Namaku Azizah. Tulisan yang aku buat tidak menceritakan tentang seorang pahlawan nasional, melainkan tentang dua orang pahlawan yang berjasa besar di dalam kehidupanku. Tak lain dan tak bukan, adalah kedua orang tuaku. Merekalah yang memiliki peran penting dalam kehidupanku. Ayah Ibuku sudah bagaikan separuh nafasku. Tanpa mereka di sisiku, aku pasti sudah berjalan tanpa arah tujuan. Aku sangat menyayangi mereka. Disaat apapun itu, aku pasti selalu memikirkan mereka. Bahkan selama di pondokpun, disela-sela kesibukan belajar, aku akan selalu mencari waktu senggang untuk mendoakan mereka. Kapanpun.
Minggu, 21 Juli 2024. Hari pertama aku masuk ke pondok. Saat pagi hari, orang tuaku sudah sangat sibuk menyiapkan barang-barang yang harus kubawa ke pondok. Aku mencoba untuk membantu, walau sedikit-sedikit. Ayahku menaikkan barang-barangku ke dalam bagasi mobil, sementara ibuku memeriksa dan memasukkan barang-barang yang belum sempat dimasukkan. Aku? Aku membawa barang-barang yang sudah di packing oleh Ibuku ke dekat bagasi mobil. Kulakukan hal itu dengan tujuan untuk mempermudah ayahku menaikkan barang. Setelah semuanya selesai, aku, ibu, dan ayahku naik ke atas mobil, bergegas menuju SMIT Bina Amal, pondok yang sekarang ini sedang kutempati. Saat telah sampai di depan boarding school tersebut, perasaanku yang tadinya biasa saja, tiba-tiba seperti ada yang mengganjal. Awalnya, kupikir karena aku baru saja datang ke tempat tersebut, tapi lama kelamaan aku sadar, bahwa ternyata aku masih belum siap berpisah dari orang tuaku.
Malam pertama di pondok, aku berusaha untuk menjadi seperti diriku yang biasanya, menjadi seorang ekstrovert. Aku mencoba untuk mengubah suasana di kamarku, dari yang awalnya sunyi, kuubah menjadi ramai. Caraku mengubah suasana di kamarku, adalah dengan menumpuk-numpuk jajanan yang kubawa sebelumnya. Apa yang terjadi setelah itu? Aku berhasil mencairkan suasana kamarku, menjadi penuh tawa. Aku berhasil, aku berhasil menjadi diriku sendiri di tempat baru. Senyum mengembang di wajahku, ternyata ini rasanya berada di pondok, ya? Walau tanpa teman lama, ternyata aku tetap bisa menjadi seseorang yang penuh keceriaan.
Hari-hari berlalu, tak terasa sudah 3 bulan lebih kulewati bersama teman-temanku di pondok. Walau masih ada perasaan janggal di dalam hatiku, aku menepisnya. Karena aku tahu. Aku disini untuk membuat Ayah dan Ibu bangga kepadaku. Aku sekarang sudah mulai bisa mengurus diriku sendiri.
Ayah, Ibu, lihatlah anakmu yang sudah beranjak remaja ini. Inilah hasil dari didikan Ayah dan Ibu selama ini. Lihatlah, putri kecilmu ini sekarang sudah memiliki cukup pengalaman untuk berkembang lebih pesat lagi. Lihatlah, perkembangan anak gadismu ini, yang selalu meraih peringkat terbesar di kelas. Lihatlah, anak perempuanmu ini, yang sedang berusaha mendidik dirinya agar jadi lebih mandiri. Ayah, Ibu. Selama ini, Ayah dan Ibu telah berjuang untuk kakak, dan untukku juga. Selama ini, Ayah dan Ibu, telah mengerahkan seluruh tenaganya, untuk kakak, dan aku. Ayah, Ibu, terima kasih untuk semua yang telah engkau beri. Semuanya tak ada yang sia-sia. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya.
“Assalamu’alaikum. Ibu?”
“Wa’alaikumussalam. Kenapa, dek?”
“Aku kangen, hehe. Ibu gimana kabarnya? Sehat?”
“Alhamdulillah, Ibu sehat. Adek sehat?”
“Alhamdulillah, iya. Ayah sehat?”
“Alhamdulillah, Ayah juga sehat. Adek udah disiplin disana?”
“Belum terlalu, tapi aku bakalan coba jadi lebih baik.”
“Yang disiplin ya, sayangnya Ayah Ibu.”
“Siaapp!”