Asy Syakur - Yayasan Bina Amal Semarang

Asy Syakur – Yayasan Bina Amal Semarang

ASY-SYAKÛR Allah Yang Maha Mensyukuri

“Sesungguhnya, Allah Ta’ala sedikit pun tidak akan berbuat aniaya terhadap kebaikan orang Mukmin, penghargaannya diberikan sewaktu dia di dunia dan di akhirat kelak dia pun akan mendapatkannya. Adapun orang kafir hanya akan mendapatkannya sewaktu dia di dunia saja. Sedangkan di akhirat, dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari kebaikannya itu.” (HR Ahmad)

Apabila Allah mengumpulkan makhluk yang pertama sampai yang terakhir, datanglah penyeru yang berseru dengan suara yang dapat didengar oleh semua makhluk, “Kini akan diketahui oleh semua makhluk, siapakah yang patut mendapatkan kehormatan pada hari ini. Bangunlah orang-orang yang biasa merenggangkan ikat pinggangnya dari tempat tidur,” maka bangunlah mereka, akan tetapi hanya sedikit. Kemudian datang seruan kedua, “Bangunlah orang-orang yang tidak dapat dilalaikan oleh urusan perniagaan untuk zikir kepada Allah, maka bangunlah mereka akan tetapi hanya sedikit. Kemudian datang seruan ketiga, “Bangunlah mereka yang senantiasa bersyukur dengan memuji Allah dalam senang dan susah,” maka bangkitlah mereka dan mereka pun hanya sedikit. Kemudian diadakan hisab untuk semua orang.”

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Laits As-Samarkandi dengan sanadnya dari Asma’ binti Yazid ini, mengisyaratkan bahwa Allah Ta’ala begitu perhatian terhadap semua amal yang dilakukan hamba-Nya di dunia. Dia tidak pernah mengabaikan amal kebajikan walau hanya setitik debu. Dia akan membalasnya dengan balasan yang lebih baik. Itu semua terjadi, karena Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Maha Mensyukuri perbuatan baik hamba-hamba-Nya.

Makna Asy-Syakûr

Asy-Syakûr adalah satu dari 99 nama Allah yang terdapat dalam Asmâ’ul Husna. Nama Allah, Asy-Syakûr, terambil dari kata syakara yang berarti “pujian atas kebaikan” serta “penuhnya sesuatu”. Keterangan lain menyebutkan bahwa tumbuh-tumbuhan yang berhasil tumbuh walau dengan sedikit air atau binatang yang gemuk walau dengan sedikit rumput, dalam bahasa Arab disebut syakur.

Dari penggunaan istilah ini, kata syakur yang menjadi nama dan sifat Allah Ta’ala berarti, “Dia mengembangkan atau memperbanyak imbalan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya meskipun amalannya sedikit”. Maka, tidak mengherankan apabila Allah Ta’ala selalu melipatgandakan amalan yang dilakukan hamba-Nya. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki..” (QS. Al-Baqarah, 2:261)

Imam Al-Qurthubi mengomentari kemurahan Allah ini, ”Dia mensyukuri ketaatan hamba-Nya. Arti syukur Allah adalah dengan memberi mereka pahala dan menerima amal mereka yang sedikit, diganti dengan pahala yang sangat banyak.”

Ilustrasi sederhananya adalah kerbau makan rumput, yang dimakan sedikit, tapi badannya menjadi besar dan kuat. Atau kudanil yang hanya memakan ganggang air yang sangat kecil, namun tubuhnya dibuat besar. Atau pohon yang rindang, hanya dari tetesan air yang diserap akarnya, menjadi pohon yang kokoh, rindang dan berbuah manis. Demikianlah gambaran sesuatu yang sedikit namun dibesarkan manfaatnya oleh Allah diterima.

Maka, sekali seorang hamba bersedekah atau berwakaf untuk kepentingan agama Allah, pahalanya mengalir terus sekalipun dia telah meninggal dunia. Sekali kita mengamalkan sedekah, zakat, atau wakaf, selamanya kita akan ditemani oleh kebaikan dari amal kita itu. Kebaikan akan menemani kita di alam kubur sampai sampai di Yaumil Hisab dan kehidupan di akhirat. Mâsyâ Allâh.

saja. Hal Salah satu karunia Allah itu adalah dipertemukannya kita dengan banyak kesempatan berbuat kebaikan. Dipertemukannya kita dengan berbagai ladang-ladang amal. Kesempatan berbuat baik sekalipun tampak kecil dalam pandangan kita, ambillah. Jangan sibuk dengan pandangan besar kecilnya suatu amal. Sebab, dalam pandangan Allah, semua itu sama yang membedakan adalah keikhlasan dalam mengamalkannya.

Hal menarik lainnya, kata syukur biasa dipertentangkan dengan kata kufur. Dalam QS. Ibrahim, 14:7, Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kamu bersyukur pasti akan Aku tambah untukmu (nikmat-Ku) dan kalau kamu kufur, sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih.” Penempatan kata syukur yang dipertentangkan dengan kata kufur disebabkan karena keduanya mengandung makna berlawanan. Syukur berarti menampakkan sesuatu ke permukaan, sedangkan kufur berarti menutupinya.

Melalui nama-Nya ini pula, Allah Ta’ala memberikan apresiasi tertinggi terhadap semua yang dilakukan hamba-Nya, walau dalam pandangan manusia amalan tersebut sangat tidak berarti. Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah, 99:7). Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, Allah tidak akan sedikit pun berbuat aniaya terhadap kebaikan orang Mukmin, penghargaan-Nya diberikan sewaktu dia berada di dunia dan di akhirat kelak pun dia akan mendapatkannya.” (HR. Ahmad)

Meneladani Asma’ Allah Asy-Syakûr

Tingginya apresiasi atau penghargaan dari Allah Ta’ala terhadap amal kebaikan manusia, sekecil apapun itu, seharusnya membuat kita tertantang untuk melakukan yang terbaik untuk Allah, sekaligus menghargai apapun yang berikan kepada kita. Dengan kata lain, kita harus menjadi hamba yang bersyukur.

Apa saja yang harus kita syukuri? Nikmat Allah, itulah yang harus kita syukuri. Apa saja nikmat Allah itu? Sesungguhnya, nikmat Allah itu teramat banyak, tidak berbilang, sehingga mustahil bagi manusia untuk merinci dan mengkalkulasikan jumlahnya. Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala menegaskan, ”Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (QS. An-Nahl, 16:18). Kalau menghitungnya saja sudah tidak mungkin, bagaimana pula mensyukurinya? Allah Asy-Syakûr Maha Mengetahui keterbatasan manusia ini, karena itu, dalam lanjutan ayat ke-18, QS. An-Nahl tersebut, Dia menegaskan, ”Sesungguhnya, Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Tujuannya, agar manusia tidak berkecil hati dan berputus asa dalam usahanya mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.

Karena saking banyaknya, untuk lebih memudahkan, para ulama membagi nikmat Allah Ta’ala itu ke dalam tiga bagian, yaitu nikmat hidup, nikmat kemerdekaan, dan nikmat hidayah.

Pertama, nikmat hidup. Ini adalah nikmat yang paling rendah tingkatannya. Sebab, (1) dia diberikan secara gratis, tanpa usaha, dan tanpa diminta; (2) diberikan pula kepada hewan dan tumbuhan; (3) diperlengkapi dengan segala sesuatu yang penting demi kelanggengannya, termasuk dipenuhinya kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal.

Kedua, nikmat kemerdekaan. Nikmat kemerdekaan adalah nikmat kedua terpenting dan lebih tinggi nilainya dibanding nikmat yang pertama. Nikmat ini hanya diberikan kepada manusia. Dengan adanya nikmat kemerdekaan, manusia memiliki kebebasan untuk memilih, melaksanakan apa yang diinginkannya, dan menentukan arah hidupnya; jalan kebenaran atau jalan kesesatan.

Ketiga, nikmat hidayah. Inilah nikmat tertinggi dan termulia dari nikmat-nikmat sebelumnya sehingga Allah Ta’ala tidak menganugerahkannya kepada sembarang orang. Nikmat ini hanya diberikan kepada orang-orang terpilih dan yang paling pantas menerimanya. ”Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi” (QS. Al-A’râf, 7:178). Oleh karena itu, manusia perlu membuktikan terlebih dahulu bahwa dia termasuk orang yang pantas menerima nikmat hidayah sehingga Allah Ta’ala berkenan memberikannya.

Bagi seorang Mukmin, ketiga nikmat tersebut wajib disyukuri kehadirannya sehingga dia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang pandai bersyukur kepada Allah Ta’ala.

Bagaimana caranya?

Pertama, meyakini bahwa segala sesuatu hanyalah milik Allah semata. Seorang ahli syukur hatinya tidak merasa memiliki, tidak merasa dimiliki, kecuali yakin segalanya milik Allah ile Semakin merasa memiliki sesuatu, kita akan semakin takut kehilangan. Adapun takut kehilangan adalah suatu bentuk kesengsaraan. Lain halnya ketika kita yakin bahwa semuanya milik Allah, pada saat Allah mengambilnya, kita tidak akan galau karena kita merasa hanya dititipi.

Kedua, selalu memuji Allah dengan ucapan alhamdulillâh saat mendapat nikmat. Saudaraku, apabila kita dibandingkan antara nikmat dengan musibah, niscaya kita akan menemukan bahwa musibah yang datang tidak sebanding dengan samudera nikmat yang Allah berikan kepada kita. Maka, seorang ahli syukur adalah dia yang senantiasa ingat kepada Allah dalam berbagai keadaannya; dalam keadaan lapang maupun sempit, senang maupun susah, sedih maupun gembira. Ahli syukur akan tetap bersyukur kepada Allah tanpa terpengaruhi oleh keadaan yang sedang menimpanya. Mengapa? Sebab, dalam keadaan sulit sekalipun, rahmat Allah itu senantiasa datang menghampiri. Adapun batas “minimal” dari mensyukuri nikmat Allah adalah dengan memujinya. Pernah ditanya tentang batas minimal orang yang bersyukur, dia pun menjawab, “(Paling tidak) orang tersebut akan memuji-muji Allah atas segala nikmat yang diperolehnya, baik itu nikmat keluarga maupun nikmat harta ….

Ketiga, memanfaatkan nikmat yang ada sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah apabila kita tidak menggunakan karunia dari Allah untuk sesuatu yang diridhaiNya. Misal, Allah Ta’ala menganugerahi kita mata. Bukti rasa syukur kita terhadap karunia mata tersebut adalah dengan menggunakan mata tersebut untuk kebaikan, membaca Al-Quran, menelaah ilmu, melihat kebesaran Allah. Lebih jauh, Ibnu Qudamah mengatakan, ”Mensyukuri nikmat mata adalah dengan menyembunyikan cacat saudaramu yang engkau lihat. Adapun mensyukuri nikmat telinga adalah dengan menyembunyikan segala kecacatan saudaramu yang telah engkau dengar”

Keempat, berterima kasih kepada orang-orang yang menjadi jalan nikmat dan kebaikan. Bukankah yang paling bersyukur kepada Allah adalah yang paling banyak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia? Dengan kata lain, ahli syukur itu sangat tahu balas budi. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa telah berbuat kebaikan kepada kalian, maka hendaklah kalian membalasnya, jika kalian tidak mampu membalasnya, maka berdoalah baginya, sehingga kalian tahu bahwa kalian telah bersyukur. Sebab Allah adalah Dzat yang Mahatahu berterimakasih dan sangat cinta kepada orang-orang yang bersyukur” (HR. Ath-Thabrani). Dalam hadis lain disebutkan, “Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak tahu berterima kasih kepada sesama manusia.” (HR. Ahmad)

Kelima, menceritakan nikmat tersebut kepada orang lain. Tujuan kita menceritakan nikmat dari Allah bukanlah untuk pamer, tetapi agar orang ingat kepada Allah. “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur),” demikian firman Allah Ta’ala dalam QS. Adh-Dhuhâ, 93:11.

Semoga kita menjadi hamba-hamba yang mempu meneladani Allah Asy-Syakûr dengan menjadi ahli syukur. Dengan pandai bersyukur, insya Allah, Dia berkenan membukakan pintu-pintu kebaikan bagi kita dan mengekalkan amal-amal kebaikan kita, sebagaimana diungkapkan Abu Hasan Al-Nuri, ”Aku bersyukur bukan hanya sekadar membalas nikmatMu. Aku bersyukur untuk menyatakan rasa terima kasihku kepada-Mu. Aku selalu ingat hari-hariku yang penuh kenikmatan dari sisi-Mu. Akhir dari segala yang kekal atas orang yang bersyukur adalah mengingat Allah.”

Mutiara Kisah

Ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya Ats-Tsiqât dan termuat di dalam kitab Asyiqun fi Ghurfatil Amaliyyât, Syaikh Muhammad Al-Arifi. Seorang hamba Allah, Abu Ibrahim namanya, bercerita, “Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas. Aku perhatikan kemah tersebut dan di dalamnya ada seorang yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang. Ternyata, orang ini kedua tangannya buntung, matanya buta, dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat.

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata dia mengulang-ulang kalimat, ‘Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia … Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia!”

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh. Ternyata, sebagian besar panca indranya tidak berfungsi. Kedua tangannya buntung, matanya buta, dan dia tidak memiliki apa-apa.

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah dia memiliki anak yang mengurusinya atau istri yang menemaninya? Ternyata, tidak ada seorang pun!

Aku beranjak mendekatinya dan dia merasakan kehadiranku. Dia lalu bertanya, “Siapa? siapa?”

“Assalâmu’alaikum. Aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini,” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku.

“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana istrimu, anakmu, dan kerabatmu?” lanjutku.

“Aku seorang yang sakit. Semua orang meninggalkanku dan kebanyakan keluargaku telah meninggal” jawabnya.

“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan “segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia”. Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara pula!” ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu. Namun, aku punya satu permintaan kepadamu. Maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya,

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu,” kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Bukankah Allah memberiku akal sehat yang dengannya aku bisa memahami dan berpikir?

“Betul,” jawabku. Lalu katanya, “Berapa banyak orang yang gila?”

“Banyak juga,” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di antara banyak manusia,” jawabnya.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar azan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.

“Iya benar,” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut,” jawabnya.

“Betapa banyak orang yang tuli tidak mendengar?”

“Banyak juga!” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut,” katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.

“Iya benar,” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.

“Wah banyak itu,” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut,” jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang Muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala dari-Nya, dan bersabar atas musibahku?”

“Iya benar,” jawabku. Lalu katanya, “Padahal, berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat!”

“Banyak sekali,” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.”

Orang tua ini terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu persatu. Aku semakin takjub dengan kekuatan imannya. Dia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah.”

Ya … alih-alih berkeluh kesah, menyalahkan nasib, dan berputus asa, orang tua ini malah mensyukuri beratnya ujian yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Inilah sosok hamba Asy-Syakûr yang mampu menyerap sifat mulia dari Rabbnya.

Tips Meneladani Asy-Syakûr

  • Memohon kepada Allah Ta’ala agar diberi keistiqamahan untuk mensyukuri nikmat dari-Nya.
  • Berusaha mensyukuri segala nikmat dengan berkhidmat kepadaNya, yaitu dengan menjalankan segala kewajiban yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
  • Memperbanyak zikir, khususnya ucapan hamdalah.
  • Berterima kasih kepada orang yang telah menjadi jalan datangnya nikmat.
  • Tidak membeda-bedakan nikmat Allah, baik yang banyak atau yang sedikit, semua wajib disyukuri.
  • Tidak menggunakan nikmat dari-Nya untuk bermaksiat.
  • Berusaha menampakkan rasa syukur, baik dengan hati, lisan, maupun perbuatan, termasuk mengabarkan hadirnya nikmat tersebut selama tidak mendatangkan mudharat.

Mutiara Doa

“Ya Tuhanku, berilah diriku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang saleh.” (QS. An-Naml, 27:19)

Percikan Hikmah

“Sesungguhnya, nikmat itu berhubungan dengan rasa syukur. Adapun rasa syukur bisa menyebabkan nikmat tersebut bertambah. Keduanya (nikmat dan kesyukuran) adalah pasangan yang selalu bersama. Tambahan untuk nikmat tidak akan pernah terputus dari Allah Ta’ala sampai seorang hamba tidak lagi bersyukur kepada-Nya.” (Ali bin Abi Thalib, dalam Tazkiyah An-Nufus, Dr. Ahmad Farid)

Adapun syukur itu memiliki lima sendi, “Orang yang bersyukur tunduk kepada yang disyukuri, mencintai-Nya, mengakui nikmat dariNya, memuji-Nya karena nikmat itu, dan tidak menggunakan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenci oleh-Nya. Apabila salah satu di antaranya hilang, sendi kesyukuran itu pun menjadi lowong dan menjadikannya tidak lagi sempurna.” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Madarij As-Salikin) Yayasan BIna Amal Semarang

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *