu.” Allah Ta’ala pun dapat disaksikan oleh segala sesuatu” melalui bukti-bukti kehadiran-Nya di dunia. “Apakah ada keraguan terhadap keberadaan Allah, Zat Pencipta langit dan bumi?” (QS Ibrahim, 14:10)
Asy-Syahid atau sifat menyaksikan yang dipunyai Allah Azza wa Jalla berbeda dengan sifat menyaksikan yang dimiliki oleh manusia. Perbuatan menyaksikan Allah meliputi segala sesuatu, tidak terbatas ruang dan waktu sehingga Dia dapat menyaksikan hal sekecil apapun yang tidak mungkin dilakukan oleh makhluk.
Meneladani Asma’ Asy-Syahîd
Setiap asma’ Allah yang terangkai dalam Asmaul Husna mengandung nilai-nilai kebaikan yang layak untuk kita jadikan acuan dan teladan. Demikian pula halnya dengan asma’ Asy-Syahid, ada akhlak Allah yang dapat kita teladani, antara lain:
Pertama, berlaku ihsan dalam hidup. Artinya, kita dituntut untuk melakukan segala sesuatu dengan cara terbaik, sekecil apapun, karena semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Oleh karena itu, siapapun yang ingin meneladani asma Allah Asy-Syahîd, melakukan sebuah pekerjaan atau amal dengan kualitas terbaik, menjadi sebuah keniscayaan baginya. “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS At-Taubah, 9:105)
Makna dari “melakukan yang terbaik” pun menyentuh aspek hati. Dengan demikian, seorang yang ihsan akan senantiasa merasa bahwa Allah melihat semua hal yang ada dalam dirinya, termasuk setiap lintasan hatinya. Maka, selain mengoptimalkan kerja fisik dan pikirannya, dia pun berusaha untuk menjaga ketulusan atau keikhlasan hatinya. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena (menjalankan) agama.” (QS Al-Bayyinah, 98:5)
Ayat ini tidak memerintahkan kita untuk beraktifitas kecuali dengan landasan keikhlasan. Hal ini sangat wajar karena kita adalah ciptaan Allah, kita ini milik Allah, kita tinggal di planet bumi yang juga milik Allah. Apapun yang kita inginkan semuanya adalah milik Allah ile Dan, tidak ada peristiwa kecuali terjadi atas izin Allah ditetapi
Jadi, apabila kita berharap Allah mencukupi kita, tetapi kita beramal dengan hati yang berharap pujian manusia, berbuat dengan hati yang mengharap sanjungan, penghargaan dan kedudukan dari manusia, kita sesungguhnya telah salah jalan. Bagaimana mungkin kita berharap kepada manusia yang tidak memiliki apa-apa? Manusia tidak mampu memberikan manfaat juga tidak bisa mendatangkan keburukan, kecuali atas izin Allah selesai . Jika saja manusia dan jin bersatu hendak memberikan satu butir beras pun kepada kita, sedangkan Allah tidak menghendaki, apa yang akan mereka lakukan niscaya tidak akan pernah menjadi kenyataan. Begitu pula jika manusia dan jin bersatu hendak mencelakai kita, satu helai rambut pun tidak akan jatuh dari tubuh kita.
Oleh karena itu, teruslah periksa niat kita, periksa hati kita, untuk selalu beramal dengan ikhlas, hanya mengharap ridha Allah diterima. Cukuplah Allah yang memperhatikan kita. Ada manusia yang melihat ataupun tidak, yakinlah bahwa Allah dile selalu melihat kita, sekecil apapun perbuatan kita. Sekalipun banyak pujian datang kepada kita, apabila Allah ilmu tidak ridha, niscaya akan sia-sia belaka. Sebaliknya, sekalipun banyak cacian mengarah kepada kita, akan tetapi Allah ile ridha kepada kita, maka sungguh semua cacian itu tiada artinya. Saudaraku, tidak perlu berharap ungkapan terimakasih dari manusia, tidak usah menunggu-nunggu datangnya pujian dari manusia, cukuplah Allah diterima sebagai alasan dari setiap amal kita. . ???
Kedua, menjadi teladan kebaikan. Salah satu kunci perubahan adalah teladan. Dengan menjadi teladan, amal ibadah kita “disaksikan” oleh orang-orang di sekitar kita. Maka, apabila kita mampu menjadi teladan kebaikan, sebagaimana diperankan Rasulullah pada saat itulah kita telah meneladani Allah dalam sifat-Nya sesuai kemampuan kita sebagai makhluk. Jika berposisi sebagai seorang ayah, jadilah teladan kebaikan bagi istrin dan anak-anak. Jika berkedudukan sebagai pejabat atau pimpinan, jadilah teladan kebaikan bagi orang-orang yang dipimpin dan masyarakat sekitar. Demikian pula, ketika kita menjadi seorang guru, wajib hukumnya menjadi sosok penuh teladan bagi murid yang dibimbingnya. Semakin tinggi kedudukan dan semakin bertambah amanah kita, semakin besar pula tuntutan bagi kita untuk menjadi teladan dalam kebaikan.
Ketiga, menjadi saksi kebenaran atau pembela kebenaran. Allah Ta’ala berfirman, “Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” (QS Ath-Thalâq, 65:2). Menjadi saksi kebenaran itu tidak mudah. Sama tidak mudahnya dengan menjadi pembela kebenaran. Siapapun yang melakukannya, dia harus berhadapan dengan nafsu yang senantiasa mengajak pada kenikmatan dan kelalaian, berhadapan dengan setan yang senantiasa berusaha menjerumuskan, dan menghadapi sesama manusia yang gemar memperturutkan egonya, tidak mau rugi, dan cenderung ingin menang sendiri. Maka, orang yang meneladani Asy-Syahîd, dia dituntut untuk benar-benar yakin dengan kebenaran dari Rabbnya lalu dia menggenggamnya seerat yang dia bisa.
Saudaraku, kita dapat berkaca kepada para mujahid yang menghabiskan waktunya dengan berjuang Allah. Mereka membenarkan apa yang disampaikan Allah Ta’ala melalui rasul-Nya. Tidak hanya membenarkan, mereka pun mengerahkan semua daya dan upaya untuk membela kebenaran itu walau nyawa sebagai taruhannya. Ada banyak tokoh yang dapat kita jadikan teladan. Salah satunya adalah Abu Uqail ra. seorang sahabat yang rela mengorbankan nyawanya demi menjadi saksi kebenaran janji Rabbnya.
Mutiara Kisah
Dari Ja’far bin Abdillah bin Aslam ra. berkata, “Ketika pertempuran Yamamah berlangsung dan kaum muslimin berada di tengah medan perang, orang yang pertama kali mendapat luka adalah Abu Uqail. Dia terkena panah pada bagian antara kedua bahu dan dadanya. Namun, luka yang dideritanya tidak membuatnya sampai meninggal dunia. Panah itu kemudian dicabut sehingga pada siang hari tangan kirinya terasa lemah. Agar kondisinya membaik, dia pun dibawa ke dalam kemah.
Ketika peperangan semakin memanas, umat Islam tampak semakin terdesak serta mulai melewati batas yang ditentukan, sementara Abu Uqail dalam kondisi lemah karena luka, tiba-tiba dia mendengar Ma’n bin Addy menyeru, ‘Wahai kaum Anshar, mohonlah pertolongan kepada Allah, mohonlah pertolongan kepada Allah, seranglah musuhmu!’
Ibnu Umar berkata, “Setelah mendengar seruan itu Abu Uqail berdiri untuk menemui kaumnya. Maka aku bertanya, Apa yang kamu inginkan? Kamu tidak wajib menyerang!’
Abu Uqail menjawab, “Tadi ada seseorang memanggil namaku.
Aku katakan kepadanya, ‘Orang yang memanggil itu mengatakan, ‘Wahai orang-orang Anshar, bukan memanggil wahai orang-orang yang terluka!
Abu Uqail berkata, “Aku termasuk salah satu orang Anshar sehingga aku harus menyambut seruannya sekalipun dengan merangkak?
Kemudian, Abu Uqail memakai ikat sabuknya dan mengambil pedang dengan tangan kanannya seraya menyeru, “Wahai kaum Anshar, seranglah musuh sebagaimana dalam perang Hunain! Bersatulah kamu sekalian semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Majulah ke medan perang sebab kaum Muslim itu bersembunyi sekadar untuk memperdayakan musuh, giringlah musuhmu sehingga masuk ke dalam kebun kemudian kamu membaur dengan mereka lalu pedang-pedang kalian memenggal mereka?
Aku perhatikan bagian-bagian tubuh Abu Uqail ternyata tangannya yang terluka telah lepas dari bahunya dan jatuh di medan peperangan. Pada tubuhnya terdapat 14 luka yang menyebabkan dia meninggal dunia. Saat itu, Musailamah si pendusta telah terbunuh.
Aku berada di sisi Abu Uqail ketika dia menghembuskan nafas yang terakhir. Aku memanggil namanya, “Wahai Abu Uqail! Dia menjawab, ‘Labbaik – dengan terbata-bata- siapa yang kalah?’ Aku menjawab, ‘Bergembiralah, musuh Allah telah terbunuh. Kemudian dia menunjuk ke langit dengan jarinya sambil memuji Allah lalu meninggal dunia. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya” (Masyari’ul Asywaq Ila Mashari’il ‘Isyaq, 1/509, dalam 99 Orang Shalih, Penerbit Darul Haq) *
Tips Meneladani Asy-Syahid
- Mohonlah kepada Allah Asy-Syahîd ketakwaan dan muraqabah-Nya sehingga tujuan hidup kita hanyalah Dia.
- Berusahalah untuk mengawasi segala hal yang ada dalam diri kita, pancaindra, organ tubuh, termasuk hati agar jangan sampai tersentuh sesuatu yang diharamkan Allah.
- Berusahalah untuk menanamkan kesadaran bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala hal tentang diri kita. Kesadaran ini bisa menjaga kita dari kemaksiatan dan memaksa kita untuk bersungguh-sungguh dalam ketaatan.
- Apabila bekerja, lakukanlah pekerjaan itu sebaik mungkin, sesungguhnya Allah akan menuntut pertanggungjawaban dari apa yang kita lakukan.
- Jadilah teladan kebaikan untuk keluarga, tetangga, dan orang-orang di sekitar kita.
Mutiara Doa
Rabbanâ âmannâ bimâ ‘annzalta wattaba’nar-rasûla faktubnâ ma’asysyâhidîn.
“Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah).” (QS Ali ‘Imrân, 3:53)
Percikan Hikmah
“Siapa saja yang mengenal Al Haqq(Allah Azza wa Jalla), niscaya dia akan menyaksikan Nya pada segala sesuatu Siapa saja yang fana dengan Nya, niscava dia akan surna dari segala sesuatu. Dan siapa saja yang menantan Allah, niscaya dia tahkan mengutamakan apapun selain Nya.” (Ibnu Atha illah, Al Hikam) Yayasan Bina Amal Semarang