Kakekku Yang Telah Berjasa

Untukmu kakek yang paling aku cintai aku kirimkan Al-Fatihah, semoga engkau tenang di sisi Allah SWT -Kakekku-

“PRANGG!!” Lagi-lagi suara itu memekakkan telingaku. Serpihan kaca  mengenai pipiku. Ya, Anak yang sedang dipukuli itu adalah aku padahal hanya masalah sepele. Hanya masalah tentang aku tidak belajar padahal aku sedang sakit.

“Kamu anak bodoh! Kamu harus selalu belajar untuk mengejar cita-citamu!” Teriak sosok yang katanya mencintai anaknya. Namun bagiku ia hanyalah pria kasar yang pernah kukenal. 

“Maaf Ayah, aku sedang tidak enak badan jadi aku tidak belajar.” Ucapku dengan lemas. Dua bulir air mata membasahi pipiku bersamaan dengan tetesan darah akibat dari goresan serpihan beling.

“Hentikan itu!” Teriak kakek. Beliau menghentikan ayah yang hendak memukulku.

“Hei! Kamu tidak lihat? Anakmu sedang sakit! Anakmu sedang butuh perhatian!” Lanjut kakekku.

 “Tidak usah membela Ayah!” Ucap ayahku.

“Tutus, seharusnya kau memahami anakmu” Ucap kakek dengan penuh kesabaran.

“Belain saja terus, cucu Ayah ini!” Ayahku pergi begitu saja meninggalkanku yang masih kesakitan. Kakek hanya bisa menggelengkan kepalanya lalu menghampiriku yang kini sudah berderai air mata.

Nduk kamu tidak apa-apa?” Kakekku mengelus rambutku lembut.

“Kakek, aku takut ayah memarahiku lagi”, ucapku parau.

“Kakek akan bicara pada ayahmu, kamu yang tenang ya Nduk. Oh ya kamu sudah makan?” Ucap kakek lembut.

“Belum Kek”.

“Sebentar ya Nduk kakek ambilkan bubur dulu”, kakek tersenyum pergi meninggalkan kamarku. Aku melihat punggung kakekku menjauh. Beberapa detik kemudian kakekku telah kembali membawa semangkuk berisi bubur dan secangkir air putih.

“Ini Nduk, makan dulu ya Nduk. Apa perlu Kakek suapi?” 

Nggak usah Kek, Nabila bisa sendiri.” Aku duduk di kasurku memegang mangkuk bubur dengan tangan bergetar. 

“Sini Nduk …” Tiba-tiba kakek sudah mengambil alih mangkuk yang kugenggam dan perlahan menyuapiku.

“Kek, bisa nggak sih kalau kakek hidup selamanya?” Tanyaku sambil mengunyah bubur dengan perlahan.

“Ya ndak bisa Nduk”, Kakek terkekek.

“Setiap mahluk hidup pasti akan kembali ke sisi Allah, Nduk. Janji sama kakek, Nabila harus jadi wanita yang kuat, sabar, tangguh, dan juga bijaksana”, lanjut kakek.

“Kakek yakin pasti kamu akan sukses di dunia dan akhirat” Kakek tersenyum lebar.

“Iya Kek, Insya Allah Nabila bakal nurutin yang kakek katakan.” Ucapku.

Hari demi hari berjalan. Kini peristiwa itu tinggal kenangan yang tak lekang di makan zaman. Justru dari peristiwa itulah aku mengerti arti pahlawan yang sesungguhnya.

***

“Prok prok prok!” Suara tepukan terdengar sangat meriah. Hari ini adalah hari kelulusan siswa-siswi MIT Nurul Islam.

“Nabila Aish Salma putri dari Bapak Tutus Fitriyanto dan Ibu Meyta Wahyu Prima, silahkan maju ke depan untuk menerima penghargaan kejuaraan lomba.”

Aku tak menyangka, perjuanganku selama enam tahun membuahkan hasil. Aku bisa menjadi kebanggaan kedua orang tuaku.

Ananda Nabila mendapatkan penghargaan juara olimpiade Bahasa Inggris dan IPS”, suara Bu Erma membahana di aula MIT Nurul Islam.

Semua mata tertuju kepadaku. Aku berdiri di panggung didampingi Ayah Bunda menerima penghargaan. Tepuk tangan bergemuruh. Ayah menepuk pundakku.

“Ayah bangga padamu Nak”, Ayah mengusap kepalaku, matanya berkaca-kaca. Kutatap matanya penuh arti. Kami bertiga berpose di depan fotografer dengan senyum mengembang.

“Terima kasih Kek, berkat cinta kakek ayah belajar menjadi orang tua yang baik. Ayah yang kukenal sekarang adalah sosok yang lembut, selalu merangkulku ketika aku rapuh. Ia selalu mengajarkanku untuk berdiri tegak dan tak menyerah untuk meraih mimpi. Ayah adalah pahlawanku, Ia adalah cinta pertamaku.”

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *