Bapak Santoso

Saat itu, matahari sedang terik. Sinarnya menyengat, membuat semua orang merasa gerah. Keringat bercucuran. Mereka sibuk menyeka peluh. 

Fuhh…Semarang kenapa kau begitu panas”, keluhku manja. Bajuku sudah basah, namun tidak dapat menghalangiku mengais lembaran uang dari jepretan kameraku. Hanya memikirkan nominalnya membuatku terkekeh.

“Zee! Istirahatlah, kau pasti lelah”, ucap Reo. Seorang pemuda kaya-raya yang entah mengapa membuntutiku sampai sini.

Shtttt! Diem, aku lagi kerja! Lagi pula aku nggak kayak kamu yang hidupnya sudah terjamin”, jawabku kesal. Tanganku mengepal tepat di depan wajahnya.

“Maaf, aku hanya ingin membantumu”, sanggahnya. Ia menenteng dua botol minum dingin. 

Nih! Buat kamu, kamu capek kan?” Ia sodorkan botol mineral dingin. Awalnya aku tak ingin menerima botol minumnya. Toh Aku juga punya uang. Sayangnya senyuman manisnya menyilaukan. Aku jadi tak enak hati menolaknya.

Aku tersenyum. Kulangkahkan kakiku menuju pojok taman lawang sewu yang tertata indah. Aku duduk di pojokan taman. Pandanganku menjelajah bangunan kuno bersejarah itu. Bangunan dengan pintunya yang khas. Lawang Sewu. Bangunan yang memiliki ciri khas dengan arsitektur megah khas Belanda jaman dulu. Bukankah itu aneh? Padahal Lawang Sewu di bangun tahun 1900-an namun malah lebih indah daripada rumahku sendiri. Rasa penasaranku tak terelakkan. Kulangkahkan kakiku mendekati bangunan bersejarah itu. Tanganku mengusap pelan dinding yang berwarna coklat muda. Tanganku dengan cekatan mengambil ponsel dan mengambil gambar arsitektur itu. Cekrek! Aku telah mengambil gambarnya.

“Hebat! Bagaimana bisa semegah ini?” Mataku berbinar melihat arsitektur Lawang Sewu.

“Karena kami ingin melindungi bangunan bersejarah ini.”

Aku terkesiap. Ada suara asing dibelakangku, kutolehkan kepala.

“Maaf Nak, membuatmu kaget”, ucap seorang lelaki berperawakan kekar dengan seragam security coklat muda.

“Tidak apa-apa Pak”, kulihat tulisan Santosa terpampang di name tag bajunya.

“Sudah berapa tahun Bapak menjaganya?” Tanyaku riang. 

“Bapak sudah menjaganya beberapa tahun terakhir ini”, senyumnya mengembang. Usianya masih terbilang muda. Namun ia memperlihatkan aura wibawanya.

“Oh begitu”, lengang sejenak. 

“Alasan Bapak bekerja disini apa?” Tanyaku penasaran.

Nduk ayu sadar tidak, kalau perlahan budaya kita semakin memudar?” Ucap Pak Santoso. Aku mengangguk-angguk membenarkan penuturan Pak Santoso.

“Alasan Bapak sederhana saja Nduk. Bapak hanya ingin menjaga keidentikan kota Semarang. Bapak tak ingin anak cucu kita melupakan sejarah Lawang Sewu. Bapak ingin menjaganya agar anak cucu  kita dapat melihat bukti dari hebatnya pahlawan kita”, ucapnya dengan mantap. 

Aku tersadar. Ternyata aku telah melupakan pentingnya menjaga kebudayaan.

“Aduh Nduk, waktu istirahat Bapak sudah habis, Bapak duluan ya”, ucapnya sembari melirik jam tangannya. Setelah itu punggung Pak Santoso hilang dari pandanganku. 

“Zee! Ayo pulang, aku sudah selesai”, teriak Reo. Tangannya melambai ke arahku. Kubalas dengan senyuman. 

Pandanganku kembali melirik tempat terakhir Pak Santoso terlihat.’Terima kasih Pak, telah menyadarkanku betapa pentingnya menjaga warisan sejarah. Harusnya dari dulu aku sadar pentingnya menjaga warisan luhur bangsa, kini bahkan kearifan lokal mulai memudar. Kini aku sadar, semua itu dimulai dengan hal kecil.’

Pak Santoso bukanlah pejabat penting. Namun sosoknya yang sederhana yang membuatnya menjadi pahlawan. Meski hanya seorang satpam, namun jasanya besar. Tak semua orang mau melakukan apa yang Pak Santoso lakukan. Bayangkan saja jika Lawang sewu tak ada yang menjaganya. Ia mungkin akan terbengkalai seperti Penjara Kalisosok di Surabaya. Berkat jasanya Lawang Sewu menjadi icon Kota semarang yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk berkunjung ke Kota Semarang.

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *