Pahlawan? Apakah pahlawan itu yang berperang mati-matian? Dihujani dengan puluhan ribu peluru, dan berlumur darah? Semua itu benar. Tetapi ada seorang pahlawan yang sangat berjasa bagi kita. Guru. Seorang biasa yang tidak memiliki gelar apapun seperti jenderal, letnan, menteri, bahkan raden dll. Ia memiliki kesabaran yang sangat luar biasa dalam mendidik muridnya demi menjadi seorang yang sukses dan memiliki nilai norma yang baik.
Seorang guru dengan penuh kesabaran mengajar muridnya yang beragam. Belum lagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Para guru masih memiliki tugas rumah tangga yang menanti sehabis pulang dari mengajar. Gaji yang kadang tak seberapa dengan perjuangan yang ia lakukan. Rengekan para murid yang tak faham dengan pelajaran sudah menjadi makanan sehari-hari. Membaca, menulis, berhitung, ia kenalkan dan ajarkan kepada kita. Angka dan huruf ia ajarkan satu-persatu dengan telaten. Namun terkadang kita sering tak menghargai perjuangan yang ia lakukan. Terkadang kita mendapatkan teguran darinya namun kita justru menyalahkannya.
Sebuah kisah yang membekas pada diriku kan kutuangkan dalam tulisan ini dengan penuh penghargaan padanya. Bermula pada sebuah taman kanak-kanak yang ramai dengan canda-tawa riang. Aku berjalan memasuki pagar sekolah yang disambut hangat dengan senyumannya.
“Selamat pagi”, sapanya. Kubalas dengan senyuman dan salam. Kulihat raut wajahnya yang tak seperti biasanya.
Lantas aku bertanya padanya, “Bu. Ibu kenapa?” Tanyaku dengan rasa khawatir. Ibu guru tersenyum tipis. Lantas aku menawarkan bantuan padanya. “Bu, apakah ibu perlu bantuan” aku berharap bisa membantunya agar wajah riangnya kembali.
“Apakah kamu bisa membantu untuk membuat temanmu duduk lagi?” Tanyanya. Aku mengangguk mantap.
“Teman-teman! Tolong tenang sebentar, kasihan ibu guru.” Lantas semua temanku menoleh ke arahku dan satu-persatu mulai tenang. Setelah beberapa saat kelas menjadi tenang. Ibu guru berterimakasih kepadaku karena telah membantunya.
“Anak-anak. Ibu sedih kalau kalian seperti ini”, ia menjeda kalimatnya, “Ibu sebenarnya menangis … tapi memang tidak Ibu tunjukkan, karena Ibu menangis di dalam hati.” Ibu guru berusaha agar anak-anak yang lain merasa empati, tetapi kata-kata itu tentu susah dicerna untuk anak usia TK.
Selama di perjalanan pulang aku terngiang-ngiang oleh perkataan bu guru. “Nanti jika ibu sudah tidak ada tolong ya kalian jaga sikap dengan ibu guru baru oke? Jangan nakal ya”. Aku bingung dengan maksud perkataan itu.
Keesokan harinya terjawab sudah kebingunganku. “Bu guru mana sih?” Tanya temanku yang sedari tadi berada di ambang pintu menunggu kehadiran bu guru. Namun bu guru tidak kunjung hadir. Setelah beberapa saat guru lain pun masuk ke kelas.
“Anak-anak, hari ini saya yang akan menggantikan guru kalian”, semuanya menjadi riuh seketika. Kenapa? Kenapa harus di ganti? Ada apa? Banyak pertanyaan yang terlintas di pikiranku.
“Guru kalian sudah tidak bisa mengajar kalian lagi, guru kalian melanjutkan kuliah di luar kota”.
Deg. Entah mengapa rasanya sedih mendengar kabar guruku sudah tidak mengajar lagi. Ya. Kupikir peristiwa kemarin adalah salam perpisahan darinya.
Sembilan tahun telah berlalu entah mengapa aku merindukannya. Barangkali beliau adalah salah satu yang spesial dihidupku. Beliau selalu sabar mengajar kami, dan tak menunjukkan rasa lelah sedikitpun. Darinya aku belajar tanggung jawab karena beliau memberikan kepercayaan kepadaku untuk mengatur teman-temanku, padahal saat itu aku belum genap berusia lima tahun.
Untuk guru-guruku terkhusus guru TK ku Bu Pipit kuucapkan terimakasih telah mengajarkan banyak hal kepadaku. Bagiku Bu Pipit adalah sosok pahlawan, karena meskipun ia sudah memiliki dua buah hati tetapi tak menyurutkan langkahnya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Melalui tulisan ini aku ingin berpesan, hargailah gurumu karena orang hebat bisa melahirkan banyak karya tetapi guru yang baik dapat melahirkan ribuan orang hebat.